Oleh: Larasshita Sani
ASHIN Wirathu ini agaknya harus berguru sama Tong Sam Cong, yang meski perjalanannya ke Barat sangat berat, ia bahkan tidak memperbolehkan murid-muridnya membunuh walau hanya seekor nyamuk.
Kisah Sun Go Kong yang happening sekali saat baru-baru saya punya tipi itu membekas kuat dalam ingatan, bahwa orang Budha itu halus. Punya 10 larangan yang saya pikir orang Islam pun akan keberatan buat ngelakuinnya. Dan itu saya lihat praktiknya nyata.
Saya kecil sampai remaja tinggal dekat lingkungan Budha, hanya 2km dari Candi Borobudur. Saat perayaan waisak tiba, yang sibuk gak cuma orang Budha. Penduduk sekitar yang mayoritas muslim pun ikut sibuk menyambut.
Apa yang disambut? Bakti Sosial besar-besaran yang sering mereka lakukan untuk warga sekitar.
Kalau Anda warga Jakarta, mungkin tahunya waisak itu cuma lampion terbang dan motret-motret biksu mengelilingi batu.
Saat saya SD, pernah saya ikut mengantarkan kakek saya ke pengobatan massal yang diadakan oleh Walubi. Tenda-tenda besar ditegakkan, dan ratusan tenaga medis serta peralatan disiapkan.
Kakek saya punya sedikit daging tumbuh di paha kirinya, setelah diperiksa dokter bilang itu tumor tapi tidak ganas. Uci-uci, orang Jawa bilang. Disarankan untuk diangkat saja, tidak sakit dan cepat prosesnya. Diminta ke tenda sebelah, tak nyampai 20 menit sudah keluar. Yang datang kesitu, ribuan manusia. Dari yang tinggal di lereng-lereng turun gunung semua.
Yang tak bisa tertangani di tempat karena butuh tindakan medis yang lebih kompleks, dirujuk ke rumah sakit. Dibiayai sampai sembuh.
Biaya itu semua iuran Walubi, yang merupakan orang-orang Budha Indonesia. Untuk siapa? mengobati orang (mayoritas muslim) Indonesia.
Lain biksu di Myanmar dan Indonesia. Lain pula pemerintah Indonesia dan pemerintah Turki.
Saat TNI diperintahkan untuk menghalau pengungsi Rohingya, mereka malah menerjunkan kapal tentaranya untuk menjemput mereka di lautan.
Umat Islam di Indonesia harusnya berterimakasih pada warga Aceh yang mau berbesar hati meluangkan tenaga dan waktunya menolong mereka.
Kalaupun sisanya tak bisa ngebantu ya minimal diamlah tak usah nyinyir.
Jumat minggu kemaren saya lihat postingan soal Rohingya di akun seorang dokter, tetiba ada yang komen : “Rohingya diurusin, apa kabar orang miskin di Indonesia?”
Memang betul Nabi Muhammad SAW mengajarkan sebaiknya bersedekah itu mulai dari yang terdekat. Tapi beliau tidak mengajari mencela seseorang karena menyeru pada kebaikan.
Kalau kalian yang pada nyinyir itu saklek sama yang seperti itu, jadi gimana baiknya? Setelah tak ada satupun pengemis dan gelandangan di Indonesia baru Indonesia boleh menolong warga negara lainnya?
Lihat lagi UUD 45 pasal 34 : Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh NEGARA. Kalau masih ada yang miskin dan kurang makan di sini, tanya ke penyelenggara negaranya.
Ngomong soal negara, pernah lihat box office movie “The Terminal” ga? Tom Hanks tak bisa pulang ke negaranya karena sedang ada perang saudara, revolusi di negaranya. Karena itu, Amerika todak mengakui lagi Krakhozia sebagai negara berdaulat. Ia yang sedang di bandara dicegat bea cukai, tak boleh keluar dari bandara (memasuki AS) dan juga tak bisa pulang ke negara asalnya karena statusnya kini stateless. Dia tak pandai pula berbahasa Inggris.
Itu saja saya sedih merasakan bingungnya Tom Hanks. Sekarang bayangkan kalau yang jadi Tom Hanks itu manusia Bangla yang hitam dan kurus. Bukan di Bandara JFK yang ber-AC terdamparnya, tapi di atas laut Cina selatan pakai kapal a la kadarnya, terombang-ambing kena ombak, kepanasan, kelaparan berbulan-bulan.
Kalau mau menunggu Indonesia makmur dulu baru menolong, ya keburu mati lah. Belajarlah empati, tempatkan bila posisimu ada di mereka pasti ngarep banget ditolongkan?
Itu aja lho mereka sampai meminum urine-nya sendiri untuk bertahan hidup.
Nyinyir yang kedua, saya temui setelah banyak Rohingya yang ditolong warga Aceh. Kali ini lebih kejam nyinyirnya : “Gimana kalo dibuat perjanjian pertukaran muslim rohingnya dengan budha indonesia.. angkat sekalian tuh borobudur”
Entah orang mana ini yang komen rasis begitu. Memangnya dia ndak mikir po kenapa event tahunan waisak di candi Borobudur itu bisa mendunia dan menyedot jutaan wisatawan dalam dan luar negeri?
Karena ya disupport sama masyarakat sekitar. Ikut mengamankan, ikut ngasih petunjuk arah dan lainnya.
Kenapa itu bisa begitu, ya karena timbal balik yang diberikan umat budha ke komunitas lokal sekitar candi itu terasa manfaatnya.
Di dekat rumah kakek dan candi, ada 2 vihara besar. Masyarakat sekitar sana ya baik-baik saja, gak gimana-gimana atau mencela mereka yang minoritas. Rukun.
Tak dipungkiri tiap agama punya oknum yang serupa setan, ekstrimis dan teroris. Di Islam dan yang ngaku-ngaku ISIS, di Nasrani ada Ku Klux Klan, di Yahudi ada zionis, di Budha ada Ahsin Wirathu. Tapi apa ya mau kalian orang Islam semuanya dicap sebagai pengikut ISIS? Tempatkan itu sebelum komen. Orang Budha Indonesia juga ga mau lah disamain sama Ahsin Wirathu, sedang di Myanmar sendiri ga semua biksu setuju sama sikapnya.
Bantulah semampu kalian, kalau ga bisa pakai tangan dan lisan, ya pakai doa.
Umar bin Al-Khattab pernah mengatakan, “Ucapan itu hanya ada empat, selain itu cuma sampah belaka. Pertama, membaca Al-Quran. Kedua, membaca hadits-hadits nabi. Ketiga, membaca ucapan-ucapan penuh hikmat dari para ulama. Keempat, berbicara hal yang penting, dalam soal keduniaan.” [IP]
Posting Komentar