SAUDARAKU, TUNJUKKAN PADAKU KEBAIKAN NASIONALISME, SATU SAJA !!!

Oleh : Ust. Husain Matla

Beberapa waktu lalu, ketika di negeri ini suasana yang dominan adalah “Om AFF Om”, di jauh seberang sana, di Aleppo, suasana yang dominan adalah “Om Perang Om”. Ketika para elite di sini sibuk berpikir “Om Bonus Om” untuk berbagai sponsor olah raga, anak-anak di sana lari bersembunyi, menghindari bom yang mencecar dari udara, ketika orang tua mereka tidak diketahui lagi masih hidup atau sudah meninggal. “Om Kejam Om !!!”

Mungkin pemberitaan televisi yang menyajikan kedua berita bergantian, layaknya menyajikan dua jenis menu kuliner, dan ekspresi pembawa acaranya pun tetap dengan suasana fun, membuat hati kita merasa itu semua biasa saja. Datar saja. Seakan bagi kita anak-anak Indonesia wajar dalam kegembiraan, sementara anak-anak Suriah wajar berada dalam ketakutan, kengerian, dan kemerintihan. Kita wajar berorang tua lengkap. Mereka wajar orang tuanya tewas. Kita wajar bertubuh lengkap. Mereka wajar mukanya terkoyak sampai kelihatan tulangnya dan tubuhnya tak punya tangan dan kaki lagi. Itulah perasaan kita.

Inikah bangsa Indonesia yang terkenal sebagai cinta damai?

Kita pun menepuk dada bahwa kedamaian itu sepenuhnya karena kita, bukan pemberian Sang Pencipta Manusia, seakan Sang Khaliq tak punya kuasa menukar keadaan: Menempatkan kita di tengah kejamnya peperangan, dan menempatkan mereka di tempat yang aman sentausa. Memikirkan hal ini, sanggupkah kita berkata “Tempat yang Tertukar”, dengan begitu datar, sebagaimana kita melihat judul sinetron, sembari kita tersenyum bangga, sebagaimana kesombongan para sastrawan Indonesia yang senantiasa berkata “Manusia Indonesia yang telah matang dan penuh kedamaian senantiasa bisa menjadikan semuanya sebagai hiburan”. Om Gemblung Om !!! Om Ngapusi Om !!!Om Ngeless Om !!!

Kita merasa Indonesia. Dan merasa mereka adalah Suriah. Kita adalah kita. Mereka adalah mereka. Begitulah suasana batin bangsa yang katanya besar dan sangat peduli hak asasi manusia ini. Dan memang inilah prinsip yang selama ini dibanggakan bangsa ini: Nasionalisme. Cinta Tanah Air. Bahwa perasaan cinta ditentukan oleh “bertanah air satu”. Dalam bahasa Arab, perasaan ini disebut sebagai wathaniyah (ketanahairan), tetapi di Indonesia prinsip ini disebut pula kebangsaan.

Padahal, kalau kita mau jeli..., mau menelaah sejarah tanpa tendensi..., dan akhirnya kita mau mengakui secara apa yang sejujurnya..., kesimpulan sejarah nampaknya begitu jelas: NASIONALISME-LAH YANG TELAH MEMBUAT MANUSIA SE-NUSANTARA INI DULUNYA TERJAJAH.

Saya siap disidang oleh ribuan profesor dari berbagai belahan dunia untuk pendapat saya ini.

Marilah kita amati kondisi Nusantara pertengahan abad XVII M.

Saat itu Ternate telah terdikte secara ekonomi oleh VOC Belanda di Batavia. Pun pula dengan Tidore. Dan keduanya bisa dikalahkan VOC. Perdagangan internasional tak lagi fokus pada cengkeh dan pala sebagaimana abad XIV. Saat itu berbagai negara itu mencari bermacam rempah. Dan VOC di Batavia lebih menguasai hal ini dan menjadikan kedua kerajaan di Maluku sebagai sub ordinat. Mereka berdua tidak saling membantu. Dalam bahasa sekarang, mereka disebut “lebih mengutamakan kepentingan nasional”.

Kita mungkin tak terima dengan kesimpulan itu. Karena kita menganggap kedua negara itu lebih mengutamakan “kesukuan”. Benarkah kesukuan? Benarkah masing-masing negara hanya terdiri dari satu suku? Dan amati Ternate: lebih besar mana dengan Jepang sekarang (tentu bukan kota Ternate sekarang, tetapi wilayah kerajaan saat itu, Uli Lima) ? Apalagi dibanding Singapura atau Israel. Amati Tidore: lebih besar mana dengan Korea Selatan? Dan akhirnya VOC berhasil menguasai keseluruhan Maluku sebagaimana AS menguasai keseluruhan jazirah Arab di masa Ronald Reagan dulu.

Berikutnya VOC berperang dengan Kesultanan Makassar. Sebuah kerajaan besar di Nusantara Timur. Wilayahnya hampir setara dengan Sriwijaya di masa kejayaannya. Batas selatannya sampai Australia Utara, dan batas utaranya sampai Philipina selatan. Tapi VOC mendapat bantuan penguasa Bugis, vasal dari Makassar. Dan saat itu, Ternate dan beberapa kerajaan di Nusantara justru berpihak kepada VOC. Pola pikir mereka sederhana, sama dengan pola pikir VOC. Dalam perang saudara Bugis-Makassar, mereka berpihak kepada yang lebih lemah. Karena yang lebih lemah tentunya lebih memberikan mereka posisi tawar. Penguasa Bugis, Arung Palakka, dianggap lebih lemah dari Sultan Hasanuddin, pemimpin Makassar. Ini tak beda dengan sikap AS dan negara-negara teluk, yang berpihak kepada Amir Kuwait dibanding Saddam Hussein.

Melalui perjanjian Bongaya, VOC berhasil menyadamhusseinkan Sultan Hassanuddin. Selanjutnya Arung Palakka menggantikan posisi sebagai penguasa Sulawesi Selatan. Sekali lagi kita melihat: negara-negara di Nusantara dulu lebih sibuk mengutamakan kepentingan nasionalnya. Betul atau tidak hal ini?

Dan selanjutnya pecah perang di Jawa, Kesultanan Mataram. Susuhunan Amangkurat II versus Pangeran Trunojoyo. Sekali lagi VOC dan beberapa kerajaan memihak yang lebih lemah, Amangkurat II. Termasuk Bugis, yang mengerahkan pasukannya membantu Amangkurat II.  Pengikut Sultan Hasanuddin, yang saat itu dikenal sebagai teroris lautan, di bawah pimpinan Karaeng Galesong, membantu Trunojoyo. Namun kemudian peperangan berhasil dimenangkan persekutuan VOC dan Amangkurat II. Nasib Trunojoyo dan Karaeng Galesong tak beda dengan Mullah Omar dan Syaikh Usamah bin Ladin. Dan Mataram pun berhasil diafghanistankan.

Baik Mataram maupun Bugis adalah kerajaan besar. Mataram mengusai pesisir Kalimantan dan sebagian Sumatera Selatan. Wilayahnya didominasi suku Jawa tapi suku ini sangat besar. Dan masih ada beberpa suku di bawah Mataram. Negara ini mulanya juga cukup makmur, suplier beras Nusantara, tak kalah dengan Thailand di Asia tenggara kini. Sedangkan Bugis adalah pemain utama perdagangan di wilayah timur Indonesia (saat itu Nusantara).

Pertanyaannya: mereka mengutamakan kesukuan atau mengutamakan kepentingan bangsa? Literatur Belanda dan Inggris selalu menyebut bangsa Jawa dan bangsa Bugis.

Dan berikutnya yang jadi target VOC adalah Kesultanan Banten. Sebagaimana sebelumnya, VOC dan banyak penguasa Nusantara, mereka sering berpihak kepada yang lemah. Dengan bersekutu dengan Pangeran Haji, VOC Belanda berhasil mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1683 M. Ratapan kaum tani di Banten yang terkena meriam Belanda tak ada artinya buat banyak penduduk di daerah lain di Nusantara. Biarlah kalian menjerit yang penting aku menanam padi. Biarlah istrimu diperkosa yang penting aku bisa main adu jago. Biarlah tangan anakmu terkoyak dan terlepas dari tubuhnya yang penting aku bisa minum tuak di tengah hutan jati. Apalagi saat itu belum ada w.a, f.b atau instagram maupun perangkat kamera, sehingga informasi penderitaan di tempat lain tak manjadi viral.

Keadaannya begitu berbeda dengan tahun 1513 M, ketika Pangeran Adipati Unus, putra Demak Bintoro, dengan dukungan Sunan Giri di Gresik, memimpin berbagai kerajaan di Nusantara menyerbu Portugis di Malaka. Beratus ratus kapal mengharu biru lautan dan ribuan anak panah siap menerkam leher serdadu Portugis. Namun Portugis bisa Bertahan. Tapi serbuan multi bangsa diulang lagi tahun 1527 di Sunda Kelapa, dipimpin seorang jenderal Demak, Pangeran Fatahillah. Portugis berhasil ditendang. Dan akhirnya pada akhir abad XVI, Sultan Baabullah, penguasa Ternate, dengan dibantui Demak dan Kalinyamat, serta berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara menghajar Portugis, kekuatan yang sebenarnya adikuasa zaman itu, untuk lari ke selatan, sehingga wilayahnya hanya sekedar Timor Leste. Semua itu karena berbagai kerajaan di Nusantara senantiasa taat kepada guru mereka, Sunan Giri, sosok yang begitu menggetarkan bagi Tome Pires, penasehat politik Kekaisaran Portugis.

Kemenangan itu tentu bukan karena nasionalisme. Tapi karena Islam.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget