74 TAHUN SEJAK PROKLAMASI, INDONESIA MASIH DALAM CENGKERAMAN KAPITALIS LIBERAL?

Oleh: Ahmad Rizal - Dir. Indonesia Justice Monitor

"Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal, itulah Indonesia hari ini," kata Surya dalam diskusi bertajuk Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).

"Sy apresiasi pernyataan jujur dan terbuka Surya Paloh: Indonesia Kini, Ngr Kapitalis yang Liberal. Ilmuan takut kritik krn Pancasila sk dijdkn alat pukul ke yg kritis-lwn pltk. Buat jargon Sy Pancasila Sy Indonesia, tp tdk diamalkan dlm berbgs dan berngr." Demikianlah cuitan Twitter Prof. Dr. Musni Umar, SH., M.Si., Ph.D, Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta, mengapresiasi pernyataan Surya Paloh.

Politikus PDIP Effendi Simbolon sangat setuju dengan peryataan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh yang menyebut Indonesia merupakan negara yang menganut sistem kapitalis yang liberal, namun malu untuk mengakuinya.

"Justru menurut saya menarik ada statment dari Pak Surya Paloh yang mengatakan, sadar ga bahwa negara kita ini kapitalis dan liberalis, luar biasa itu. Jadi seorang tokoh politik, tokoh nasional yang punya jam terbang tinggi dan mengatakan kita bukan politisi yang seminggu," kata Effendi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/8/2019).


Tak mau ketinggalan, Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI juga membenarkan bahwa Indonesia kini kapitalis liberal.

"Pak Surya Paloh dengan assesment kesimpulan bahwa kehidupan kebangsaan kita negara dan bangsa Indonesia telah terjebak ke dalam kapitalisme liberalisme dan itu adalah kenyataan dan itu adalah antipancasila," ungkap Din usai acara sarasehan "Muhasabah 74 Tahun Kemerdekaan RI" di Kantor CDCC, Jakarta, Jumat (16/8).


Bahkan pada tahun 2018 lalu telah dikritik pula bahwa pengelolaan BUMN di Indonesia juga kapitalis liberal.

Pengelolaan negara cq pemerintah terhadap BUMN cenderung bersifat kapitalis dan terseret/mengarah pada sistem ekonomi liberal. Ini sebagai akibat penyalahgunaan penerapan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mengisyaratkan BUMN mengutamakan mencari keuntungan.    

“Ini dapat diduga akibat penerapan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b UU BUMN yang disalahgunakan dan telah menyimpang dari substansi sistem ekonomi Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945, sehingga bersifat kapitalistik, liberalistik, dan berparadigma neo-liberalisme,” ujar pengajar hukum ekonomi Universitas Surakarta, Agus Trihatmoko saat memberi keterangan ahli pemohon di sidang uji UU BUMN di Gedung MK, Rabu (2/5/2018).


Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme (Samuelson & Nordhaus, 1999).

Kapitalisme meniscayakan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh kaum kapitalis. Tak heran banyak kebijakan-kebijakan yang justru cenderung berpihak pada para pemilik modal. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah UU yang sarat kepentingan kapitalis seperti UU Migas, UU Listrik, UU PMA, UU Perburuhan, UU Perbankan, dll. Rakyat makin sengsara menanggung beban hidup yang kian berat.

Melalui lisan kita meneriakkan "MERDEKA!!!", namun tampaknya kapitalisme neoliberal masih mencengkeram negeri ini. Benarkah demikian sodara-sodara?! []

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget