Oleh: Ahmad Khozinudin, SH
Ketua Koalisi Advokat Penjaga Islam
HP/WA. 0821.2204.5279
Pada sidang hari Kamis, tanggal 12 Oktober 2017, ada peristiwa persidangan yang menarik. Saat itu Penulis dan beberapa Kuasa Hukum pemohon lain, meminta kepada majelis untuk memberikan perlindungan hukum, rasa aman dan nyaman, kepada pihak-pihak yang berperkara di MK. Pemicunya, kasus laporan pidana terhadap Dr. Egi Sudjana yang dilaporkan ke polisi karena mengeluarkan statement dalam sebuah forum persidangan di MK.
Kami memohon agar MK memberikan perlindungan hukum kepada seluruh pihak berperkara di MK baik pemohon, saksi, ahli, pihak terkait, pihak terkait tidak langsung dari upaya kriminalisasi pihak-pihak yang merasa keberatan dengan keterangan yang disampaikan dalam forum peradilan.
Adalah wajar dan sangat beralasan jika kami memohon perlindungan hukum. Sebab, peristiwa kriminalisasi Dr. Egi Sudjana yang menyampaikan keterangan resmi di lembaga peradilan MK sehubungan dengan uji Perppu Ormas, langsung maupun tidak langsung mempengaruhi persepsi publik terhadap lembaga peradilan.
Setiap individu rakyat wajar jika merasa cemas dan takut untuk hadir dan memberikan keterangan yang sebenarnya didalam forum pengadilan. Sebab sekelas Dr. Egi Sudjana saja tidak luput dari kriminalisasi, apalagi kalangan rakyat biasa? Yang penting untuk difikirkan oleh segenap elemen anak bangsa, adalah bahwa jika rakyat sudah merasa tidak aman dan merasa cemas menuntut dan memperjuangkan hak konstitusional melalui lembaga peradilan, lantas akan kemana rakyat memperjuangkan keadilan ?
Persoalannya tidak sebatas dan di khususkan pada kasus kriminalisasi yang dialami Dr. Egi Sudjana, tetapi imbas dari tindakan serampangan terhadap proses pencarian keadilan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa berbeda pendapat dengan keterangan Dr. Egi Sudjana. Bukankah perbedaan pendapat itu dapat disalurkan melalui majelis peradilan MK ? Bukankah sila ke-4 Pancasila menyebutkan "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan?" Lantas sejak kapan bangsa ini menjadi kaum vandalis (meminjam istilah Prof Suteki) untuk menyelesaikan persoalan berbangsa dan bernegara ? Lapor polisi dulu, bukti belakangan ?
Disanalah sebenarnya letak kewajiban konstitusional MK untuk mengimbau kepada seluruh pihak yang tidak sependapat dengan dinamika dialektika argumentasi seputar Perppu Ormas, untuk mengajukan diri sebagai pihak terkait di MK. Disana pula, substansi penjagaan Marwah dan Wibawa lembaga MK dengan memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat pencari keadilan. Agar rakyat merasa aman dan nyaman, terlindungi secara hukum berperkara di MK.
Penulis sangat prihatin, bagaimana mungkin dalam satu kesempatan mengingatkan forum peradilan dalam sebuah sidang resmi yang terbuka dihadapan umum dianggap melakukan contempt of Court? Lantas Dimana jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi rakyat untuk mengajukan argumentasi dalam sebuah pengadilan ? Belum kering komitmen jaminan perlindungan hukum yang diberikan, ternyata komitmen itu sudah diingkari !
Perppu Ormas, Biang Kerok Perpecahan Anak Bangsa
Jika ditelisik lebih lanjut, akar masalah seluruh kegaduhan bangsa ini berpulang pada diterbitkannya Perppu Ormas. Pemerintah menyebut genting, tetapi pembahasan Perppu di DPR cenderung molor. Lembaga MK juga terlalu lama dalam setiap penundaan waktu sidang, sehingga proses perkara hingga putusan juga menjadi lambat.
Tidak dapat disalahkan jika publik akhirnya berasumsi bahwa MK dan DPR saling buang badan dalam persoalan Perppu Ormas. DPR menunda-nunda hingga ada putusan MK, sebaliknya MK mengulur waktu menunggu proses politik di DPR kelar.
Dalam kondisi dan dinamika Perppu ini menuntut semua pihak -baik MK maupun DPR- untuk memposisikan diri sebagai negarawan. Berfikir dan segera memutus Perppu Ormas dengan pertimbangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih jauh. Bukan kepentingan politik pragmatis sesaat.
Publik pasti akan mencatat keputusan Perppu baik oleh DPR maupun MK sebagai Presiden bernegara dan legacy politik berbangsa. Disanalah MK dan DPR diuji, apakah akan menjadi penyambung lidah rakyat dan penjaga garda konstitusi. Atau sebaiknya, terkooptasi oleh kekuasaan dan melacurkan diri menjadi stempel politik penguasa.
Sudah banyak pendapat ahli dalam persidangan MK yang memberikan kritik tajam, baik formal maupun substansial. Sehingga, tidak ada alasan bagi DPR maupun MK meloloskan Perppu ormas.
Rakyat Sudah Stadium Akut!
Penolakan Perppu begitu luas dan memiliki dampak yang luar biasa. Sebaliknya, represifme penguasa berdalih menegak-kan Perppu Ormas telah memangsa banyak korban. Kasus yang dialami dr. Egi Sudjana telah mengerek Perppu membenturkan publik pada diskursus yang paling esensial. Diskursus iman, diskursus akidah, diskursus keyakinan.
Penulis tidak sanggup memprediksi Kegentingan yang bakal makin meluas, jika saja DPR dan MK meloloskan Perppu menjadi UU. Sejauh ini, DPR nampaknya masih membatu atas adanya aspirasi tolak Perppu. DPR terus mengulur waktu pembahasan, bahkan sengaja mengeluarkan wacana baru tentang tafsir "pembahasan pada masa sidang selanjutnya".
Jika Perppu tidak segera dibatalkan, penulis khawatir eskalasi dan magnitud dari Perppu Ormas memberikan dampak yang meluas dan makin parah. Jika tidak segera dibatalkan, penulis khawatir rakyat chaos karena masing-masing menafsirkan Perppu Ormas yang memperluas batasan frasa 'bertentangan dengan Pancasila'. Siapapun dapat menuduh pihak lain anti Pancasila, seraya menisbatkan diri sebagai pihak yang paling Pancasilais.
Dalam konteks dinamika diskusi dikalangan intelektual, mungkin masih bisa diatasi. Tetapi jika diskursus meluas keseluruh elemen rakyat, penulis sangat khawatir masing-masing menggunakan tafsir "pokok'e" bisa berujung bentrok dan adu fisik. Inilah kondisi chaos itu.
Terakhir, pesan penulis jelas. Segera batalkan Perppu ormas, agar Kegentingan ini segera disudahi.
Wallahu'alam Bish Showab. [].
Posting Komentar