TANGGAPAN TERHADAP NADIRSYAH HOSEN TERKAIT HADITS PANJI RASULULLAH


Oleh: Yuana Ryan Tresna

Membaca kultwit Nadirsyah Hosen (selanjutnya disingkat NH) terkait panji dan bendera Rasulullah sungguh sangat disayangkan karena hal tersebut lagi-lagi keluar dari seorang profesor, sebagai seorang pemilik strata tertinggi dalam lingkungan akademik. Ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya Nadirsyah Hosen juga membuat banyak komentar yang tergesa-gesa seperti masalah hadits kabar gembira khilafah, soal aksi bela Islam, dan kebolehan pemimpin kafir. Terakhir NH bicara soal panji dan bendera Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kultwit NH selengkapnya di link berikut: https://chirpstory.com/li/352072

Mencermati gagasan dan komentar-komentar NH selama ini, telah mengantarkan saya pada suatu kesimpulan kalau NH tidaklah ahli-ahli bangetdalam soal agama, seperti dalam bidang hadits, tafsir dan ushul fiqih.

Berikut adalah beberapa catatan untuk NH:

Pertama, terdapat banyak hadits shahih atau minimal hasan yang menyebutkan bahwa rayah (panji) Rasul berwarna hitam dan liwa (bendera)nya berwarna putih, seperti,

Hadits riwayat Imam Tirmidzi,

عن ابن عباس قال كانت راية رسول الله -صلى الله عليه وسلم- سوداء ولواؤه أبيض

عن جابر أن النبى -صلى الله عليه وسلم- دخل مكة ولواؤه أبيض

Hadits riwayat Imam Nasa’i dengan redaksi yang berbeda,

عن جابر رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم دخل مكة ولواؤه أبيض

Hadits di atas selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Nasa’i dari Jabir, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, Thabarani, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Ya’la. Hadits ini shahih. Secara jelas dikatakan bahwa warna rayah adalah hitam dan liwa adalah putih. Dalam hal ini Imam Tirmidzi memberikan catatan untuk hadits yang ia riwayatkan,

هذا حديث حسن غريب من هذا الوجه من حديث ابن عباس

Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadits, dimana semuanya berujung pada rawi shahabat Jabir dan Ibnu Abbas ra.

Mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata, adalah bentuk kelancangan kepada Rasulullah dan para ulama yang sudah membahas hal ini ketika mereka semua menjelaskan hadits-hadits diatas dalam kitab syarah dan takhrijnya. Sebut saja seperti shahib Kanz al-Ummal, Majma’ al-Zawa’id, Fath al-Bari li Ibni Hajar, Tuhfah al-Ahwadzi, Umdah al-Qari, Faidh al-Qadir, dll.

Belum lagi ada banyak hadits shahih lain yang berbicara terkait rayah dan liwa,

قال النبي صلى الله عليه و سلم يوم خيبر ( لأعطين الراية غدا رجلا يفتح على يديه يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله )

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tentu saja dengan status shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hiban, Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, Nasa’i, Thabarani, dll.

Saya tidak perlu menjelaskan keshahihan hadits-hadits di atas, karena perkaranya sudah jelas. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hadits yang disebut dha’if saja oleh NH.

Kedua, memang ada beberapa hadits yang berbicara rayah dan liwa dengan status hadits yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadits riwayat Imam Ahmad berikut,

عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ الْبَكْرِىِّ قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلاَلٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ فَقَالُوا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ

Dalam hal ini Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya memberikan catatan sebagai berikut,

إسناده ضعيف لانقطاعه عاصم بن أبي النجود لم يدرك الحارث بن حسان بينهما أبو وائل شقيق بن سلمة

Demikian juga dengan hadits riwayat Imam Thabarani berikut,

عن ابن عباس قال : « كانت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم سوداء ولواؤه أبيض ، مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله »

Disana ada rawi bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد بن مفلح بن هلال yang disebut sebagai tertuduh dusta متهم بالوضع. Rawi inilah yang disoal oleh NH.

Ketiga, apakah hadits مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله semuanya dha’if? Nanti dulu, dan tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus kaji dari semua jalur periwayatan.

Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam Akhlaq al-Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Abbas statusnya shahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah dha’if (ada rawi Muhammad bin Abi Humaid yang munkar oleh Imam Bukhari, tidak tsiqah oleh Imam Nasa’i, dan tidak ditulis haditsnya menurut Ibnu Ma’in). Adapun dari jalur Ibnu Abbas, semua rawinya dapat diterima:

 أحمد بن زنجوية بن مسى : قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا
 محمد بن أبي السري العسقلاني : قال ابن معين ثقة وقال الذهبي ثقة
 عباس بن طالب البصري : قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال ابن حجر بصري صدوق
 حيان بن عبيد الله بن حيان : قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال أبو بكر البزار ليس به باس
 أبو مجلز لاحق بن حميد: تابعي ثقة

Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazar mengatakan masyhur dan “laisa bihi ba’sa”. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Tulisan ini cukup untuk membantah tuduhan NH saja. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas selamat.

Terlebih lagi lafazh “لا إله إلا الله محمد رسول الله” merupakan ‘alamah atau ciri khusus dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi? Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan kalimat Allah Azza Wa Jalla.

Jadi ungkapan NH dalam twiternya, “Secara umum hadits-hadits yg menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidka berkualotas shahih” adalah ungkapan yang tidak bertanggung jawab dan “kurang piknik” pada kitab-kitab hadits.

Keempat, soal warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna rayah adalah hitam dan liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang sifatnya sementara.

Hadits riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning.

حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِىُّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفْرَاءَ.

Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnadnya majhul.

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani,

عن جدته مزيدة العصرية ، « أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عقد رايات الأنصار وجعلهن صفراء »

Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.

Demikian juga hadits dalam riwayat Thabarani menyebutkan bahwa warna rayah Nabi adalah merah,

“أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ”.

Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.

Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan rayah berwarna merah daan statusnya shahih, kasusnya sementara di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan rayah warna hitam,

وكان أمام هوازن رجل ضخم ، على جمل أحمر ، في يده راية سوداء ، إذا أدرك طعن بها ، وإذا فاته شيء بين يديه ، دفعها من خلفه ، فرصد له علي بن أبي طالب رضوان الله عليه ، ورجل من الأنصار كلاهما يريده

Kelima, apakah fungsinya hanya untuk perang? Memang awalnya begitu,rayah adalah panji-panji perang, dan liwa simbol kepemimpinan umum. Hal ini bertolak dari fakta bahwa liwa` dan rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang di jaman Rasulullah dan para Khulafa` Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar. Demikian juga, rayah dan liwa sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihadi quluubihim).

Keenam, terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait rayah dan liwa’.

Ketujuh, adapun penamaan al-rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits sebagai berikut:

Hadits riwayat Baihaqi

عن عائشة ، قالت : « كان لواء رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته سوداء ، قطعة مرط مرجل ، وكانت الراية تسمى العقاب

Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah

عن الحسن قال كانت راية النبي صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب

Hadits riwayat Ibnu Adiy

عن أبي هريرة كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب

Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedelapan, menggandengkan nama HTI dengan ISIS sebagai simbol pembawa rayah dan liwa’ sangat tidak fair. Tercium aroma untuk mengelompokkan HTI semisal dengan ISIS yang sudah dicitrakan buruk. HTI dan ISIS tentu saja sangat berbeda, baik pemikiran maupun metode dakwahnya. Terlebih lagi, rayah dan liwa adalah simbol umat Islam, dan sudah menjadi milik semua kelompok, bukan hanya HT.

Terakhir, NH rupanya hanya kritik dalil (hadits) panji dan bendera Rasululah, tetapi tidak menggugat dalil bendera negara bangsa yang tidak punya dalil sedikitpun, walau hanya atsar yang dha’if. Maka bersikap adil-lah wahai professor. NH lebih nyaman di bawah bendera ashabiyyah daripada di bawah panji tauhid. Cukuplah hadits riwayat Imam Muslim berikut sebagai pengingat,

من قتل تحت راية عمية يدعو عصبية أو ينصر عصبية فقتلة جاهلية

Wallahu a’lam. []

* Adalah Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia dan Pengasuh Majelis Kajian Hadits Khadimus Sunnah Bandung.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget