Oleh : Agung Wisnuwardana
Skandal PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya Gate) menimbulkan kerugian mencapai lebih dari Rp 13,7 triliun.
Diduga manajemen Jiwasraya saat itu yaitu Hendrisman Rahim (Dirut) dan Hary Prasetyo (Direktur Keuangan) sengaja melakukan investasi secara sembrono pada saham gorengan, yaitu saham yang pergerakan harganya tidak menentu (tiba-tiba harganya melesat tinggi, beberapa waktu kemudian turun drastis) dengan risiko tinggi.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu menduga kuat bahwa skandal Jiwasraya ini adalah bentuk perampokan terstruktur.
Jiwasraya gate ini semakin panas beritanya karena mantan Direktur Keuangan Jiwasraya yaitu Hary Prasetyo adalah tenaga ahli di Kantor Staf Presiden dan dikabarkan saat ini kabur ke luar negeri. Plus Jiwasraya juga berinvestasi di saham PT Mahaka Media Tbk (ABBA), emiten media yang didirikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir, yang sebelumnya adalah Ketua Tim Sukses Jokowi-Ma'ruf.
Beberapa pihak pun akhirnya berani mengeluarkan pernyataan bahwa perampokan Jiwasraya ini untuk mendanai Kampanye Paslon Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres beberapa waktu yang lalu.
Solusi dari Menteri BUMN Erick Thohir untuk membentuk holding BUMN Asuransi pun diprediksi beberapa kalangan hanya sebagai upaya menutupi skandal yang ada di perusahaan asuransi plat merah tersebut.
Skandal Jiwasraya ini semakin mencurigakan karena KPK tak mau ikut campur mengurusi skandal ini dan menyerahkannya pada Kejagung. Hal ini dicurigai beberapa kalangan hanya strategi melokalisir kasus hanya mengenai orang-orang tertentu, tidak melebar kemana-mana, tak menyentuh aktor dan motiv utama perampokan.
Kondisi di atas mengingatkan pada pernyataan bahwa ada dua sektor yang sangat rawan terjadinya korupsi politik yaitu BUMN dan sektor keuangan. Korupsi politik adalah korupsi yang diarahkan untuk pembiayaan pemenangan kontestasi politik. Skandal Jiwasraya memenuhi dua kerawanan korupsi politik tersebut.
Inilah kebobrokan demokrasi yang nyata didepan mata kita. Demokrasi itu mahal Saudara. Skandal mega korupsi akan terus ada menyertai keberadaan demokrasi dan pasti akan selalu berulang.
Skandal Jiwasraya menggambarkan kondisi yang jauh dari keberkahan. Para nasabah Jiwasraya bergerak untuk memperoleh riba dari investasinya. PT Jiwasraya bergerak untuk memperoleh riba dari investasi non riil. Elit politik penggarong uang nasabah berpikir untuk korupsi demi memenangi kontestasi politik demokrasi yang mahal.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) gila.” (QS. Al Baqarah: 275)
Imam Asy Syaukani berpendapat bahwa keadaan pemakan dan pemanfaat harta riba seperti orang gila yang kerasukan setan itu bukan hanya saat dibangkitkan dari kubur, namun berlaku untuk keadaannya di dunia. Orang yang mengumpulkan harta dengan menempuh jalan riba, maka ia akan berdiri seperti orang majnun (orang gila) yaitu karena sifatnya yang rakus dan tamak. Gerakannya saat itulah seperti orang gila. Seperti jika kita melihat ada orang yang tergesa-gesa saat berjalan, maka kita sebut ia dengan orang gila. (Lihat Fathul Qodir karya Asy Syaukani, 1: 499).
Sistem kapitalisme telah menghalalkan riba. Sistem demokrasi telah meniscayakan perampokan harta riba untuk memenangi kontestasi politik. Para pemenang kontestasi politik akhirnya meniscayakan kebijakan yang melanggengkan eksploitasi oleh para kapitalis dan melanggengkan sistem ribawi. Akhirnya semua pihak bergerak bagaikan orang gila yang kerasukan setan. Na'udzubillahi min dzalik
Sudah waktunya kita tinggalkan sistem buruk ini. Saatnya untuk bersegera menuju pada keberkahan dengan menerapkan Syariah Islam secara kaffah, menjauhi sistem ribawi, menjauhi sektor non riil, meninggalkan sistem rusak kapitalisme dan demokrasi.
Wallahu'alam
Posting Komentar