PROYEK OCCIDENTALISME AN-NABHANI MELAWAN IMPERIALISME BARAT DAN TIMUR UNTUK KEBANGKITAN UMAT

PROYEK OCCIDENTALISME AN-NABHANI
MELAWAN IMPERIALISME BARAT DAN TIMUR
UNTUK KEBANGKITAN UMAT


Oleh: Hafidz Abdurrahman




Pendahuluan


Occidentalisme berasal dari Occident, yang berarti Barat, kebalikan dari Orient, yang berarti Timur. Occidentalisme, dalam bahasa Arab, diterjemahkan dengan istilah Istighrabiyyah, sedangkan Orientalisme diterjemahkan dengan Istisyraqiyyah. Munculnya Occidentalisme sebenarnya merupakan reaksi terhadap gerakan Orientalisme yang lebih dulu ada.
Orientalisme ini mulai muncul sejak abad ke-14 M, atau satu abad setelah Perang Salib, yang berlangsung antara abad ke-11 hingga 13 M. Perang yang berlangsung selama dua abad itu akhirnya berujung pada kekalahan kaum Salib, dan membawa kesan yang mendalam dalam diri mereka, bahwa umat Islam tidak bisa dikalahkan dengan perang. Karena itu, mereka berpikir keras untuk mengalahkan umat Islam dengan cara lain, yaitu perang intelektual (ghazw fikri), perang budaya (ghazw tsaqafi) dan perang politik (ghazw siyasi).
Orientalisme ini telah berhasil mengeksploitasi titik rawan yang dianggap sebagai kelemahan Islam dan umatnya akhirnya mendapatkan tempat, karena pada waktu yang sama umat Islam mengalami kemunduran intelektual yang luar biasa. Mereka pun menjadi pihak yang tertuduh, dan cenderung bersikap defensif apologetik. Ketika Islam dituduh tidak demokratis, mereka mengatakan, “Tidak, justru Islam adalah agama yang sangat demokratis.” Ketika dikatakan, bahwa Islam disebarkan dengan pedang, mereka mengatakan, “Tidak, Islam adalah agama damai.” Jihad pun mereka dekonstruksi maknanya, sehingga tidak lagi berkonotasi perang, melainkan kerja keras.
Begitulah kaum Orientalis dengan Orientalisme telah berhasil mengeksploitasi titik rawan tersebut. Sampai akhirnya, umat Islam pun terperosok sampai pada titik nadir, sehingga keyakinan mereka kepada Islam hilang. Islam sebagai ideologi tidak lagi mereka miliki. Islam sebagai solusi tidak lagi mereka yakini. Inilah keberhasilan luar biasa yang dicapai oleh Orientalisme.



Menyadari fakta itu, maka muncul upaya dari intelektual Muslim, sebut saja, seperti Hasan Hanafi di Mesir, seorang profesor filsafat, lulusan Sorbon University, Perancis, yang juga mantan anggota Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang juga dikenal dengan gagasannya Yasar Islami (Kiri Islam), menawarkan proyek Occidentalisme ini. Occidentalisme ini merupakan reaksi dari Orientalisme. Namun, sayang, proyek Istighrabiyyah Hasan Hanafi tidak substansial, sebagaimana proyek Orientalisme. Bahkan, bisa dikatakan sangat artifisial, dan tidak mendasar.



Occidentalisme dan Kebangkitan Umat
Kemenangan Barat, dengan proyek Orientalisme ini berujung pada runtuhnya payung dunia Islam, yaitu Khilafah Islam, di Turki tanggal 3 Maret 1924 M, serta dipisahkannya Islam dari kehidupan. Akibatnya, umat Islam pun terpuruk tak pernah bisa bangkit hingga sekarang. Occidentalisme sebagai reaksi dari Orientalisme, yang digagas oleh Hasan Hanafi itu ternyata tidak mampu memberikan jawaban terhadap permasalahan umat.



Berbeda dengan proyek Occidentalisme Hasan Hanafi, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, yang mulai merintis Hizbut Tahrir di al-Quds hingga akhirnya diproklamirkan tahun 1953 M di Yordania, juga telah menyusun proyek “Mengembalikan Kehidupan Islam dalam naungan Khilafah”. Proyek ini merupakan proyek raksasa, yang pada zamannya dianggap utopis, gila dan tidak masuk akal. Karena proyek raksasa ini ingin mengembalikan kembali kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah, maka mau atau tidak, beliau harus meruntuhkan bangunan Barat yang bercokol di negeri kaum Muslim. Karena itu, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani melakukan, apa yang penulis sebut sebagai proyek Occidentalisme.



Meski istilah ini tidak pernah dipakai, tetapi tampaknya jika ini kita gunakan untuk menyebut proyek yang beliau bangun jelas bisa. Bahkan, proyek Occidentalisme an-Nabhani jauh lebih mendasar, tepat mengenai sasaran tembak, dan bahkan membuat Barat tidak berkutik. Kaum Muslim yang menjadi pengagum Barat dan Timur pun akhirnya tersadarkan kembali, setelah mereka mindset-nya berhasil dibangun kembali, setelah sebelumnya diruntuhkan hingga ke akar-akarnya.



Berbeda dengan Hasan Hanafi, Occidentalisme an-Nabhani jelas arahnya, untuk kebangkitan umat Islam di bawah naungan Khilafah. Tidak hanya itu, mereka pun dibersihkan kepribadiannya, mulai dari akliah dan nafsiahnya, hingga tsaqafah, sains, hadharah dan madaniyah-nya. Hingga mereka benar-benar mempunyai kepribadian Islam yang prima, dan bersih dari pengaruh Barat dan Timur, yang nota bene adalah Kufur. Mereka pun bisa membangun kembali peradaban mereka, dengan Islam di bawah naungan Khilafah.



Proyek Occidentalisme an-Nabhani
Secara garis besar, proyek Occidentalisme an-Nabhani ini bisa dilacak pada beberapa karya yang ditulisnya. Sebut saja, kitab Nidzam al-Islam, yang merupakan kitab dasar dalam pembinaan Hizb. Pada bab al-Qiyadah al-Fikriyyah, an-Nabhani mengurai dengan detail, ciri-ciri ideologi, dan menempatkan Islam sebagai satu-satunya ideologi yang sahih, karena dibangun berdasarkan akal dan sesuai dengan fitrah manusia.


Sedangkan ideologi-ideologi lain tidak. Karena akidahnya salah, sebab tidak dibangun berdasarkan akal, juga tidak sesuai dengan fitrah manusia. Selain itu, beliau juga mengurai bagaimana konsep Islam tentang masyarakat, dan negara. Diakhiri dengan kajian empiris dan historis tentang fakta Islam sebagai ideologi yang pernah diterapkan dan memimpin dunia.
Pada bagian lain, pembahasan tentang hadharah dan madaniyah, dalam kitab yang sama, bisa dikatakan sebagai pelengkap dari proyek ini. Bahkan, dua pembahasan ini merupakan pembahasan baru, yang belum pernah dirumuskan oleh pemikir sebelumnya, sebelum al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.



Tidak hanya di dalam kitab Nidzam al-Islam, kritik yang sangat tajam terhadap Kapitalisme dan Sosialisme beliau tuangkan dalam kitabnya, an-Nidzam al-Iqtishadi, tepatnya pada Muqaddimah. Pondasi kedua ideologi ini, dan juga pandangan ekonomi yang menjadi pilar penting kedua ideologi ini benar-benar berhasil diruntuhkan. Dalam buku yang sama, beliau juga berhasil merumuskan sistem ekonomi Islam yang khas, yang berbeda sama sekali dengan Kapitalisme maupun Sosialisme.
Semakin lengkap, ketika al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, membabat habis derivasi dari kedua sistem, Kapitalisme dan Sosialisme, di atas dalam kitabnya, as-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla. Meski nama penulisnya digunakan nama lain, al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki. Jika dalam Muqaddimah an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam beliau mengkritik dasar-dasar kedua ideologi tersebut, maka dalam kitab as-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla ini, beliau membabat habis turunan ide dan konsep kedua ideologi ini.
Semakin lengkaplah proyek ini, ketika al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengeluarkan kitabnya, Naqdh al-Isytirakiyyah al-Marksiyyah, yang menggunakan nama Ghanim ‘Abduh, at-Tafkir, Mafahim Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir dan Nadharat Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir. Kitab-kitab ini merupakan kritik yang mendalam, sekaligus membentuk mindset kita, sehingga kita bisa memposisikan diri di tengah arus ideologi dan politik global saat ini dan yang akan datang.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget