Kajian Hadits Siyasah
"Terlepasnya Simpul Islam"
Oleh : Ustadz Ahmad Abdurrahman al-Khaddami
Kajian Hadits Siyasah
"Terlepasnya Simpul Islam"
Hadits Asal
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallâhu ‘anhu
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
Syawahid
Dari Abdullah ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ
لتنقضن عرى الإسلام عروة عروة ، وليكونن أئمة مضلون ، وليخرجن على أثر ذلك الدجالون الثلاثة
Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu
أول ما تفقدون من دينكم الأمانة، وآخر ما تفقدون الصلاة
Takhrij
Hadits ini ahad-gharib kuantitasnya dari jalur Abdul Aziz ibn Isma’il ibn ‘Ubaidillah dari Sulaiman ibn Habib dari Sayyidina Abu Umamah al-Bahili radhiyallâhu ‘anhu dan al-Hakim menyatakannya seluruh sanadnya shahih, sedangkan menurut al-Haitsami para rawi dalam sanad Ahmad dan ath-Thabrani merupakan rijâl-nya hadits shahih, sanadnya marfu’ muttashil dari jalur Ahmad, maka secara kualitas hadits ini shahih.
Semuanya menggunakan jalur sanadnya Ahmad secara utuh, kecuali Ibn Hibban, namun bermuara pada jalur yang sama, yakni al-Walid ibn Muslim, yang merupakan rawinya al-Bukhari dan Muslim. Adapun Abdul Aziz dinilai “tidak mengapa” oleh Abu Hatim dan ditsiqahkan oleh Ibn Hibban, Sulaiman ibn Habib diterima periwayatannya oleh al-Bukhari, dinilai tsiqah oleh Ibn Ma’in, al-‘Ajli, dan an-Nasa`i.
Mengenai para rawi lainnya, sanad Ibn Hibban:
(1) Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna, yakni Abu Ya’la al-Maushuli, seorang penyusun al-Musnad
(2) Ishaq ibn Ibrahim al-Marwazi, yakni Ibn Abi Isra`il, dinyatakan tsiqah oleh Ibn Ma’in, Ibn Hibban, dan ad-Daruquthni;
Sanad ath-Thabrani:
Muhammad ibn Abdillah al-Hadhrami, yakni asy-Syaikh al-Hafizh Mathin, syaikhnya ath-Thabrani;
Sanad al-Baihaqi:
(1) Abu Nashr ibn Qatadah, syaikhnya al-Baihaqi,
(2) Abu al-Hasan as-Sarraj, yakni al-Imam al-Muhaddits Muhammad ibn al-Hasan,
(3) Mathin, yakni Muhammad ibn Abdillah al-Hadhrami.
Adapun sanad al-Hakim, sekalipun menggunakan jalur Ahmad, di dalamnya terdapat perbedaan isnad, yakni dari al-Walid ibn Muslim “dari Abdul Aziz dari Isma’il ibn ‘Ubaidillah”, sedangkan yang lainnya dari al-Walid ibn Muslim “dari Abdul Aziz ibn Isma’il ibn ‘Ubaidillah”.
Mengenai kondisi para rawinya:
(1) Ahmad ibn Ja’far al-Qathi’i, yakni al-Imam al-Muhaddits al-Qathi’i, periwayat karya-karyanya Ahmad,
(2) Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, yakni putra dari Ahmad,
(3) Abdul Aziz, yakni Ibn Ubaidillah ibn Hamzah ibn Shuhaib, dinilai lemah oleh Abu Hatim dan Abu Zur’ah, periwayatannya mengenai sebuah atsar dari Bilal ra., digunakan al-Bukhari secara ta’liq dalam ash-Shahîh, tanpa menyebutkan namanya,
(4) Isma’il ibn ‘Ubaidillah, seorang tsiqah, rawinya al-Bukhari dan Muslim.
Syarah
Dengan men-jama ketiga riwayat tersebut, lafad al-Hukm lebih tepat jika dimaknai Pemerintahan bukan sekedar Peradilan.
Yang menggabungkan pembahasan Imarah/Imamah dengan Qadha di kalangan para penulis hadits ialah (1) Imam al-Bukhari, (2) Imam at-Tirmidzi, dan (3) Imam al-Hakim, serta (4) Imam Ibn Majah dan (5) Imam ad-Daruquthni.
Syaikh al-Islam Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i dalam Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî menjelaskan:
والأحكام جمع حكم والمراد بيان آدابه وشروطه وكذا الحاكم "ويتناول لفظ الحاكم الخليفة والقاضي" فذكر ما يتعلق بكل منهما
Disebutkan pula dalam Shahih Ibn Hibban sebagai berikut:
ذكر الإخبار بأن أول ما يظهر" من نقض عرى الإسلام من جهة الأمراء فساد الحكم والحكام"
Dengan demikian hadits ini mengisyaratkan bahwa Sistem Pemerintahan merupakan metode baku untuk menerapkan ajaran Islam yakni ditinjau dari lafad awwaluhunna dan akhiruhunna, seakan dikatakan bahwa dengan ketiadaan hukum tentang Sistem Pemerintahan meniscayakan ketiadaan hukum Shalat.
Secara faktual, setelah Sistem Pemerintahan (Islam) menjadi tidak wajib, sekedar sunnah atau mubah bahkan haram atas nama modernisasi (rekonstruksi syariah) mengakibatkan perubahan hukum Shalat dari wajib menjadi "mubah". Jika dulu yang meninggalkan meninggalkan shalat itu terkategori kriminalitas hingga sanksi terberatnya hukuman nanti, saat ini hanya sekedar pilihan individual. Bahkan pada beberapa kondisi, wilayah, atau personal secara sengaja tidak dilaksanakan, yang hal tersebut dianggap bentuk kebebasan perilaku.
Hadits ini semisal dengan ungkapan Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi'i al-Asy'ari dalam al-I'tiqad:
والسلطان حارس ... وما لا حارس له فضائع
Kekuasaan itu penjaga ... Dan perkara yang tiada penjaga maka akan hilang
Ketiadaan penjaga lebih berbahaya karena proses hilangnya sedikit demi sedikit, menghapus kewaspadaan, dan lebih mudah terjadi dibandingkan menghancurkan pondasi (ad-din).
Sebagaimana pula diriwayatkan ungkapan yang semisal dari Sayyidina Handzalah ibn arRabi' radhiyallahu 'anhu, dinukil oleh Imam Ibn Jarir ath-Thabari dalam at-Tarikh:
يرومون الخلافة ان نزولا ولو زالت لزال الخير عنهم
Demikianlah, kedudukan Khilafah/Imamah menurut Ulama as-Salaf ash-Shalih.
Memang benar bahwa Imam al-Munawi dalam Syarah al-Jami' ash-Shaghir memaknai al-Hukm dalam hadits tersebut sebagai al-Qadha. Namun, jika pun diartikan al-Imamah juga tidak bertentangan dengan syarah tersebut, karena al-Qadha adalah bagian dari al-Imamah. Tidak bisa ada peradilan tanpa penunjukkan Imam/Khalifah. Yang mungkin ada tanpa penunjukkan ialah al-Muhakkam, bukan al-Qadhi.
Pada asalnya pemerintahan dan peradilan itu satu, namun boleh dipisah. Konsep "wajib" dipisahkan merupakan teori Baru yang dipopulerkan intelektual Barat.
Jika dianggap al-Hukm merupakan lafad musytarak, maka ada beberapa kemungkinan :
(1) Peradilan Syariah tanpa Pemerintahan Syariah,
(2) Pemerintahan Syariah tanpa Peradilan Syariah,
(3) Syariah tanpa Pemerintahan maupun Peradilan.
Manakah yang lebih sesuai dengan hadits tersebut?
Jika pemerintahan adalah asal dari peradilan bahkan Qadhi itu diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah/Imam, maka men-ta'yin al-Hukm dalam hadits ini dengan pemerintahan lebih komprehensif dibandingkan sekedar peradilan, karena peradilan adalah bagian dari pemerintahan, terutama ditinjau dari fungsi "menerapkan hukum" kepada masyarakat yang bersifat "memaksa". Wallahu A’lam.
Posting Komentar