Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Sesungguhnya bagi siapapun yang mengindera proses penegakan hukum di negeri ini, baik ia dari kalangan awam apalagi jika Ia berpendidikan, akan mendapati hukum tidak lagi menjadi sarana untuk memperoleh keadilan. Hukum telah menjadi alat kekuasaan untuk membela kaum tertentu, dan menindas kaum yang lain.
Berbicara tentang keadilan hukum, rasanya seperti mengharap rintik hujan di kemarau panjang yang turun menyirami gurun Padang pasir. Bagi mereka yang berkuasa, bagi mereka yang berpunya, bagi mereka yang memiliki akses atas kekuasaan dan pemerintahan, hukum akan bersifat adil. Tetapi bagi mereka yang papa, bagi mereka rakyat jelata, bagi mereka yang tak tahu hukum dan tahu-tahu harus dihukum, hukum ibarat cemeti yang diayunkan keras kemuka, tanpa mengetahui apa yang dipersoalkan, sekonyong konyong hukum telah menambatkan sanksi.
Hukum tidak berdaya, jika Ia harus berhadapan dengan garong-garong BLBI, tidak bertaji jika ia berhadapan dengan Para Mafia Kasus Century, tidak bernyali jika ia berhadapan dengan penjahat-penjahat Reklamasi, tidak dapat mengambil tindakan apapun meskipun sudah banyak laporan pelanggaran Pidana ITE dan Penodaan Agama. Pelanggaran UU ITE dan Penodaan Agama oleh Victor Laiskodat didiamkan, hukum tumpul, UU ITE seperti tidak berlaku.
Mereka yang telah merugikan negara, menyengsarakan rakyat, merampok apa yang telah menjadi hak umat, dapat berlindung dibalik asas-asas hukum. Asas praduga tidak bersalah, hukum mengedepankan aspek due proces of Law, hukum mengutamakan keadilan restoratif (restoratif justice), hukum menjaga kepastian, hukum mengedepankan keadilan, kesemuanya dinisbatkan pada setiap perjalanan kasusnya.
Namun, jika hukum berhadapan dengan rakyat jelata, orang awam, hukum menjadi sadis, hukum menjadi anti kompromi, hukum menjadi pedang tajam yang terhunus, hukum menjadi alat eksekusi tanpa memiliki nilai moral dan nurani. Prosedur belakangan, tangkap duluan, barang bukti bisa dicari, begitulah pameonya.
Demikianlah, apa yang dialami oleh Terdakwa Rini Sulistiawati Binti Djoko Warsito. Dia adakah seorang ibu, seorang emak-emak biasa, yang mencoba ikut berekspresi diruang publik, untuk ikut berasosiasi dengan aspirasi yang berkembang di sekelilingnya, menyuarakan jeritan hati berdasarkan tuntutan akidah, kecenderungan dan pembelaan pada Islam dan umat Islam.
Dunia baru, yang telah membelah kehidupan nyata dengan kehidupan maya, telah mentautkan banyak individu dalam interaksi sosial media. Suasana hatinya, telah menggerakan tangan dan jari jemarinya untuk ikut mengabarkan di dunia maya, tentang perasaan hatinya yang cenderung pada Islam dan umat Islam.
Ungkapan frasa "Islam" dan "umat Islam" dalam redaksi kalimat "PDIP TIDAK BUTUH SUARA UMAT ISLAM" telah mengantarkannya secara spontan membagikan tautan konten meme yang ditemukannya di jejaring sosial media, di laman akun Facebook miliknya.
Kabar penolakan hakim MK atas uji materi terhadap pasal pidana dalam Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP), yang meminta perluasan sanksi pidana agar mampu menjangkau kaum LGBT, mendorong jari-jemarinya membagikan link tautan berita tersebut.
Atas dorongan dan akidahnya, Terdakwa mengeluarkan aspirasi ungkapan melalui tagar dan tulisan yang pada pokoknya ingin menerapkan syariat Islam sebagai hukum Allah, yang tentu maha adil, maha mengetahui apa yang terbaik bagi manusia, untuk mengatur negeri ini.
Konstitusi tegas, menjamin hak setiap warga negara untuk meyakini agama dan keyakinannya. Konstitusi juga menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya. Aktivitas penyampaian aspirasi dan keyakinan atas ajaran Islam, juga di jamin konstitusi.
Tidak dinyana, ternyata aktivitas yang spontan dan tanpa motif politik dan kebencian ini, disikapi secara "GAGAH PERWIRA" oleh alat-alat kelengkapan negara, aparat penegak hukum. Terdakwa dituduh penebar kebencian dan SARA, Terdakwa dituduh mengubah dokumen otentik, dua pasal dakwaan inilah yang membawa terdakwa di kursi pesakitan.
Polisi selaku alat negara, begitu sigap menyidik dan bahkan melaporkannya kepada sesama sejawat di lingkaran penyidik. Penyidik memburu Terdakwa, menangkap dan menahannya. Terdakwa diproses, cepat secepat kilat, dan memaksa Terdakwa berpisah dari anak-anak dan suaminya.
Sejak ditahan, Terdakwa kehilangan hak sekaligus kewajibannya untuk membina dan mendidik anak-anaknya, juga termasuk berbakti kepada suami. Alat-alat negara, dengan tanpa belas kasihan merampasnya, atas dalih telah menebar kebencian dan SARA dan merugikan pihak lain. Padahal, PDIP sebagai partai yang diklaim merugi atas ujaran Terdakwa, tidak pernak melaporkan dan merasa dirugikan, tidak pula disidik untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kerugian.
Dalam dakwaan Terdakwa dituding melakukan ujaran SARA melalui 3 (tiga) konten postingan. Padahal, keterangan ahli bahasa yang diajukan jaksa dalam Persidangan hanya mengkonfirmasi satu konten unggahan saja yang bernada kebencian SARA. Lantas, kenapa dalam dakwaan muncul tiga konten postingan yang dipermasalahkan ? Inikah model penegakan hukum di negeri yang kita cintai ?
Dalam proses penyidikan, Polisi dengan gagah perkasa menangkap Terdakwa, yang hanya seorang emak-emak beranak 4 (empat). Polisi, bertindak untuk dan atas nama hukum, mengejar dan memburu Terdakwa, dan menjebloskannya di jeruji besi ruang tahanan.
Demikianlah, apa yang dialami Terdakwa. Terdakwa tidak memiliki argumen, untuk mendapat fasilitas asas hukum berupa praduga tidak bersalah. Terdakwa pun tidak memiliki kekuatan, ketika meminta penangguhan namun upaya itu pun akhirnya selalu dikesampingkan, dari proses penyidikan bahkan hingga di persidangan.
Subjektivitas alat negara, subjektifitas aparat penegak hukum, telah menjadikan "RASA KHAWATIR" mengeliminasi hak Terdakwa untuk memperoleh penangguhan penahanan. Khawatir lari, khawatir berbuat pidana lagi, khawatir menghilangkan barang bukti. Namun pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan seorang Ibu seperti Terdakwa ?Padahal keluarga telah memberikan jaminan. Pada kasus serupa, dengan dakwaan pasal yang sama, seorang artis kondang di negeri ini tidak ditahan meski didakwa dengan pasal serupa yang ancaman pidananya melebihi 5 (lima) tahun.
Hukum menjadi tidak objektif, hukum menjadi suka-suka berdasarkan rasa-rasa. Tidak ada ukuran objektif, untuk menilai persoalan secara equal.
Penegakan hukum mempertontonkan kedzaliman yang nyata, berwajah garang kepada rakyat jelata dan bermuka manis pada mafia hukum yang seharusnya ditindak tegas. Koruptor kakap, kembali ke negeri disambut karpet merah. Sementara ulama dikriminalisasi, ajaran Islam di kriminalisasi, umat Islam dipinggirkan.
Demikianlah, sekelumit wajah hukum dan peradilan di negeri ini. Karenanya, dibutuhkan hakim-hakim progresif yang berani keluar dari pakem keliru yang dianggap menjadi lumrah, untuk benar-benar menyuarakan keadilan.
Hakim yang akan mengakhiri kedzaliman pada hukum dan keadilan, melalui putusan-putusan yang benar-benar berdasarkan keadilan dan berketuhanan. Agar ada alasan bagi rakyat, untuk membawa perkara dan mencari keadilan melalui sarana yang disediakan negara. Sebab jika tidak, negara benar-benar diujung kendali negara kekuasaan (matchstaat).
Tidak adalagi hukum dan keadilan, yang ada tinggal kekuasaan dan kesewenang-wenanangan. Hukum tidak lagi melayani rakyat untuk memperoleh keadilan, hukum akan jatuh menjadi alat kekuasaan.
Karenanya melalui majelis yang mulia, Terdakwa mengemis keadilan, dari sisa dan remah keadilan yang mungkin masih ada dan diperuntukkan bagi rakyat jelata. Keadilan yang mungkin masih diberikan kepada seorang Ibu, seorang emak, agar Terdakwa bisa bebas dan kembali kepada suami, anak-anak dan keluarganya. [].
NB. Hari ini (21/05/2018) rencana pembacaan putusan majelis hakim, mohon doa dan dukungannya agar Terdakwa di vonis bebas.
Posting Komentar