Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
Tidak banyak orang NU yang tahu, ternyata dahulu NU tidak menjadikan Pancasila sebagai asas organisasinya. Meskipun NU menjadi salah satu ormas yang ambil bagian dalam perumusan Pancasila di masa-masa awal kemerdekaan, ternyata NU tidak menjadikan Pancasila sebagai asasnya, yang dijadikan asasnya adalah Islam.
Tentu ulama-ulama NU punya alasan mengapa harus Islam yang dijadikan sebagai asas organisasinya, bukan Pancasila, walaupun Pancasila sendiri hakikatnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ulama-ulama yang shaleh menampakan Keislaman haruslah totalitas, bukan hanya pada tampilan dan akhlak semata, tetapi juga harus ada pada landasan dalam setiap pergerakannya.
Walaupun secara asas organisasi tidak menjadikan Pancasila sebagai asasnya, bukan berarti NU anti dengan Pancasila. Para Kiai bersikap proporsional menyikapinya, sebagai asas yang dirumuskan oleh manusia Pancasila tidak boleh diagamakan, tetapi juga tidak boleh dipersalahkan, karena semua sila yang terkandung di dalamnya sesuai dengan inti-inti ajaran Islam.
Pada rezim orde baru (awal-awal tahun 1980'an), mulailah NU menentang Pancasila ketika rezim penguasa menetapkannya sebagai asas tunggal, menjadikan Pancasila sebagai alat pukul politik penguasa. Semua ormas, Islam ataupun bukan, termasuk NU, dipaksa agar merubah asasnya dengan Pancasila. Siapa yang tidak mau sejalan dengan keinginan penguasa tersebut maka dia akan dicap sebagai anti Pancasila.
Bukan hanya itu, semua lawan Politiknya pun dituduh anti Pancasila. Kiai-kiai diawasi dan ditangkapi ketika mereka diketahui selalu mengkritik penguasa. Kontan saja umat Islam marah saat itu, mereka tidak mau Pancasila dijadikan sebagai alat gebuk politik penguasa bagi lawan-lawannya. NU pun sama menentang penyalahgunaan Pancasila, apalagi dijadikan sebagai alat gebuk politik rezim yang berkuasa.
Singkat cerita, ketika umat Islam semakin ditekan rezim orba dengan asas tunggal Pancasila'nya, melalui pembicaraan yang intensif antara KH. As'ad Syamsul Arifin dan KH. Ahmad Shiddiq bersama Presiden Soeharto, akhirnya NU pun menerima Pancasila sebagai asas organisasinya, dengan catatan; Pancasila jangan sampai menggantikan agama, dan Pancasila tidak boleh diagamakan.
Keputusan itu kemudian dideklarasikan secara resmi oleh para kiai pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983, ketika NU dipimpin oleh Gusdur. Keputusan itu menuai pro dan kontra di kalangan kiai-kiai NU. Meski sudah ada keputusan resmi dari organisasinya, masih ada sebagian ulama NU yang tidak mau menerima keputusan tersebut, mereka kekeh dengan asas Keislamannya.
Itu adalah fakta sejarah yang semua orang bisa membacanya. Rasa-rasanya suasana itu kini terulang kembali, Pancasila dijadikan sebagai alat pentung politik bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa. Kelompok Islam manapun, yang memperjuangkan Khilafah maupun yang tidak, akan dituduh sebagai anti Pancasila manakala mereka selalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan penguasa.
Pertanyaannya,
dimanakah NU saat ini berada ?
Boleh dibilang tulisan ini adalah penggiringan opini. Ibarat Ayam, hanya Ayam hidup sajalah yang bisa digiring, sebab masih mempunyai panca indera dan perasaan. Ayam yang sakit, apalagi sudah mati sampai kapanpun tidak akan pernah bisa digiring sebab sudah tidak ada lagi padanya perasaan.
Allaahummaa Sallimnaa
#KhilafahAjaranIslam
#ReturnTheKhilafah
Cirebon, 28 Mei 2018
Posting Komentar