Oleh : Nasrudin Joha
Andai benar pencasila itu menjadi Ruh dari setiap penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, tentu Pancasila selalu hadir dalam setiap persoalan yang mendera bangsa. Namun, ketika kita perhatikan ternyata tidak demikian.
Pasca dibentuknya BPIP, kita bisa katakan BPIP adalah representasi eksistensi Pancasila. BPIP hanya hadir dalam isu-isu radikalisme, kebhinekaan dan toleransi, itupun tidak berlaku umum. Isu-isunya sering menyasar pada diskredit ke umat Islam.
Misalnya, dulu Mahfud MD pernah bicara tentang sejumlah pesantren di jogja dan Magelang radikal. Memperoleh aliran dana dari Arab. Mahfud MD juga Kenceng bicara TNI kecolongan hanya karena seorang Taruna Akmil kedapatan berpose foto bersama bendera tauhid.
Kegiatan BPIP terakhir hanya bicara mengenai pengganti Mahfud MD dan Ma'ruf Amien yang telah menjadi Menteri dan Wapres. Megawati, meminta Jokowi mencarikan pengganti.
Padahal, rakyat sebenarnya justru memilih posisi itu kosong dan gajinya dialokasikan untuk program yang pro rakyat. Daripada diisi, mendapat gaji, tapi juga tidak jelas apa pekerjaan BPIP.
Saat ini, negara sedang 'genting' akibat kemelut Jiwasraya. Duit senilai 13,7 T dirampok. Seharusnya, BPIP berdiri didepan publik berpidato tentang hal ini, jika perampokan dianggap bertentangan dengan Pancasila.
BPIP perlu memberikan statement bahwa perampokan Jiwasraya sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Jika tindakan ini diambil, meskipun belum tentu atau bahkan tetap tak bisa menyelesaikan masalah, publik jadi tahu bahwa posisi Pancasila menentang perampokan Jiwasraya.
Nyatanya BPIP diam, anteng, tak bersuara. Syafi'i Ma'arif juga diam, kalau ada larangan umat Islam mengucapkan Natal baru dia angkat bicara.
Diamnya BPIP terhadap kasus Jiwasraya ini menujukan Pancasila tak berdaya, bahkan Pancasila tak punya konsep untuk menyelesaikan persoalan berbangsa dan bernegara. Pancasila tak punya solusi atas persoalan Jiwasraya.
Dengan diamnya BPIP atas kasus Jiwasraya publik juga paham, bahwa BPIP itu bukan lembaga negara yang merepresentasikan sikap negarawan. BPIP hanyalah lembaga politik yang menjalankan agenda politik, selama ini agenda politik BPIP sering berbenturan dengan agenda keumatan.
Misalnya saja, disaat umat Islam sibuk membentengi akidah, membina aklak dan moral sejak dini, Mahfud MD justru menuding anak SD yang diajarkan interaksi tentang Mahram sebagai radikal. Saat pondok kesulitan membina santri dan mencari solusi pendanaan, Mahfud MD malah menuding Ponpes radikal dan dibiayai Arab.
Kalau sudah begini, ternyata Pancasila bertentangan dengan Islam bukan hanya dalam tataran norma, tetapi hingga aplikasi. Akhirnya, kita dapat memahami bahwa Pancasila memang tidak Islami. [].