KOMPAS edisi Selasa 9 Mei 2017 hari ini menyajikan headline “Pemerintah Mengambil Sikap” (mengambil langkah hukum untuk membubarkan HTI). Pemerintah menilai HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tidak berperan positif dalam pembangunan mencapai tujuan nasional. Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Jenderal (Purn.) TNI Wiranto menambahkan bahwa “Kegiatan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Sambil menunggu proses hukum itu, harus segera dikatakan bahwa alasan Pemerintah untuk membubarkan HTI itu keliru. Mengapa? Ancaman nyata -yang terjadi sejak era Reformasi- terhadap kehidupan kebangsaan kita yang seharusnya berdasar Pancasila dan UUD 1945 itu tidak disebabkan oleh Ormas -apalagi semacam HTI-, tapi justru oleh lembaga lain yang eksistensinya lebih sistemik dan menggurita. Lembaga itu adalah korporasi multinasional dan sistem ekonomi kapitalistik bertulang punggung perbankan berbasis riba.
Pemerintah sendiri -tidak hanya Pemerintah saat ini- melindungi korporasi multinasional dan merestui sistem ekonomi yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (sebelum amandemen) ini. Kita cukup merujuk Bung Hatta untuk membuktikan penyelewengan konstitusional ini. Akibatnya sudah kita -sebagai bangsa- lihat dan rasakan semakin parah sejak Reformasi: ketimpangan pendapatan yang makin parah (rasio Gini 0,4) dan kesenjangan spasial yang melebar antar wilayah di negeri kepulauan ini.
Saat ini 50% lebih kekayaan nasional dimiliki oleh segelintir -1% penduduk superkaya- sebagian besar berupa kepemilikan tanah. Kemiskinan persisten dan disintegrasi telah mengancam Persatuan Indonesia hingga hari ini. Program redistribusi aset (tanah) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai upaya untuk mengurangi ketimpangan ini tidak akan berhasil dalam sistem ekonomi kapitalistik ini.
Tingkat konsumsi energi perkapita rata-rata kita saat ini sekitar 700 liter setara minyak pertahun. Saudara kita di Papua hanya mengkonsumsi sekitar 200 liter setara minyak pertahun, sementara penduduk di Jawa 2000 liter.
Nusantara sebelum penjajahan Belanda adalah kawasan makmur dan damai di bawah kerajaan-kerajaan Islam dari Aceh hingga Maluku. Kerajaan-kerajaan ini berkembang di bawah pengaruh kekhalifahan Turki Ottoman. Kemunduran Khilafah Ottoman ini kemudian menandai era penjajahan Eropa ke berbagai belahan dunia.
Adalah HTI -ormas kecil kemarin sore- yang paling lantang menyuarakan khilafah dan mempersoalkan ketimpangan dan kesenjangan ini pada saat ormas besar mapan seperti NU dan Muhammadiyah diam seribu bahasa disibukkan oleh rutinitas kebesarannya. Arsitektur legal -lahir sejak era Reformasi- yang mengatur berbagai organisasi di negeri ini cenderung menempatkan lembaga-lembaga mandiri yang diorganisasikan oleh masyarakat berseberangan dengan kekuasaan. Padahal kekuasaan yang dipegang oleh mereka yang dikooptasi oleh korporasi multinasional dan sistem ekonomi kapitalistik adalah resep bagi tirani dan kedzaliman.
Pemimpin korporasi multinasional serta pencipta sistem ekonomi kapitalistik tahu persis bahwa mereka hanya bisa beroperasi di bawah kekhalifahan Obama yang dilanjutkan oleh khalifah Trump. NU dan Muhammadiyah tahu. HTI juga tahu.
Sukolilo, 9 Mei 2017
DANIEL M ROSYID
Guru Besar, Pelaku Peradaban
Posting Komentar