Oleh: Prof. Dr. Ing. H. Fahmi Amhar
Di awal reformasi 1998, sejumlah pakar seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Amin Rais, Prof. Jimly Ashshidiqie mengungkap adanya 5 hal yang paling urgen untuk dilakukan saat itu, yaitu:
1. Berantas KKN
2. Reformasi Birokrasi
3. Otonomi Daerah
4. Reformasi ABRI (Hapus Dwifungsi & pisahkan Polri dari TNI)
5. Amandemen UUD 45
Hal ini diamini juga oleh para pemimpin politik saat itu, yaitu Gus Dur, Megawati, Akbar Tanjung dll.
No 3 sampai 5 sudah dilakukan. No. 2 in progress. No. 1 sepertinya jalan di tempat, walaupun sekarang sudah ada KPK.
Kelima agenda itu saling terkait. Reformasi Birokrasi diperlukan untuk memberantas KKN. Agar kekuasaan tidak menumpuk di satu orang, perlu ada Otonomi daerah. Agar ABRI tidak disalahgunakan, hapus dwifungsi dan pisahkan Polri dari TNI. Dan semua ini perlu amandemen UUD 45. Salah satu hasilnya, kini ada lembaga seperti MK, KJ, Ombudsman dll. Juga ada pilpres.
Saya ingat, tahun 1999 di suatu seminar di Jakarta, ada salah seorang pembicara yang mengingatkan, bahwa "Otonomi Daerah, Reformasi ABRI dan Amandemen UUD 45" itu tidak cuma amanat reformasi, tetapi juga permintaan imperialis". Mungkin mas Willy Pramudya, mas Hanibal Wijayanta atau mas Anif Punto Utomo masih ingat ...
Namun semangat reformasi memang lebih kuat. UUD 1945 diamandemen 4 kali. Bukannya tanpa perdebatan. Klausul "Presiden adalah orang Indonesia asli" diperdebatkan. "Asli" itu definisinya apa? Apakah keturunan Tionghoa yang sudah 3 generasi, lahir, besar dan berkarya di Indonesia masih dianggap bukan asli? Bagaimana dengan keturunan Arab atau India? Jangan terpaku pada sosok kontroversial seperti Ahok sekarang. Keturunan Tionghoa ada juga yang seperti Liem Swie King, Kwik Kian Gie, Syafi'i Antonio, Felix Y Siauw, dsb. Syarat-syarat calon presiden akhirnya disepakati dimasukkan dalam UU tersendiri (UU Kepresidenan).
Tentang Reformasi ABRI. Ada analisis yang bisa benar bisa salah, bahwa memang tujuan reformasi ABRI ada faktor endogen (dari dalam bangsa Indonesia) dan faktor exogen (dari luar). Faktor endogen seperti kita tahu, bahwa di masa Orde Baru, ABRI pernah disalahgunakan menjadi alat kekuasaan, bukan alat negara. Persoalan keamanan yang memerlukan ilmu persuasi, diselesaikan ABRI waktu itu dengan ilmu senjata. Memang, orang yang hanya tahu palu sebagai alat kerja, cenderung menggunakan palu juga untuk apa saja ...
Tetapi faktor exogennya adalah, bahwa tahun pasca 1998 itu, ABRI dinilai terlalu "hijau" (maksudnya terlalu dekat ke kelompok Islam). Dan itu agak menyulitkan kekuatan asing untuk bermain kembali di negeri ini. Sementara itu karena cengkeraman pada kroni Orde Baru telah terurai, mereka perlu waktu untuk menancapkan kukunya lagi. Nah salah satu cara mempercepat proses ini adalah melepas Polri dari TNI dan otonomi daerah. Jadi, Polri bisa digarap terpisah dari TNI. Daerah-daerah juga bisa digarap terpisah dari Pusat.
Maka, fenomena Polri "bersikap berbeda" dengan TNI dalam kasus "penistaan agama" atau "kriminalisasi ulama" jadi sedikit lebih masuk akal.
Tapi ini sekedar analisis politik. Bisa benar bisa salah. Kalau mau tahu apa analisis CIA, ya tunggu barang 10-20 tahun lagi, sampai dokumen CIA tentang masalah ini direlease ke publik :D
*** Peace ... semoga tulisan ini tidak dianggap "menebar kebencian" he he ... Wah ini definisinya koq karet amat ya. Karena kadang saya heran, ada reporter melaporkan demo "Indonesia Tanpa JIL" eh redakturnya menegur bahwa itu adalah "menebar kebencian". Tetapi ketika lapor demo yang jauh lebih kecil "Indonesia Tanpa FPI" langsung dimuat utuh ... ??? ***
Posting Komentar