PENDAPAT BOLEH BERBILANGNYA KHILAFAH, MU’TABARKAH?


Oleh: Utsman Zahid as-Sidany

INTRODUKSI

Dunia persilatan, maksud saya per-medsosan, masih terus panas dengan diskusi tentang Khilafah, sebagai satu-satunya institusi politik Islam (baca: Sistem Pemerintahan) yang disebut-sebut oleh nash-nas syara’ maupun nash-nash fiqh Islam.

Meski terjadi ikhtilaf dalam tataran rinciannya, para ulama telah sepakat akan kewajiban Khilafah, seperti ditegaskan dalam banyak sumber-sumber primer fiqh Islam lintas mazhab. Nyaris tak perlu suguhan data lagi terkait adanya ijma’ tersebut, mengingat kesohoran-nya. Azhhar min as-syams fi rabi’ah an-nahar (lebih terang dari sinar matahari di siang bolong). Begitu ungkapan orang Arab.

Salah satu point pembahasan yang masih terus menghangat adalah tentang konsep kesatuan seluruh wilayah kaum Muslim, wahdatu bilad al-muslimin, atau wahdatul khilafah/adanya satu Khilafah saj abagi seluruh kaum Muslim.

Dalam pandangan Syekh al-Mujtahid al-Qadhi al-‘Alim Abu Ibrahim Taqiyuddin an-Nabhani, kesatuan Khilafah, atau dengan ungkapan lain adanya satu Khilafah saja bagi seluruh kaum Muslim, merupakan satu daru empat pilar (qawa’id) sistem pemerintahan dalam Islam. Yakni: Kedaulatan di Tangan Syara’, Kekuasaan di Tangan Umat, Mengangkat Satu Orang Khalifah bagi seluruh kaum Muslim, dan Hak Tabanni (penetapan satu hukum syara’ sebagai UU) bagi Khalifah. (Muqaddimah ad-Dustur, juz I, hal. 107).

Maka muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya sikap yang benar sesuai dengan Islam (al-Mawqif al-Islamy) terhadap masalah ini?

Karena cukup panjangnya topik pembahasan ini, insyaAllah akan saya bagi menjadi dua (2) bagian (part).

Bagian Pertama: Kesatuan Khilafah Dalam Nash-Nash Syara’ dan Kesimpulan Para Fuqaha’ Berdasarkan Nash-Nash Tersebut.

Bagian Kedua: Sikap Yang Benar Terhadap Sebagian Pandangan Fuqaha Yang Membolehkan Adanya Dua Khilafah.
Bagian kedua ini insyaAllah meliputi:
√ Pandangan sebagian fuqaha mutaqaddimin,
√ Pendapat syadz yang disinggung oleh al-Mawardi (di dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah maupun Adab ad-Dunya wa ad-Din),
√ Pandangan al-Juwaini; benarkah beliau membolehkan?,
√ Kritik an-Nawawi terhadap al-Juwaini, Menimbang Pandangan al-Juwaini (jika benar beliau membolehkan),
Juga insyaAllah meliputi:
√Pandangan sebagian ulama mutaakhirin (Imam as-Syaukani) dan meletakkan alasan beliau, yakni taklif bima la yuthaq (pembebanan hukum di luar kemampuan manusia), dalam timbangan ushul fiqh;
√dan yang terakhir insyaAllah juga mengangkat pandangan sebagian ulama kontemporer, Muhammad Abu Zahrah.

Perlu dikemukakan terlebih dulu bahwa, dalam tulisan ini, penulis hanya menyajikan ulang –dengan beberapa tambahan maupun penyesuaian – apa yang ditulis oleh Syekh Dr. Muhammad Khair Haikal, di dalam kitabnya al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah –yang telah rampung penulis terjemahkan pada 2011 silam. Alhamdulillah.

Selamat mengikuti. Hehe…

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget