Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar
Sebuah sistem [kenegaraan] itu adalah bangunan yang sangat komplek. Mereka yang menjadi pejabat negeri tersebut saja, belum tentu paham seluruhnya, kecuali mereka mencurahkan pikirannya sepenuh hati untuk memahami bagaimana sistem tata negara (dimensi hukum), bagaimana kondisi sosial-politik masyarakat (dimensi sosiologis), bagaimana dengan pola dan struktur administrasinya (dimensi administrasi), bagaimana keuangan, industri, perdagangan dan lain-lain berfungsi (dimensi ekonomi), hingga bagaimana persoalan pertahanan-keamanan dan hubungan dengan negara lain berjalan (dimensi militer dan internasional).
Sangat kompleks.
Lantas kalau ada isu "gerakan makar", atau "menumbangkan sistem", itu yang digoyang atau diganti apanya? Bagaimana caranya?
Makar untuk menggantikan pimpinan negara secara tidak sah, itu jauh lebih mudah dipahami. Cukup 1 batalyon tentara yang gesit, bisa bergerak cepat, dan taat mati pada komando pembuat makar. Mereka akan mendatangi para petinggi negara terpenting (Presiden, Wapres, Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, Para Komandan Militer), mematikan alat komunikasinya, dan menahan di rumah. Maka dalam semalam, alat-alat kenegaraan akan lumpuh. Presiden, Wapres, Menteri Triumvirat (Mendagri, Menlu, Menhan) tidak bisa memberi perintah. Parlemen tidak bisa bersidang. Para komandan tentara terputus jalur instruksinya. Lalu pemimpin makar akan muncul di radio & televisi mengumumkan bahwa telah terjadi revolusi dan sejak hari itu, pemerintahan ada di tangannya, dan semua harus mendengar dan bekerja seperti biasa. Kalau kudeta ini sukses, maka kemudian akan diikuti dengan "pembersihan". Pejabat sipil dan militer yang setia pada pemerintah kudeta akan dipertahankan, yang anti (atau kritis) akan disingkirkan. Inilah yang terjadi di Mesir (al-Sisi) untuk kudeta yang "berhasil", dan yang terjadi di Turki untuk yang gagal. Kudeta PKI tahun 1965 adalah contoh kudeta yang gagal, karena ternyata, ada komandan TNI-AD yang tidak diperhitungkan.
Adapun menumbangkan sistem jauh lebih rumit. Makar, sekalipun berhasil, sering hanya mengganti orang, belum tentu mengubah sistem. Menumbangkan sistem berarti nantinya akan muncul sistem yang sama sekali baru. Tidak hanya sistem tata negara, tetapi juga sistem ekonomi, sistem hukum dan peradlan, bahkan juga sistem dalam dimensi sosiologs dan hubungan internasional. Upaya menumbangkan sistem ini bisa ditempuh dengan 2 cara:
1) menanamkan kesadaran baru di masyarakat -- atau bisa juga disebut revolusi mental, baru kemudian mengganti perangkat negara dari atas; atau
2) mengganti perangkat negara dulu, lalu menanamkan kesadaran baru di masyarakat.
Cara pertama adalah cara yang alami. Inilah cara yang dulu ditempuh Rasulullah saw, juga cara yang ditempuh para foundng fathers Indonesia dalam menumbangkan sistem penjajahan (Jepang & Belanda) ke sistem Indonesia --walaupun sampai sekarang belum sempurna.
Sedang cara kedua adalah cara-cara yang ditempuh komunis di mana saja (Soviet/Rusia, Cina, dan lain-lain). Cara kedua ini terbukti tidak efektif dalam jangka panjang. Soviet akhirnya runtuh, Rusia jadi kapitalis. Cina dalam tata negara masih komunis, tapi selebihnya sudah kapitalis.
Namun yang jelas, baik makar maupun menumbangkan sistem, baru akan final, bila kekuatan real yang ada di negeri itu memang mendukung. Kekuatan real itu ada pada militer atau kekuatan politik yang sangat berpengaruh dan diikuti militer.
Jadi kalau ada segelintir tokoh, ustadz atau ormas, yang pengaruhnya masih samar-samar, bahkan media masih menyebutnya utopis, belum mendapatkan dukungan yang luas secara politis, atau yang nyata dari militer, terus dituduh akan membuat makar, atau menumbangkan sistem, apakah tuduhan ini rasional? Apakah yang menuduh sehat?
Posting Komentar