WAHAI MENHAN, JANGAN TERBAWA PROPAGANDA BUSUK BARAT !

Oleh : A. Sakhroni

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menjalani serah terima jabatan dengan menteri pertahanan sebelumnya, Ryamizard Ryacudu. Dalam serah terima jabatan tersebut, Ryamizard menyampaikan beberapa pesan untuk Prabowo.

“(PR-nya Prabowo) khilafah tuh, ISIS, harus dihancurin,” kata Ryamizard kepada Prabowo, seperti dilansir dari Kumparan, Kamis, 24 Oktober 2019. Ryamizard mengatakan, masalah radikalisme di Indonesia harus menjadi salah satu fokus utama dari Kementerian Pertahanan.

Dari pernyataan diatas, bisa disimpulkan bahwa Khilafah dan ISIS, dianggap dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebagai sumber radikalisme yang wajib dimusnahkan, siapapun yang menyebarkan faham tersebut maka diangkap makar dan ancaman.

Imbas dari kesimpulan tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah, karena salah satu tujuannya adalah mendirikan sistem khilafah, seperti halnya Kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), juga memiliki tujuan serupa, mendirikan kekhalifahan.

Menurut pengamat terorisme, Al Chaidar, tidak adil jika HTI disamakan dengan ISIS, hanya karena tujuannya sama-sama mendirikan kekhalifahan. "HTI itu menggunakan cara dakwah, kalau ISIS itu menggunakan cara-cara teror dan kekerasan," ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com.

Walau gerakan HT dan ISIS memiliki cita-cita yang sama, namun Hizbut Tahrir (HT) menolak cara penegakan daulah khilafah Islam yang dilakukan ISIS dan menganggapnya tidak absah. Sebagaimana yang dinyatakan Ustadz Ismail Yusanto, selaku Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berikut: “Sikap Hizbut Tahrir sendiri dalam soal ini sangatlah jelas, sebagaimana termuat di situs Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Intinya, Hizbut Tahrir menolak keabsahan kekhalifahan yang dideklarasikan oleh ISIS yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Pasalnya, khilafah ala ISIS tidak memenuhi syarat”.

HTI sendiri, dalam sebuah rilisnya yang tersebar dimedia masa menyatakan bahwa ISIS adalah permainan (propaganda) kaum sekuler-liberal (baca; Barat), dan hanya dimanfaatkan untuk menjatuhkan Islam, terutama dalam hal “khilāfah Islāmiyah”. Propaganda tersebut memiliki tujuan, antara lain: 

(a) untuk memberikan citra negatif pada khilafah. Isu ISIS digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memberikan stigma negatif kepada gagasan khilafah. Isu ini selalu dilekatkan dengan topik pembahasan seputar negara Islam dan khilafah. Sistem khalifah yang begitu mulia digambarkan oleh mereka sebagai sebuah sistem yang kejam, menakutkan, diskriminatif, sumber konflik, dan seterusnya;

(b) kriminalisasi terhadap perjuangan mulia menegakkan khilafah. Selain menggiring isu ISIS untuk memberikan citra negatif terhadap khilafah, topik ini juga diseret untuk mengkriminalisasi perjuangan penegakan ideologi Islam. Mereka menggeneralisasi bahwa pihak-pihak yang memperjuangkan khalifah adalah sama bahayanya dengan ISIS;

(c) mensekulerkan umat Islam. Setelah mencitrakan khilafah dengan sedemikian buruk, kaum sekuler-liberal berupaya menampilkan sekaligus mengkampanyekan Islam sekuler (Islam yang memisahkan agama dengan kehidupan). Bagi mereka Islam cukup aktivitas ritual dan spiritual belaka tanpa adanya formalisasi syariat. Menurut mereka, syariat dan khilafah tidak wajib diterapkan, gagasan utopis, tidan relevan, dan seterusnya.

Walhasil, Sebuah kesalahan besar menganggap Khilafah sebagai sumber radikalisme dan terorisme. Sebab Khilafah itu bagian dari Ajaran Islam, menganggap khilafah sebagai sumber radikalisme dan terorisme sama saja dengan menistakan Islam.

Ketika ada yang berusaha menyamakan Khilafah dengan ISIS, sesungguhnya orang tersebut telah terbawa propaganda busuk barat atau diduga kuat menjadi bagian dari antek barat, yang terus berusaha dengan segala cara meredam kebangkitan Islam.

Sebagai penutup, saya kutip pendapat seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), bahwa mereka sepakat adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan, “Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].

Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget