Oleh : Nasrudin Joha
Luar biasa seram kabar yang disampaikan Moeldoko. Dia, menyebut ada teroris, bukan hanya ada, tetapi jumlahnya juga diketahui, ada 30 teroris yang telah masuk ke ibukota.
Bahkan, Moeldoko menyebut para teroris ini akan menyusup ke aksi di sidang MK. Jelas, ini kabar yang membuat suasana genting, rakyat ketakutan, para peserta aksi di MK menjadi tidak tenang menjalankan aksi damai disekitar MK.
Peserta aksi ini khawatir, ketakutan, karena terbayang jika 30 teroris ini masing-masing membawa senapan sebu, menembak secara acak ke kerumunan Peserta aksi, terbayang bagaimana tubuh bersimbah darah bergelimpangan disepanjang jalan di seputaran MK.
Jika satu teroris di New zeland saja bikin heboh saat memberondong jamaah masjid, ini ada 30 teroris. Bukankah itu sangat mengerikan ?
Namun ternyata info itu tidak benar, atau secara kasat mata info itu hoax. Apa yang dikabarkan Moeldoko mentah ditinjau dari dua aspek :
Pertama, pernyataan Moeldoko ini dibantah Polri. Kepolisian memastikan belum ada sel teroris yang menyusup ke dalam aksi massa kawal sidang sengketa Pilpres 2019 yang berlangsung di Jalan Medan Merdeka Barat.
Menurut polisi, pengawasan masih dilakukan oleh Densus 88 dan Satgas Anti-Teror dan Radikalisme yang ada di Polda Jawa Barat, Polda Polda Lampung, Polda Metro Jaya, hingga Polda Jawa Tengah.
Kedua, hingga pembacaan putusan MK dan hingga tulisan cantik ini Anda baca, tidak ada satupun peristiwa baik di MK maupun di belahan bumi indonesia lainnya, kabar berita tentang adanya tindak terorisme yang dikakukan oleh 30 terduga teroris.
Jadi, diukur dari aspek formal ternyata pernyataan Moeldoko bertentangan dengan statement pejabat resmi dari institusi kepolisian, yang punya core tugas menangani terorisme. Secara mateeril, di lapangan tidak terjadi tindakan nyata terorisme, baik di seputar MK maupun ditempat lainnya.
Karena itu, terhadap Moeldoko layak untuk diciduk dan diterapkan sanksi telah menebarkan hoax ditengah masyarakat yang membikin onar dan meresahkan. Moeldoko wajib dikenakan pasal 14 dan/atau 15 UU No. 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.
Polisi wajib segera terbitkan sprindik untuk segera menangani kasus ini. Polisi wajib menyatakan perang terhadap menyebar hoax. Ma'ruf amin segera berpidato, bahwa orang menebar hoax itu ahli neraka.
Wiranto, lantas perlu untuk menegaskan bahwa 'negara tidak boleh kalah dengan penebar hoax'. Ini, jika negara menyatakan hukum sebagai panglima. Hukum diterapkan secara equal dan adil.
Namun, itu semua rasanya cuma mimpi. Bukankah, ketidakadilan itu lumrah kita temui ? Bukankah hukum selama ini memang jamak tebang pilih ? Bukankah, hukum itu hanya tajam kebawah dan tumpul keatas ? [].
Posting Komentar