Judul ini mungkin terasa sebagai lelucon bagi sebagian orang. Sebab, bagaimana bisa dakwah dapat melejitkan kita? Bagi orang yang sudah sangat sibuk dengan segudang aktivitas, tak memiliki waktu luang, berdakwah justru menambah kesibukan kita. Dakwah bukan melejitkan, tetapi dakwah justru menghambat atau paling tidak membuat kita tidak fokus pada pekerjaan kita. Apalagi dakwah model kaum “fundamentalis”, yaitu dakwah ideologis.
Menurut pandangan umum: orang yang sangat sibuk seharusnya tak menambah aktivitas lain, bahkan kalau perlu meninggalkan sebagian aktivitas dan agenda lain yang dipandang tidak terlalu penting. Menurut mereka, diantara list aktivitas yang tak penting adalah dakwah. Bahkan bagi sebagain orang, dakwah bukan hanya tak penting, tetapi berbahaya sehingga dakwah masuk list aktivitas yang harus dihindari.
Sekedar contoh, coba bayangkan bagaimana kesibukan mahasiswa fisika. Jika ia mengambil 20 SKS dengan komposisi 16 SKS kuliah tatap muka, dan 4 SKS mata kuliah praktikum. Itu berarti dalam sehari ada satu atau dua kuliah tatap muka (dengan anggapan satu mata kuliah 2 SKS). Jika setiap pertemuan diberikan tugas dan setiap tugas tersebut membutuhkan waktu penyelesaian 2-10 jam (bahkan terkadang ada satu tugas yang tidak mungkin diselesaikan dalam waktu satu bulan), maka bisa dikatakan waktu 24 jam sehari hampir tak cukup hanya untuk menyelesaikan tugas. Belum lagi praktikum. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk praktikum, analisis data, dan membuat laporan?
Semua itu dengan anggapan, mereka memahami apa yang mereka lakukan. Padahal, sebagaimana diketahui secara umum, bahwa teori-teori fisika, seperti teori relativitas, teori kuantum, elektrodinamika, fisika komputasi, fisika matematika, dan lain sebaginya, itu sangat tidak mudah dipahami oleh kebanyakan mahasiswa. Akibatnya, banyak sekali mahasiswa, waktunya hanya dihabiskan untuk memegangi dan memijat-mijat kepalanya berjam-jam, sambil melihat tumpukan tugas yang sama sekali tak mereka mengerti. Mereka memegang pen dan kertas, tapi tak tahu harus menulis apa. Jadi, sudah terbayang, mahasiswa tersebut tidak ada waktu luang lagi, bahkan hanya untuk sekedar tidur, makan atau mandi. Apa jadinya, jika mereka menambah aktivitas lain seperti dakwah?
Para peneliti, para profesional dan lain-lainnya juga demikian. Tak ada waktu luang. Pergi pagi pulang malam atau bahkan pulang pagi lagi. Dikejar dengan target, deadline dan seterusnya. Bahkan tak ada waktu untuk keluarga, kecuali hari libur. Karena itu mereka benar-benar memanfaatkan waktu libur untuk tamasya, berkumpul keluarga dan refreshing. Tak ada waktu untuk sesuatu yang “tak penting”.
Karena itu, maka tak logis jika orang-orang sibuk seperti itu justru terlibat dalam aktivitas dakwah, yang oleh sebagian profesional dianggap sesuatu yang tak penting. Apalagi menjadikan dakwah sebagai poros hidupnya. Dakwah itu menghambur-hamburkan waktu. Dakwah tak ada hubungan dengan karirnya. Dakwah itu menghambat kesuksesan. Dakwah itu tugasnya ustadz, kyai, atau para mubaligh. Apalagi dakwah ideologis. Menurut sebagian besar orang, dakwah ideologis itu kerjaan para ekstrimis, yang tak bisa berfikir kritis, yang jumud, yang terbuai dengan janji-janji surgawi, yang tak bisa bersaing dalam kehidupan modern, yang terkungkung oleh doktrin-doktrin usang, yang tak punya optimisme, yang tak bisa menerima realitas yang terjadi, dan berbagai penilaian negatif lainnya.
Namun, sebenarnya anggapan dan sikap tersebut berangkat dari sesuatu yang tak didukung realitas. Itu hanya mitos. Itu hanya nyanyian media mainstream.
Realitasnya, jika kita sangat sibuk, maka dakwah ideologis akan sangat compatible dengan kesibukan dan aktivitas kita. Sebab, dakwah ideologis itu memang tak ada hubungannya dengan waktu luang. Tak ada aktivis dakwah yang berkomitmen tinggi karena “tak punya pekerjaan”. Orang-orang yang bergabung dalam dakwah ideologis karena “pengangguran”, maka ia akan segera lenyap saat “memiliki pekerjaan”.
Dakwah ideologis itu membantu kita menemukan “inti” kehidupan. Dakwah ideologis akan membuat hidup kita menjadi semakin hidup, bahkan menemukan hidup yang “sebenarnya”. Dakwah inilah yang dahulu dijalankan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Dakwah ideologis ini seperti operating system pada sebuah komputer, ia akan membuat semua komponen bekerja dengan mengagumkan dan semua potensi bersinergi mewujudkan kinerja yang maksimal. Dakwah ideologis bukanlah sembarang dakwah, tetapi ia adalah dakwah karena kesadaran penuh terhadap kewajiban manusia kepada penciptanya, yaitu untuk menyampaikan Islam kepada manusia dan memperjuangkan agar kerahmatan Islam terwujud di dunia ini, yaitu dengan tegaknya syariah dan khilafah. Dakwah ideologis adalah dakwah yang muncul dari hati dan dikerjakan dengan ketulusan dan totalitas.
Dakwah ideologis tidak akan “mengurangi” waktu kita, tetapi ia akan “menambah” waktu kita dan memberi “makna” dari semua aktivitas kita. Banyak orang yang menjalani aktivitas dan kesibukan yang termat padat, tetapi itu hanya rutinitas. Dakwah ideologis akan memberikan makna dan mengeset ulang kehidupan kita serta menjadikan kehidupan kita lebih hidup.
Dakwah ideologis akan memberikann guidence kepada kita tentang hakikat kehidupan dan apa yang seharusnya kita lakukan. Dakwah ideologis akan memberikan pencerahan yang terang-benderang tentang pertanyaan dasar hidup manusia, yaitu: hidup kita dari mana? Setelah kita mati nanti mau kemana? Hidup kita di dunia ini untuk apa?
Dengan demikian, dakwah ideologis tak akan “mengurangi” aktivitas kita, tetapi mengarahkan aktivitas dan kesibukan kita sehingga mencapai hasil tertinggi di dunia dan akhirat. Jika memang aktivitas dan kesibukan kita itu sesuatu yang berguna untuk dunia-akhirat, maka dakwah ideologis akan melejitkannya dan menguatkan intensitasnya. Namun, jika aktivitas dan kesibukan kita merupakan suatu kamuflase (sesuatu yang kelihatan bermanfaat, tetapi realitanya merusak dunia-akhirat kita), maka dakwah ideologis akan membantu kita mendeteksinya dan menggantinya dengan sesuatu yang bermanfaat untuk dunia-akhirat kita. Dengan demikian, dakwah ideologis akan meningkatkan efesiensi aktivitas kita, sehingga kita akan mampu mancapai suatu titik yang tak akan dapat dicapai dengan kesibukan model “konvensional”, yaitu kesibukan hanya untuk mengisi “perut” dan memuaskan beberapa organ di sekitarnya atau sekedar mendapat predikat “wow” dari manusia.
Dakwah ideologis juga tak ada hubungannya dengan sikap jumud, tidak kritis, tak bisa menerima realitas dan lain sebagainya. Bahkan dakwah ideologis lahir dari sikap sangat kritis, dinamis, perenungan yang mendalam terhadap kehidupan, dan dorongan mengubah realitas yang tak semestinya menjadi seharusnya.
Kita bisa lihat dalam sejarah Islam yang demikian panjang, apakah keterlibatan Abdur Rahman Bin Auf dalam dakwah ideologis bersama Rasulullah saw, menurunkan profesionalisme bisnis beliau? Sama sekali tidak. Bahkan dengan dakwah ideologis tersebut, beliau semakin profesional dan menemukan pendekatan baru tercanggih yang tak dapat dicapai oleh pemikir barat dan timur, yaitu bisnis dengan dasar syariah. Dengan profesionalisme dan pendekatan baru itu, bisnis beliau berkembang dengan sangat pesat, sehingga mengantarkan beliau sebagai pebisnis sukses dan memiliki sikap social responsibilty yang tiada duanya. Kakinya berjalan di bumi, matanya menebus batas-batas dunia, dan tangannya mendapatkan keuantungan yang melimpah ruah.
Khalid bin Walid, dikenal sebagai seorang jenderal jenius yang tiada duanya. Saat beliau bergabung dalam barisan dakwah ideologis bersama Rasulullah saw, apakah kejeniusan dan keberanian dalam berbagai medan pertempuran memudar? Sama sekali tidak. Bahkan dengan dakwah ideologis, kejeniusan dan keberanian beliau bertambah berlipat-lipat. Pemahaman atas hakikat kehidupan membuat beliau meningkatkan level kemenangan beliau, dari hanya kemenangan dari pertarungan di dunia, menjadi kemenangan dunia dan akhirat. Maka, tak mengherankan, beliau telah mencapai prestasi yang teramat sangat mengagumkan dalam membebaskan negeri-negeri pada waktu. Dan masih tak terhitung contoh lain dari generasi-generasi Islam masa lalu.
Buku ini (Gara-gara Dakwah), merupakan kisah inspiratif dari penulisnya sendiri, bahwa dakwah ideologis, bukan sekedar membebani aktivitas dan kesibukan kita yang sedemikian padat dan membuat penat, tetapi dakwah ideologis mampu melepaskan kita dari kungkungan aktivitas dan kesibukan “kualitas rendah” menjadi kesibukan “kualitas tinggi”. Dakwah ideologis mampu mengubah gundah gulana menjadi ketenaangan dan kedamaian di dalam jiwa.
Penulisnya berbagi inspirasi dengan kita. Ia menceritakan pengalamannya menjadi mahasiswa fisika di ITB, yang “begitu membanggakan” menurut anggapan orang, tetapi ia menjalani dengan “rendah diri”, karena sikapnya sendiri. Lalu, ia mengalami hidup penuh dengan tekanan dan stress tingkat tinggi. Akhirnya, ia menemukan dakwah ideologis dan berproses untuk mendapatkan “inti” dari kesejatian dakwah, yang membuat hidupnya bersinar kembali. Akhirnya ia mendapatkan sesuatu yang sama sekali tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Meski ia menceritakan betapa “dingin” dan “beku”nya suasana saat awal-awal menjadi mahasiswi fisika, tetapi ceritanya begitu “hangat” dan “cair mengalir”. Kita tak akan menemukan satu rumus dalam buku ini yang membuat kita harus mengerutkan dahi, sebaliknya kita akan disuguhi cerita segar yang inspiratif. Ia menceritakan “kebekuan” hidupnya, tetapi gara-gara dakwah, ia telah berhasil move on. Iya, gara-gara dakwah. Akhirnya ia berhasil lulus dari ITB dengan IP di atas 3 dan berhasil mendapatkan predikat best poster award pada The 13th Asia-Oceania Congress of Medical Physics and 11th South-East Asian Congress of Medical Physics, yang merupakan pertemuan bergengsi para fisikawan medis se Asia-Pasifik di Singapura. Lebih dari itu, gara-gara dakwah, ia menemukan hakikat hidup yang sebenarnya.
Selamat mendapatkan inspirasi dan something new different!.
M. Choirul Anam
Posting Komentar