Oleh : Nasrudin Joha
Bareskrim Polri Tolak Laporan FPI soal Gus Muwafiq. Alasannya, tidak dilengkapi bukti terjemahan bahasa, video tidak dilengkapi dengan transkrip yang telah dialih bahasakan.
Secara hukum seolah benar, polisi profesional. Tapi, bukankah tugas menyelidiki dan menyidik itu tugas kepolisian ? Bukan pelapor ? Pelapor itu tugasnya hanya melaporkan tentang adanya dugaan peristiwa pidana, selanjutnya polisi selaku penyidik yang menyelidikinya apakah benar ada peristiwa pidana ?
Selanjutnya, setelah ada peristiwa pidana polisi segera menaikan status penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan siapa pelaku atau tersangkanya. Beban hukum pembuktian kasus pidana itu ada pada negara, melalui polisi dan jaksa.
Jika polisi melihat belum ada transkrip, seharusnya itu tugas polisi. Polisi segera menerima laporan, menerbitkan sprindik, lalu mulai melakukan penyelidikan. Dalam tahap ini, polisi punya tugas melengkapi bukti dan berwenang memanggil penerjemah Tersumpah untuk menerjemahkan transkrip video Muwafiq yang berbahasa Jawa ke bahasa Indonesia, karena proses penyelidikan itu menggunakan bahasa Indonesia.
Ini kok pelapor diminta melengkapi bukti ? Memangnya ini kasus perdata dimana penggugat memiliki beban pembuktian gugatannya ? Aneh bener penegak hukum di negara +62 ini.
Meskipun begitu, FPI jelas akan melengkapi bukti. Hanya saja, dari sini publik bisa memahami strategi umum rezim untuk menahan sejumlah kasus penistaan agama melalui alat negara.
Secara umum, strategi ini terbagi kedalam :
*Pertama,* rezim akan mendorong terjadinya Islah dan damai. Dengan dalih mediasi dan terjadi damai, rezim akan memiliki alasan untuk menghentikan kasus.
Strategi ini ditempuh rezim dengan meminjam mulut tokoh, ulama atau siapapun yang bisa digunakan rezim untuk mengunggah narasi kedamaian, keutamaan persatuan dan memberi maaf, serta pentingnya saling memaafkan. Target narasi ini adalah agar terjadi damai antara pelapor dan terlapor sebsgai dasar penghentian kasus.
*Kedua,* rezim akan menggunakan polisi untuk mengganjal kasus agar prosesnya dibuat selama mungkin, sambil menunggu terjadi damai, dengan berdalih sejumlah mekanisme dan prosedur. Butuh bukti lah, butuh fatwa, butuh saksi, butuh ahli, dll.
Cara paling mudah adalah dengan memeriksa pelapor terlebih dahulu, dengan durasi yang panjang meskipun perkaranya jelas dan terang. Hal ini bertujuan untuk memperlambat proses dan menjadi 'teror' agar tidak ada pihak lain yang lapor, karena akan diperlakukan sama, diperiksa lama.
Hal ini hanya diterapkan pada kasus penodaan agama, kasus yang menimpa barisan rezim. Hal ini tidak berlaku pada tokoh umat, seperti Ust Bernard Abdul Jabar yang langsung ditangkap dan ditahan, padahal beliau memiliki alamat jelas untuk bisa dipanggil secara formal. Bukan mobilnya dipepet di jalanan, sudah mirip teroris saja.
*Ketiga,* proses hukum ini akan diambangkan dengan berdalih pada ungkapan 'sedang didalami' atau 'sedang diteliti' atau ungkapan semisal lainnya. Semua akan diperlama dengan harapan umat lupa dan kasus di petieskan.
Biasanya, jika tekanan publik kuat barulah kasus di up date. Itu pun kemajuannya hanya beberapa centimeter saja, sekedar untuk laporan kepada publik telah ada perkembangan. Misalnya, saksi yang diperiksa lebih banyak sehingga setiap pemeriksaan saksi bisa dijadikan bahan laporan perkembangan hasil penyelidikan.
*Keempat,* kadangkala jika ini tidak berhasil maka rezim menggunakan modus isu. Menimpa dengan isu baru agar isu penistaan agama ini hilang dari opini publik.
Biasanya, modus paling jamak dilakukan adalah jualan radikalisme, jualan teorisme, jualan bom meletus, dari bom panci hingga bom asap, dan seterusnya.
Baiklah, jika demikian adanya maka umat ini harus bersatu. Selain melapor, juga tidak akan berhenti berdemo sampai Busukma, dan Muwafiq diproses hukum dan dipenjara. Kita adu saja, siapa yang ususnya lebih panjang dan bertahan dalam kaus ini. [].
Posting Komentar