MEMBANTAH LOGIKA NGAWUR KAUM SEKULER LIBERAL


Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani

Sebagian tokoh, yang konon kaum intelektual Indonesia, menganggap bahwa negeri ini sudah lama menjalankan syariat Agama. Indonesia sudah dari dulu bersyariah. Pernyataan semacam itu (terang saja) termasuk de-Islamisasi, menyindir Para ulama yang memperjuangkan NKRI Bersyariah. 

Beberapa tokoh yang konon termasuk kaum cendekiawan pernah mengungkapkan hal itu. Berbeda dengan Ki Bagus Hadikusumo (Tokoh Pendahulu di Muhammadiyah), mereka terlihat lembek menyuarakan penegakkan Hukum Islam di Indonesia. Padahal Para tokoh, termasuk dari NU dan Muhammadiyah adalah yang dahulu lantang memperjuangkan Piagam Jakarta.

Logikanya, jika Pancasila memang sudah bersyariah, lalu kenapa pula Ki Bagus dahulu begitu marah ketika Piagam Jakarta dihapus dan diganti Pancasila. Apa beliau tidak membaca Lima Sila dalam simbol burung garuda ? 

Sebagian tokoh saat ini menghukumi Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah bersyariah hanya dengan melihat adanya lembaga-lembaga agama Islam yang ada. Adanya Kementerian Agama, Departemen Agama dan yang sejenisnya menjadi dalil bagi mereka untuk memfatwakan, bahwa "NKRI Sudah Bersyariah".

Bukti bahwa Indonesia sudah bersyariah adalah negeri ini sudah mengurus masalah nikah, cerai, wakaf, perbankan syariah dan juga haji dengan aturan-aturan Islam. Seperti itulah kurang lebih argumentasi mereka. Bagi kalangan awam, pasti mereka akan menganggukan kepala begitu saja. Tetapi bagi kami tidak. Kami punya nalar, kami punya logika, kami tidak mau dibodohi.

Pasalnya, jika standar bersyariah cukup hanya dengan diterapkannya sebagian Hukum Islam, seperti masalah nikah, zakat dan yang lainnya, lalu bagaimana dengan Belanda dan Jepang? Mereka juga dahulu ketika menjajah nusantara mengatur Perkara-perkara Perdata bagi umat Islam. Mereka mengaturnya dengan syariat Islam.

Bahkan, di era penjajahan Jepang Para ulama mendapat perhatian penuh dari mereka, meskipun ada beberapa yang dipenjara. Itu pun disebabkan para ulama tidak mau mengikuti perintah Jepang untuk menghormati benderanya, (Biografi Wahid Hasjim, 2011. Mizan, Bandung).

Di zaman Belanda, Keraton-keraton di Nusantara bersepakat dengan Belanda, membagi kekuasaan dengan jalan memisahkan dua hukum, Hukum Perdata dipersilahkan menggunakan aturan Islam, sementara Hukum Pidana harus menggunakan aturan Belanda, (Api Sejarah, AM. Suryanegara).

Islam adalah agama yang kaffah. Bukan termasuk Islam jika tidak kaffah. Ibaratnya, kera mempunyai tangan dan kaki seperti halnya manusia, tetapi itu bukan berarti kera sudah menjadi manusia. Karena ada perbedaan-perbedaan inti di antara keduanya.

Begitupun Indonesia saat ini, meskipun ada Hukum-hukum Islam yang diterapkan, tetapi itu hanya sebagian kecil saja. Sehingga tidak pas jika kita mengatakan bahwa Indonesia sudah bersyariah. Sebagaimana tidak pasnya kita mengatakan bahwa kera adalah manusia hanya karena sama-sama punya tangan dan kakinya.

Pancasila sendiri masih interpretatif. Jika memperjuangkan Pancasila sama saja dengan memperjuangkan Islam, lalu bagaimana dengan Cahyo Kumolo, Ruhut Sitompul dan orang-orang non muslim lainnya yang mengaku Pancasilais, apa berarti mereka juga termasuk sudah bersyariah dan sedang memperjuangkan Islam ?

#Alumni212
#ReturnTheKhilafah
Anjatan, 12 Agustus 2019
___________
Alhamdulillah, Penulis telah selesai menyusun Naskah Buku yang berjudul "Ketika Kiai Dipertuhankan" (Fenomena Hancurnya Agama2 Samawi), Terbitan Al-Azhar Press, Bogor.

Untuk pemesanan dan bedah buku silahkan hubungi no. 0817 011 7771

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget