SOLUSI ASLI INDONESIA : SOLUSI BERDARAH-DARAH, KABUR, TANPA VISI (-- lanjutan --)

Baca Sebelumnya : 

Kedua, solusi itu tidak jelas dan gampang dibelokkan.
Kita lihat faktanya. Tampaknya orang Jawa itu memang pandai bersepakat tapi tidak punya jenis kesepakatan yang baku. Semuanya fleksibel. Kita lihat di kampung-kampung Jawa, terutama di Jawa selatan, bekas wilayah kerajaan Kediri atau bekas kesultanan Mataram. Semuanya serba formal dan menghormati sesepuh. Ini membuat yang muda juga agak sungkan berpendapat. Ujung-ujungnya pendapat diserahkan kepada forum. Sering hasilnya buntu. Namun ketika datang “perintah dari atas” semuanya segera dilaksanakan.
Orang Jawa bagus dalam berorganisasi, trampil dalam bekerja, punya solidaritas antar sesama. Orang Jawa cepat tahu tamu yang belum dapat hidangan, sungguhpun hajatan mengundang lima ribu orang. Namun itu semua seperti gerigi dalam sebuah roda atau seperti badan tanpa kepala. Makanya tak jelas mau di bawa kemana.
Sebenarnya ini sangat bagus ketika mendapatkan kepala yang jelas dan mantap, yaitu Islam. Inilah yang terjadi di masa Kesultanan Demak Bintoro. Maka Portugis dihancurkan di Sunda Kelapa. Malaka dibombardir, dan walaupun ini tidak berhasil, tapi bisa memancing motivasi banyak kesultanan lain untuk mengeroyoknya di Maluku, membantu Sultan Baabullah mengusir Portugis ke Pulau Timor. Sejarah telah menulis kepahlawanan armada Kalinyamat ketika itu.
Namun ketika tak ada kepala memutuskan, yang ada adalah tarik menarik antar kepentingan atau negara bisa dibelak-belokkan.
Konflik Hindu Budha, sesama Hindu (Waisnawa versus Syiwa), militer berada dalam kubu-kubuan antar bangsawan atau jenderal, kita telah tahu hasilnya bagaimana. Juga kondisi kesultanan di masa Belanda dulu. Kesultanan di Jawa Tengah yang terorgansir rapi berada dalam kebingungan. Para kyai di Jawa Timur tegas dengan Islamnya. Belanda di Batavia tegas dengan ide-ide Barat-nya. Di tengah bingung, padahal merekalah yang punya sumber daya alam, rakyat, birokrat, dan prajurit. Akhirnya negara pecah. Satu pro timur satu pro barat. Masing-masing dengan komando dan pengorganisasian rapi.
Kita tahu pula Indonesia setelah merdeka. Rakyat di belakang Bung Karno. Akhirnya dibawa menuju Poros Peking. Kemudian birokrat di bawah Pak Harto, yang membawanya menuju poros Washington. Dan kemudian sekarang ada yang kubu asing ada yang kubu aseng. Masing-masing dengan komando yang lumayan teratur.
Dan jika kita ngotot mengatakan bahwa cukuplah negara ini seperti selama ini dan menolak syariah dan khilafah, sama saja kita semakin tegas untuk mengatakan bahwa Indonesia memang seharusnya negeri tanpa kepala. Bukan bangsa ini buruk. Tapi --terutama suku Jawa bekas Kediri/Mataram (yang mendominasi Indonesia sejak zaman Pak Harto)-- karakternya memang leher, bukan kepala. Leher itu penyambung, bukan pemberi perintah. Akhirnya Bung Karno memberi kepala bernama Sosialisme, dan Pak Harto memberi kepala bernama Kapitalisme Keynesian, Jokowi memberi kepala berjudul “That is your opportunity”. Berbeda dengan Gajah Mada yang membawa kolektivitas Jawa menuju prinsip Satya Haprabhu (setia kepada pemerintah), kapitalisme liberal yang tampaknya cukup memahami Jawa menyeret ketekunan dan kolektivitas penduduknya menuju Satya Hapabrik.
PERTANYAANNYA: Apa kelemahan bangsa ini akan kita teruskan, dan malah kita ikrar-ikrarkan? Kita ingin punya KEPALA atau tidak? 
***

Ketiga, karena tidak visioner (karena tanpa kepala), maka gampang dijajah.
Coba kita lihat bagaimana saat Bung Karno berusaha menghadirkan suasana siap perang?
Saat itu beliau berkata, kita cinta damai tapi lebih cinta kemerdekaan. Juga menghadirkan cerita-cerita Bhagawatgita di mana Krishna berusaha agar Arjuna tidak ragu untu berperang. Krishna menyatakan bahwa walau musuh itu saudara, tapi sekarang posisinya musuh. Juga bahwa saudara itu hanya posisi di dunia, karena ikatan darah, tapi antar ruhnya tidak ada ikatan. Arjuna tetap ragu. Akhirnya Krishna harus memperlihatkan mukjizatnya lebih dulu agar Arjuna mau perang.
Arep perang wae kok angel men !!!
Seakan dari semua itu target akhirnya hanyalah perang. Perang adalah end.
Semua itu tidak ada dalam Islam. Sejak dari Perang Badar sampai penakhlukan Persia di masa khalifah Utsman bin Affan, tak ada keraguan. Karena memang tak ada kehinaan dalam perang. Perang (jihad) adalah mulia. Sehingga dengan itu perang adalah start. Start untuk berbagai kemuliaan lainnya.
Mengapa perang harus hina ketika tujuan perang jelas, alasan “dalam kondisi apa boleh perang” itu jelas, pihak yang boleh diperangi jelas, akhlaq dalam perang jelas, sopan santun dan perlindungan terhadap musuh yang terkalahkan jelas, dan setelah perang itu selesai mau apa juga jelas. Coba kita cari dalam sejarah adakah tingkah laku brutal prajurit Islam sebagaimana Bima mempreteli tubuh Dursasana satu demi satu dan memakan jantungnya (sebagaimana dalam Mahabharata; di sini Bima adalah tokoh protagonis, bukan antagonis) ?
Maka ketika selesai pemerintahan Soekarno selesai pula perang. Namun selesai pemerintahan Rasulullah saw, perang terus berlanjut. Ekspansi Islam dilakukan tanpa keraguan karena ini adalah ekspansi kemuliaan. Meninggalnya Rasulullah, perang itu barulah awal. Awal dari pembebasan dunia dari penyembahan kepada sesama makhluk menuju penyembahan hanya kepada Allah SWT. Dan akhirnya pasukan Islam dengan bersemangat dan berani membanjiri berbagai wilayah Eurasiafrika.
Mengapa harus ragu sementara kalau bukan Islam yang menguasai dunia maka setan yang mengusai dunia, entah itu bajunya kapitalisme, liberalisme, komunisme dll. Dan kita tahu hasilnya. Perang Dunia I dan II korbannya tak lagi pemenggalan leher beberapa gelintir manusia, namun pembakaran puluhan juta manusia. Bukankah 68 juta manusia yang gugur itu mayoritas hasil dari pengeboman, alias pembakaran? (Bayangkan kalau satu jari anak kita dibakar. Padahal mereka itu melakukan itu untuk puluhan juta orang).
Bung Karno juga sibuk membangun banyak monumen mewah di jakarta seperti Monumen Nasional dan Gelora Bung Karno. Semua itu agar bangsa Indonesia punya rasa percaya diri dan dengan modal itu bisa bergaul di pentas dunia. Dan beliau sendiri melengkapi segala bentuk upaya pembinaan mental itu dengan berpakaian megah bintang lima dan mendapat beberapa gelar seperti Paduka Yang Mulia dan Pemimpin Besar Revolusi.
Padahal di zaman Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, umat Islam, dengan tetap bersahaja, berani mengatur bangsa-bangsa besar seperti Romawi, Yunani, Persia, Turki, dan India. Yang luas semuanya itu berlipat-lipat dari wilayah Indonesia. Tak ada rasa minder. Islam menjadikan mereka merasa “ada yang mereka punyai tapi tak dimiliki pihak lain”. Islam itulah sumber kepercayaan diri mereka.
Indonesia ingin meniru khilafah? Masalahnya adalah, motivasi apa di balik tentara? Mental yang bagaimana di balik rakyat?
Negara mana pula yang bisa menghimpun ilmuwan dari berbagai belahan dunia dengan militansi sedemikian rupa, tak hanya yang muslim, bahkan yang kafir, yang semua itu terhimpun dalam sketsa kejayaan Islam. Tak hanya Imam Bukhari yang kita kenal (beliau dikenal militan karena berkelana dari Bukhara ke Mesir, setaraf Banjarmasin-Palembang, padahal naik unta). Tapi kita juga mengenal Gabriel Bakhtesyu (Yahudi), dokter pribadi Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Apa yang bisa dihimpun negara Indonesia selama ini? Ilmuwan Nurtanio yang pada lari keluar negeri? Keluhan Habibie yang pesawatnya tak dihargai di negeri sendiri? Penemuan Dr. Warsito yang ditolak di negeri sendiri saat negara lain siap menampung? Atau ilmuwan-ilmuwan fisika nuklir yang lari ke Iran karena negerinya sendiri “Tak suka nuklir, cinta damai kan?” Yang akhirnya jangankan ekspor teknologi, bahkan jeruk kecut pun impor.
Masalahnya motivasi apa yang sanggup menggerakkan para ilmuwan?
Sementara Islam itu beda. Islam tak hanya menghasilkan motivasi, tapi IMPIAN. Dan tak hanya impian dunia, tapi juga impian akherat.
Dan akhirnya karena tidak ada visi dan misi di negeri ini, tak ada impian, tak ada fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode kebangkitan), maka siapapun yang memerintah negeri ini tak bisa berkuasa secara alamiah (baca: didukung oleh rakyat secara alami berdasar visi besar, sehingga tercipta kesatuan politik untuk bisa berkembang). Tetapi semuanya butuh “pesugihan” (baca: kekuatan tidak lumrah sebagai daya dukung utama).
Hanya saja pesugihannya bukan jin setan pri prayangan gendruwo werdon dedemit brekasaan. Tetapi kekuatan asing atau dana ilegal. Orde lama bisa bertahan karena harus mengakui hutang-hutang Belanda (yang dulu dipakai untuk membeli senjata untuk membunuh mbah-mbahnya orang Indonesia). Orde Baru bisa berkuasa dengan sajen tambang emas yang diserahkan kepada siluman Freeport. Orde Reformasi? Ada yang pesugihannya BLBI, ada yang Century, dll. Intinya, modelnya masih seperti zaman Singhasari. Untuk berkuasa butuh keris Empu Gandring.
Kalau di Indonesia ini isinya yang ada cuma begitu-begitu, bukankah yang ada hanyalah kelemahan, dan bukankah wajar kalau akhirnya begitu gampang takhluk pada asing?
PERTANYAANYA: Kita ingin impian mulia untuk Indonesia (dan dunia ini) atau ingin penjajahan asing? Dan coba kita pikirkan dan rasakan, apa Allah SWT telah menurunkan Islam untuk manusia di bumi ini “tak ada rasanya” sama sekali buat kita semua?
***

Maka terhadap para pembela nasionalisme dan pluralisme yang selama ini mengatasnamakan Bhinneka Tunggal Ika dan senantiasa menolak Islam karena menganggapnya sebagai solusi asing yang penuh kekerasan, lalu apa yang anda inginkan...?
Mengapa kita tidak berpikir “BHINNEKA TUNGGAL ISLAM” ?
NB : Insyaallah tulisan ini menjadi bagian dari buku saya, diterbitkan Kaafah Penerbit dua bulan lagi.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget