Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
Seharusnya pihak PBNU mau introspeksi diri atas kegaduhan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam saat ini. Pasalnya, keputusan hasil Musyawarah Nasional mereka yang membahas tentang status orang kafir di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam dinilai tidak berdiri pada maklumat tersendiri. Rentetan fakta dan kejadian sudah berulangkali terkuak bagaimana mereka coba membenarkan semua agama.
Ketua Umum PBNU sendiri menyebutkan bahwa Injil Kristen saat ini mempunyai nilai yang sama dengan kitab suci umat Islam. Termasuk Maman Imanulhaq selaku Ketua Umum LDNU (Lembaga Dakwah NU) pun lantang menyampaikan bahwa semua orang, apapun agamanya, apabila ia baik maka ia akan masuk surga.
Begitulah kerangka informasi terbentuk di dalam pikiran umat yang kemudian secara alamiah membentuk opini. Jangan heran apabila ketika pihak NU menyampaikan satu maklumat bahwa tidak ada orang kafir di Indonesia, maka umat langsung mengarahkan sudut pandangnya pada liberalisme di tubuh NU, yakni “umat Islam jangan merasa paling benar sendiri dengan agamanya.”
Ketika mereka kemudian mengelak, bahwa itu maksudnya adalah kita tidak boleh memanggil mereka kafir, panggil saja non muslim!, itu terjadi setelah mereka mendapat banyak kecaman, termasuk dari internal NU sendiri. Padahal jika hanya tidak boleh memanggil “kafir,” saya yakin mayoritas umat Islam pun sudah mengerti dengan hal ini.
Termasuk mereka juga tidak memanggil orang di luar Islam; “hey, non muslim fulan!.” Mereka memanggil orang-orang yang berbeda agama cukup dengan namanya saja. Inipun saya lakukan kepada teman yang berbeda agama.
Aneh bin ajaib, ketika sesuatu hal yang selama ini tidak ada masalahnya sama sekali tetapi saat ini coba dipermasalahkan di Munas Nahdlatul Ulama. Ini namanya seperti ngutak-atik motor yang tidak rusak. Tidak ada kerjaan. Jangan heran apabila ada sebagian orang yang mengatakan bahwa “ bahtsul masail ini artinya membahas masalah apa mencari masalah sih ?.”
Walaupun saya tau bahwa banyak masalah lain yang dibahas di Forum Munas NU, tetapi sangat disayangkan apabila itu akhirnya ternodai dengan pembahasan yang tidak berguna tersebut. Apalagi Ibaroh yang diambil untuk mendukung hujjah tersebut dari kitab Al-Bahrurroiq ( 48/5), menukil dari seorang ulama’ hanafiah yang beraqidah Mu’tazilah yaitu Najmuddin, (lebih jelasnya dikutip dari Qunyatul Maniyyah a’la Madzhabi Abi Hanifah, karya: Mukhtar bin Muhammad Az-Zahidiy, Abu Ar Roja’ al-Azmiyniy al-Hanafiy al-Mu’taziliy, yang dipanggil Najmudiin).
Ia memiliki karya diantaranya kitab Al-Qunyah, yang dianggap oleh ulama hanafiah sendiri sebagai kitab yang tidak mu’tabar, tidak bisa dijadikan rujukan.
Bahkan oleh para ulama’ hanafiah, beliau dikenal “Bidu’firriwayah” lemah periwayatannya, dan seorang Mu’tazilah (Al-Jawahirul Mudhi’ah fit Thobaqoti Al-Hanafiah, 2/166).
Maka, sejak kapan bahtsul masail NU mengambil rujukan dari seorang ulama’ yang berfaham Mu’tazilah yang bermasalah itu?
#Alumni212
#ReturnTheKhilafah
Cirebon, 2 Maret 2019
Posting Komentar