HARMONI ANTARA UNIVERSALITAS DAN KEARIFAN LOKAL

Oleh : Khoirul Anam

Hizbut Tahrir (HT) adalah organisasi dakwah Islam yang berjuang dengan sungguh-sungguh agar Islam tegak di muka bumi, dan memberikan kerahmatan kepada seluruh alam. Sebagai organisasi dakwah Islam, maka visi dan misi HT adalah Islam itu sendiri. Sementara Islam sediri di bawa oleh Rasulullah untuk seluruh alam. Rasulullah, secara pribadi, memang orang Arab, tetapi Rasulullah di utus secara universal untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku dan kebangsaannya. Allah berfirman dalam surat al-Anbiya ayat 107, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Jadi, Islam memang universal. Islam melihat manusia sebagai manusia. Manusia dari suku dan bangsa apapun adalah sama, meski memang ada perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi ciri khasnya. Islam yang universal ini pula yang didakwahkan HT, yaitu dakwah yang univiversal dan mendunia, yang menembus batas-batas suku, bangsa, geografis, dan semua “batas imajiner” lainnya.

Namun, dengan pejuangan yang universal seperti ini, memang tidak dipungkiri membuat khawatir pihak-pihak tertentu yang selama ini berusaha untuk menjaga kearifan lokal, tradisi, budaya, atau hal-hal yang bersifat unik lainnya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ada banyak pihak yang menyebut HT dengan sebutan gerakan trans-nasional, tentu dengan “bumbu penyedap”, bahwa trans-nasional itu berbahaya, mengerikan, tak-manusiawi, bahkan akan merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat yang damai dan harmoni.

Benarkah HT sebagai gerakan universal akan menghancurkan semua hal yang bersifat lokal: tradisi, adat, kebiasaan, pakaian, atau kearaifan-kearifan tertentu? Banyak yang khawatir, kalau Khilafah tegak “sarung” akan diganti dengan “gamis”. Ada yang beranggapan, Khilafah adalah penjajahan budaya Arab. Bahkan banyak yang sudah membayangkan bahwa tahlilan dan mauludan akan dilarang. Dan masih banyak ketakutan-ketakutan dan fobia-fobia lainnya.

Tulisan singkat ini akan berusaha mengulasnya. Tulisan ini akan diawali dengan universalitas Islam, yang kedua akan membahas universalitas dakwah Islam, dan ketiga akan membahas dakwah HT serta pandangannya terhadap kearifan lokal.

*****
Universalitas Islam.

Memang benar, bahwa manusia dari bangsa manapun itu sama, meski ada perbedaan-perbedaan yang menjadi ciri khasnya. Inilah pandangan Islam tentang manusia. Bahkan, seandainya kita tak mengunakan sudut pandang Islam, namun kita menggunakan akal sehat dan nurani yang bersih, kita pun akan mendapat kesimpulan yang sama: bahwa manusia adalah sama dari bangsa apapun mereka berasal, meski memang ada perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadi ciri khasnya. Maka tak heran, Michael Jackson dulu menyanyikan lagu yang menggambarkan bahwa manusia adalah sama, we are the world.  

Manusia itu sama, yaitu sama-sama manusia. Meski memang ada perbedaan-bedaan tertentu. Menurut Islam, kemulian seseorang bukan ditentukan oleh posisinya sebagai bangsa tertentu, tetapi ditentukan oleh sesuatu yang lebih fundamental, yaitu ketaqwaannya. Allah berfirman dalam surat al-Hujurat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Secara sederhana orang yang taqwa adalah orang yang baik hati dan baik perilakunya. Dalam Islam, baik adalah yang dianggap baik oleh Allah dan Rasul-Nya. Al-hasan ma hassanahu asy-syar’u, wal qabihu wa qabbahahu asy-syar’u. Jadi, orang yang paling baik, menurut Islam adalah orang yang perilakunya mengikuti Islam dengan kesadaran hati (pikiran) yang penuh. Orang baik seperti ini sangat mungkin ada di mana-mana: di Arab, di Eropa, di Amerika, di Afrika dan lain sebagainya. Orang jahat juga ada di mana-mana. Oleh karena itu baik-buruknya seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari kebangsaan atau tempat tinggal mereka. Adalah cara pandang yang sangat naif, jika kebakan dan keburukan orang ditentukan dari kebangsaannya, atau kesukuannya, atau tempat tinggalnya.

Rasulullah saw. pernah bersabda: “Wahai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian satu, bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, orang non-Arab atas orang Arab; tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apakah saya telah menyampaikan?” (HR Ahmad).

Namun, demikian tidak dipungkiri, ada perbedaan-perbedaan diantara manusia. Jangankan antar bangsa, bahkan antar individu dalam keluarga pun (antara kakak dan adik) banyak sekali perbedaan. Pebedaan-perbedaan ini merupakan sesuatu yang biasa. Tidak ada yang istimewa dalam perbedaan. Itu sesuatu yang fitri atau sesuatu yang alamiah.

Memang ada banyak hikmah di balik perbedaan tersebut, salah satunya kita bisa saling mengenali dan dunia ini menjadi indah karena banyaknya warna-warni. Bagaimana jadinya, jika manusia itu tidak ada perbedaan, pasti kita tidak akan bisa hidup, karena kita tidak bisa saling mengenali. Bahkan, kita tak akan bisa mengenali anak kita, istri kita, bahkan orang tua kita, seandainya semua manusia itu tidak memiliki perbedaan. Untungnya tidak ada yang benar-benar sama, sehingga kita bisa membedakan satu dengan lainnya. Demikian pula perbedaan antara bangsa. Tujuan utama Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenali. “Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenali.”

Namun demikian perbedaan apapun, termasuk perbedaan bangsa atau suku, juga bisa menjadi konflik yang berdarah-darah. Sejarah umat manusia, selalu diwarnai dan diramaikan dengan konflik berdarah-darah, karena berbagai perbedaan, terutama perbedaan suku dan bangsa. Karena itu, Islam datang untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Islam menjelaskan bahwa perbedaan itu sunnatullah, sesuatu yang memang diciptakan Allah, tetapi kebaikan dan keburukan bukan ditentukan dari sana. Meski Islam mengakui bangsa (nation) sebagai sunnatullah, namun Islam tidak mengakui nasionalisme, atau sentimen berdasarkan kebangsaan. Bahkan Islam, menganggap hal itu (ashobiyah, sukuisme, nasionalsime), selain menyebabkan konflik antar manusia, juga pelakunya tidak akan diakui oleh umat Muhammad. Tentu, harus dibedakan antara “cinta bangsa (nation)” dengan “nasionalisme”. Sebagian besar orang memang menganggap tak ada bedanya antara cinta bangsa dan nasionalisme. Padahal bedanya sangat fundamental, seperti bedanya kata “sosial” dengan “sosialisme”.   

Jadi, sederhananya, Islam adalah ajaran universal dari tuhannya seluruh manusia, yaitu Allah. Manusia itu hakikatnya sama, meski ada pebedaan-pebedaan di sana-sini yang menjadi ciri khasnya. Perbedaan itu banyak sekali hikmahnya, namun juga ada potensi konflik, jika tidak dihayati dan disikapi dengan benar.

*****
Universalitas Dakwah Islam.

Karena Islam adalah ajaran yang universal, maka dakwah Islam pun juga universal. Artinya, dakwah Islam tidak boleh dibatasi hanya keluarga, kelompok atau bangsa tertentu. Meski memang, pada awalnya, dakwah diawali dari keluarga tertentu, atau kelompok tertentu atau bangsa tertentu.

Rasululullah sendiri mengawali dakwahnya dari keluarganya, yang tentu saja bangsa Arab, bahkan lebih spesifik lagi Bangsa Quraisy. Namun, seperti telah dijelaskan, bahwa secara sunnatullah tidak semua orang Quraisy itu baik, tetapi tidak semuanya jelek. Diantara mereka ada yang menerima dakwah Rasulullah, namun tak sedikit yang menolak dakwanya. Abu Jahal, Abu Sufyan, Abu Lahab, dan lain-lain semuanya adalah orang Arab, bahkan terdapat hubungan famili dengan Rasulullah saw.

Rasulullah sama sekali tidak membatasi dakwah Islam yang memang universal hanya kepada bangsa tertentu, Arab mislanya. Islam didakwahkan kepada siapa saja, dari bangsa manapun mereka berasal. Tanpa memang gender, level sosial, tingkat ekonomi mampun tingkat intelektualitasnya. Sebab, Islam memang ajaran universal dan harus didakwahkan secara universal. Akhirnya, ajaran Islam mulai diterima dak didakwahnkan oleh masyarakat, meski mereka dari berbagai bangsa yang berbeda. Kita lihat ada Salman Al-Farisi (berkebangsaan Persia), ada Shuhaib Ar-Rumi (berkebangsaan Romawi), ada Bilal Al-Habsi (berkebangsaan Habasah, Afrika) dan lain-lain. 

*****
Universalitas Dakwah HT dan Pandangannya Terhadap Kearifan Lokal 

Sebagai gerakan dawah Islam, maka HT berusaha mendakwahkan Islam apa adanya, yang memang universal, meski memang dakwah HT diawali oleh orang berkebangsaan Arab, yaitu Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani.

HT memandang semua manusia dan semua bangsa itu sama, meski memang ada perbedaan-perbedaan yang manjadi ciri khasnya. Karena universalitas pandangan HT dan dakwahnya tersebut, dakwah HT diterima oleh manusia dari berbagai bangsa. Tetapi tak sedikit yang menolaknya, tentu yang menolak berasal dari bangsa yang berbeda-beda dan dengan alasan yang berbeda-beda. Maka, tak mengherankan aktivis dakwah HT ada yang orang  Arab, Amerika, Eropa, Afrika, Australia, Asia, dan tentu saja Indonesia. Mereka memiliki cara pandang dan visi perjuangan yang sama, yaitu sebagai manusia yang memiliki tuhan yang sama, Allah swt.

Meski demikian, HT menyadari betul bahwa setiap manusia dan setiap bangsa memiliki perbedaan-perbedaan yang melekat padanya. Oleh karena itu, meski HT memiliki cara pandang hidup yang universal, tetapi juga mengakomodasi hal-hal yang sifatnya lokal, atau orang sering bilang kearifan lokal.

Sekedar contoh, meski HT didirikan oleh orang Arab (Syeikh taqiyuddin) dan kitab mutabannatnya berbahasa Arab, tetapi dakwah HT disampaikan di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Karena orang lokal Indonesia berbahasa Indonesia. Jika HT mengabaikan aspek lokal, maka HT akan memaksakan dakwah di Indonesia menggunakan bahasa Arab.

Lalu, bagaimana sikap HT secara lebih jelas tentang “kearifan lokal” atau budaya lokal?

Untuk menjawab ini memang harus didefinisikan dahulu apa yang dimaksud dengan “kearifan lokal” atau budaya lokal itu? Dan harus diakui, tidak ada definisi yang baku tentang hal ini, sehingga penafsiran dari para pengguna istilah ini sangat beragam.

Namun terlepas dari definisi “kearifan lokal” atau budaya lokal, sebenarnya HT hanya menggunakan sudut pandang Islam dalam menilai. Dalam menilai perbuatan manusia, baik perbuatan yang sudah jadi kebiasaan atau belum, yang sudah jadi buadaya atau belum, Islam mengklasifikasi perbuatan manusia menjadi lima hukum, atau yang disebut al-af’al al-khamsah: yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. 

Dalam pandangan HT, silaturahim pada saat hari raya misalnya, itu adalah sunnah. Silaturahim itu sunnah hukumnya di dalam Islam, baik pada saat hari raya atau di luar hari raya. Menutup aurat itu hukumnya wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara jenis kain dan model pakaian yang dijadikan penutup, maka itu hukumnya mubah. Bagi bapak-bapak, mau pakai batik, koko, gamis, sarung, celana atau apapun, maka semua itu mubah (dari aspek jenis pakain dan modelnya). Tentu, hal yang sifatnya mubah, sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi lokal. Kalau ke masjid, tentu akan lebih cocok menggunakan sarung, koko dan peci (atau semisalnya), kalau ke undangan walimah lebih cocok pakai batik (di Indonesia), kalau olah raga pakai kaos, dan lain sebagainya.

Contoh lain, judi itu hukumnya haram. Apapun namanya, lokal atau internasional, sudah tradisi atau belum, dianggap kearifan lokal atau tidak, maka itu jelas haramnya. Bahkan seandainya, judi dinamakan dengan “gotong royong pribumi ndeles”, maka tetap haram dalam pandangan Islam. 

Intinya, perbuatan manusia, itu ada lima hukum. Termasuk sesuatu yang dianggap budaya atau tradisi juga masuk ke dalam lima hukum tadi. Bahkan, yang dianggap sebagai kearifan lokal, juga tak lepas dari lima hukum tadi.

Dengan demikian, kearifan lokal, yang masuk dalam kategori mubah, maka Islam sama sekali tidak mempermasalahkannya, dan tentu saja HT tidak memeprmasalahkannya. Menggunakan peci misalnya, HT sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bahkan juru bicara HTI, Ust Ismail Yusanto, kemana-mana menggunakan peci. Bahkan, jika kearifan lokal, itu termasuk yang diwajibkan Islam, maka Islam akan mewajibkannya. Dan tentu saja, HT akan memperjuangkan hal itu. Mislanya kearifan lokal, bahwa jika kita keluar rumah harus pakai penutup aurat, maka HT akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan.

Sementara terhadap perbuatan-perbuatan yang masuk pada kategori khilafiyah dan bersifat personal, maka Islam tidak mempermasalahkannya. Maka HT juga sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya. Sekedar contoh: masalah tahlilal, maulud Nabi, membaca sholawat, dzikir setelah sholat, dan lain sebagainya, maka HT sama sekali tidak mencampuri hal itu. Itu diserahkan dan dikembalikan kepada individu uma Islam. Bahkan, seandainya Khilafah berdiri, Khilafah pun tak boleh ikut campur dalam urusan pribad yang diperselisihkan diantara madzhab-madzhab di dalam Islam.

Secara personal, aktifis HT juga dari latar belakang yang berbeda-beda. Yang dididik dengan pendidikan khas NU, ketika aktif berdakwah bersama HT, mereka tetap mengamalkan tahlilan, sholawatan dan lain sebagainya. Sebaliknya, yan dididik dengan pendidikan khas Muhammadiyah, ketika aktif di HT, mereka tetap memiliki pandangan seperti sebelumnya. HT ama sekali tidak mencampri hal-hal personal yang diperselisihkan diantara ulama.

*****
Inilah pandangan dan sikap HT secara umum. Dalam urusan perbuatan (af’al) mengacu kepada huku syariah yang lima. Sehingga apa yan disebut adat, budaya, kearifan lokal, dan lain sebagainya, akan dikembalikan kepada hukum lima tersebut. Sementara terkait dengan hukum benda (syai’) memang hanya ada dua hukum, yaitu halal dan haram.

Sementara terkai dengan berbagai hukum yang diperselisihkan diantara para ulama dan dalam urusan privat, maka HT sama sekali tidak masuk ke wilayah tersebut. HT mengembalikan kepada masing-masing anggota masyarakat untuk meyakini dan mengamalkan sesuatu yang dianggapnya dalilnya lebih kuat.

Jadi, jika ditanyakan apakah HT menolak kearifan lokal, maka jawabnya adalah suatu pertanyaan: kearifan lokal yang mana?

Jika yang dimaksud adalah kearifan lokal konser dangdut dengan mengumbar aurat dan goyangan mesum, maka dengan tegas HT menolak dengan sekeras-kerasnya. Jika yan dimaksud adalah kearifan lokal berbicara yang jujur, maka dengan tegas HT mewajibkannya dan akan tetap melakukannya apapun yang terjadi.

Tetapi, jika ada yang menuduh bahwa HT menolak kearifan lokal karena dakwahnya yang universal, maka HT hanya tersenyum dan berkata “terima kasih atas perhatiannya”.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget