TARGET PAJAK MELESET, RAKYAT KEMBALI JADI KORBAN ?


Oleh : Nasrudin Joha 

Pemasukan negara melalui penerimaan pajak tahun 2019 diprediksi akan tekor.  Bahkan bisa menjadi rekor terbesar dalam 10 tahun terakhir.

Hingga akhir November 2019, penerimaan pajak baru mencapai 72% atau Rp 1.136 triliun dari target Rp 1.577 triliun. Dengan kata lain penerimaan pajak masih kurang Rp 441 triliun dari target. 

Penerimaan pajak itu ditopang oleh pajak penghasilan (PPh) Rp 668,61 triliun yang terdiri dari PPh non migas Rp 615,72 triliun atau tumbuh 4,07% dan PPh Migas Rp 52,89 triliun atau kontraksi minus 11,51%. Sektor PPN dan PPnBM juga kontraksi minus 4,07% atau Rp 441,18 triliun serta Pajak Bumi dan Bangunan Rp 20,4 triliun atau tumbuh 8,91%.

Melakukan difersifikasi dan ekstensifikasi pajak dalam keadaan ekonomi tumbuh hanya 5 % itu nyaris bisa disebut mustahil. Jurus paling ampuh untuk menutup APBN tentu tetap utang. Dalam hal ini, tentu Mbok Sri jagonya. Dialah, menteri terbalik sedunia. 

Adapun untuk melakukan pengurangan pengeluaran negara karena cekaknya pendapatan, tentu Pemerintah akan melakukan pengetatan anggaran. Sejumlah pos, akan diperhitungkan ulang untuk dipangkas.

Sayangnya, pengetatan anggaran trennya selaku di sektor sosial atau yang terkait dengan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan dan subsidi langsung. Menkeu, Sri Mulyani tidak akan mungkin berani memangkas gaji dan tunjangan anggota DPR, para menteri, apalagi Presiden.

Bahkan, dalam situasi sulit dimana negara dilanda utang menggunung, beberapa saat yang lalu negara masih menjalankan habbit foya-foya. Anggaran mobil menteri sebesar 147 miliar disetujui DPR dan telah dieksekusi.

Subsidi yang berkaitan langsung dengan hajat rakyat terus di kurangi. 
Pada 2015 subsidi di sektor energi mencapai nilai sebesar Rp 137,8 triliun. Kemudian pada tahun 2016, alokasi subsidi energi menurun hanya Rp 102,1 triliun.

Pada tahun 2017, subsidi energi diusulkan hanya Rp 103,4 triliun pada Rancangan APBN 2018. Namun, usulan tersebut dikurangi Rp 8,8 triliun menjadi Rp 94,5 triliun dalam postur sementara APBN 2018.

Kemudian, meskipun Pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI menyepakati subsidi energi di tahun 2019 menjadi Rp 157,7 triliun. Naik tipis dibanding usulan pemerintah sebelumnya Rp 156,5 triliun. Namun Alokasi subsidi ini naik karena ada perubahan di sisi asumsi makro RAPBN 2019 terkait kurs, yang semula nilai tukar rupiah terhadap dolar ditentukan Rp 14.400 kini jadi Rp 14.500. Alhasil, terdapat selisih hitungan Rp 1,25 triliun yang kemudian mendongkrak alokasi subsidi. Karenanya, kenaikan ini lebih karena kenaikan nilai kurs bukan kenaikan Alokasi. 

Jika dilihat tren subsidi energi yang berhubungan langsung dengan hajat rakyat, terus menurun. Karena itu, kemungkinan besar strategi pengetatan akan diberlakukan kembali pada pengurangan subsidi energi. Imbasnya, harga-harga akan melambung, rakyat semakin sulit. 

Jadi, melesetnya target pendapatan pajak ini merupakan kabar buruk bagi rakyat. Sebab, sudah pasti rakyat lagi yang akan dikorbankan. Strategi pengetatan anggaran, pasti akan diberlakukan untuk mengurangi kewajiban negara untuk melayani rakyatnya. 

Sementara para pejabat ? Mereka masih bisa terus hidup mewah diatas bangkai dan penderitaan rakyat. [].

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget