Oleh: Syarbaini Abu Hamzah
Seorang standup comedian nasional pernah bilang,
“Menolong Allah itu seperti menolong Spiderman melawan Octopus.”
Artinya, pertolongan kita tidak berguna sedikitpun bagi kekuatan Allah yang Mahadahsyat. Artinya lagi, Allah tidak perlu ditolong. Menolong Allah sama saja menganggap Allah tidak mampu. Begitu mungkin logikanya.
Logika itu persis dengan logikanya Abdul Muthallib ketika Abrahah bernegosiasi untuk menghancurkan ka’bah. Saat itu sekitar 200 ekor kambing milik Abdul Muthallib dijarah oleh pasukan Abrahah.
Ketika Abrahah menyampaikan keinginannya menghancurkan ka’bah, Abdul Muthallib menjawab dengan lugas.
“Silakan saja, yang penting 200 ekor kambingku yang kau jarah, segera dikembalikan.”
“Hah, harga dirimu hanya sebesar 200 ekor kambing, dan engkau bersedia kami menghancurkan tempat sucimu? Hina sekali kau ini.”
“200 ekor kambing itu milikku, maka akulah yang bertanggungjawab untuk menjaganya. Sedangkan Ka’bah ini milik Allah, Dia punya cara sendiri untuk menjaganya.”
Dan benar, tidak seberapa lama, Allah mengirim burung-burung Ababil yang melempari tentara Abrahah dengan batu-batu dari neraka.
Pasukan Abrahah punah, dan ka’bah terjaga. Benar, ka’bah ini milik Allah, dan Allah punya cara sendiri untuk menyelamatkannya.
Namun, menolong Allah bukanlah seperti menolong orang yang sedang kesulitan. Bukan seperti membela seorang pahlawan yang sedang bertarung demi menghancurkan kejahatan.
Apakah Allah tidak mampu melawan musuh-musuh agama? Memangnya, siapa yang menciptakan musuh-musuh itu? Siapa yang memberinya nafas, memberinya makan, dan terpenting, memberinya hidup? Siapa? Allah!
Lalu, jika Allah mampu untuk itu semua, mengapa Allah tidak mampu melawan musuh-Nya, yang juga ciptaan-Nya?
Tidak kawan. Bukan begitu.
Kita menolong Allah, bukan karena Allah menghajatkan bantuan kita. Sekali-kali tidak.
Allah memerintahkan kita untuk menolongnya, adalah untuk memberikan kesempatan kepada kita sebanyak mungkin pahala. Juga untuk mengetahui siapa di antara kita yang paling baik amalnya. Liyabluwakum, ayyukum ahsanu ‘amala.
Sebagaimana seorang guru matematika yang memberi pertanyaan pada muridnya.
“Anak-anak, berapakah hasil dari satu ditambah satu?”
Apakah itu berarti guru tidak tahu hasilnya? Jika guru tahu jawabannya, kenapa bertanya? Ya itu tadi. Guru bertanya sesuatu yang dia mampu menjawab, adalah untuk memberi kesempatan agar muridnya bisa mendapat nilai yang bagus. Juga, agar ia bisa mengetahui, siapa yang terbaik di antara muridnya. Siapa yang memahami pelajarannya, dan siapa yang tidak.
Ah, Allah tidak ada yang serupa dengan-Nya. Permisalan tadi bukan untuk menyerupakan Allah dengan guru. Itu hanya untuk memudahkan pemahaman kita saja. Bahwa Allah, tidak menghajatkan bantuan kita. Melainkan, kita yang berhajat untuk menolong agama Allah, agar kita termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang terbaik amalnya.
Posting Komentar