SEJARAH PAPUA DARI MASA KE MASA

SEJARAH PAPUA   DARI MASA KE MASA


Ditulis oleh Agung Wisnuwardana
dari berbagai sumber

Secara historis, Papua pada abad ke-8 secara tidak langsung merupakan bagian dari kerajaan Majapahit dalam masa Pemerintahan Hayam Wuruk.

Pada abad ke-15, Papua telah beradaptasi dengan Kesultanan Tidore. Sultan Ternate-Tidore ke-10 yang bernama Ibnu Mansur bersama beberapa anggota ekspedisinya menginjakkan kaki 
mereka ke beberapa pulau di bagian barat pulau Papua pada tahun 1453. Pulau-pulau itu 
kemudian diislamisasi dan menjadi bagian wilayah Kesultanan Ternate-Tidore. 

Kesultanan Ternate-Tidore mempunyai peran yang cukup besar dalam perkembangan Papua, terutama di wilayah Kepala Burung (Sorong). Kondisi ini bertahan 400 tahun.

Sementara Kristen Protestan baru masuk pada 5 Februari 1855, misionaris Protestan asal Jerman Carl W. Ottow & Johann Gottlob Geissler mendarat di Pantai Mansinam, 3 km dari kota pelabuhan Manokwari. Sedangkan Katolik mulai 1892, kedatangan Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville SJ  di Desa Sekeru, kini bagian Keuskupan Manokwari-Sorong.

Masuknya para misionaris ini seiring dengan masuknya penjajah ke Papua. Pemerintah Hindia Belanda berdiri ditandai dengan didirikannya benteng Port Dubuis di Teluk Triton. Pemerintahan umum di Papua dilaksanakan oleh seorang Gubernur atas nama Ratu Belanda.

Pada saat penyerahan wilayah-wilayah jajahan Belanda pada tahun 1950 kepada Republik 
Indonesia, yang didasarkan pada perjanjian politik "Konferensi Meja Bundar" tahun 1949 di Den Haag, Papua tidak termasuk di dalamnya. Sikap tersebut ditentang keras oleh RI atas dasar anggapan hubungan Papua dengan Hindia Belanda.

Dalam kondisi seperti itu Belanda mempercepat proses pembentukan Negara Papua Barat melalui beberapa elit terdidik dari rakyat Papua yang pro Belanda. 

Pada awal 1960-an sudah disiapkan 
bendera nasional, lagu kebangsaan, dan lambang negara. Pada 1 Desember 1961 dengan bantuan Belanda diproklamasikan Negara Papua Barat. 

Hal ini memicu Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 mengumumkan mobilisasi nasional yang merupakan persiapan perlawanan bersenjata untuk membebaskan Papua dengan TRIKORA nya.

Sejak saat itu terjadilah pertempuran walaupun masih bersifat sporadis antara Indonesia dan 
Belanda. Kekuatan militer yang telah dimobilisasikan ini mendorong keberhasilan diplomasi Idonesia di luar negeri. Amerika Serikat beranggapan bahwa perang terbuka akan terjadi dan hal ini tidak menguntungkan pihak Amerika, karena intervensi Militer Amerika niscaya akan terjadi untuk mencegah Indonesia merebut Papua. Tindakan demikian akan menempatkan Amerika Serikat berhadapan dengan Indonesia dan masuk perangkap Moskow, Peking dan Partai Komunis Indonesia.

Perubahan sikap Amerika Serikat dalam masalah Papua yang sebelumnya berpihak kepada Belanda, mempercepat proses penyelesaian masalah Papua. Baik Amerika maupun Belanda tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Amerika Serikat telah melakukan tekanan keras terhadap Belanda untuk mengalah.

Akhirnya Papua menjadi bagian dari Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Persatuan 
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan janji akan melakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969. Pelaksanaan Pepera dilaksanakan oleh Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang seluruhnya beranggotakan 1.025 orang mewakili 9 Kabupaten didasarkan atas perhitungan perimbangan penduduk.

Musyawarah yang dilaksanakan sejak tanggal 14 Juli sampai dengan 2  Agustus 1969, hasilnya memutuskan untuk tetap berada dalam wilayah Republik Indonesia. Dan 
Papua menjadi salah satu propinsi RI dengan nama Irian Barat, kemudian diganti dengan Irian Jaya. Nama Irian sering diartikan dengan guyonan sebagai Ikut Republik Indonesia Anti 
Nederland.

Wakil-wakil di DMP yang pro Belanda sangat kecewa dengan hasil Pepera karena mereka 
awalnya menginginkan sistem satu orang satu suara (one man one vote) bukan dengan sistem perwakilan. Orang- orang ini yang kemudian menjadi cikal bakal Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Di sisi lain, selama masa ORBA, Irian Jaya kurang mendapatkan perhatian sehingga walaupun termasuk propinsi yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi pembangunannya paling terbelakang. Akhirnya Irian Jaya termasuk propinsi termiskin di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua untuk mendorong gerakan “kekecewaan”
kepada NKRI. Gerakan kekecewaan ini dilakukan dengan berbagai pendekatan diantaranya kampanye memantik nasionalisme Papua, politik dan militer. Gerakan inipun membesar yang membuat ORBA melakukan pendekatan militer sehingga terjadi bentrokan terus-menerus yang tak pernah berhenti.

Kejatuhan Orde Baru baru tahun 1998 membuat gerakan kekecewaan mempunyai kekuatan tawar lebih besar. Termasuk desakan untuk kembali pada nama “Papua” bukan Irian Jaya, dijadikan isu menarik pasca kejatuhan ORBA, karena nama Irian Jaya dikampanyekan identik dengan marginalisasi identitas asli Papua. Maka Desakan inipun mendapat angin segar di masa Pemerintahan Gus Dur dengan perubahan nama Propinsi menjadi Papua. 

Kecemasan RI akan berkembangnya kekecewaan tersebut menjadi gerakan kemerdekaan, akhirnya melahirkan kebijakan tentang “otonomi khusus” bagi Papua. tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Propinsi Papua, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001. Bersamaan dengan itu Propinsi Papua dimekarkan menjadi menjadi Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.

Otonomi khusus ternyata tak mampu meredakan kampanye untuk Papua merdeka sampai saat ini.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget