Oleh Makmun Rasyid
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat" (Qs. al-Hujurât [49]: 10).
Bertemunya dua penulis, satu pro Khilâfah dan satu kontra Khilâfah. Mas Felix menulis "Khilâfah Remake" dan saya menulis "HTI: Gagal Paham Khilâfah". Mas Felix saat itu akan diundang ke kampus Pascasarjana UI, tetapi waktu beliau padat. Akhirnya saya berdiskusi dengan mas Ade Sulaiman. Bahkan mas Felix bertutur bahwa jam ngisi di luar negeri sedang di stop sementara, capek.
Kami berdua bertemu karena sesama penulis dan sama-sama saling memberikan nasihat. Di mana beliau pengagum KH. Sahal Mahfudz dan KH. Hasyim Muzadi. Dan beliau meminta saya untuk memaparkan pemikiran abah Hasyim sedikit. Di samping obrolan serius seputar Sosialisme, Nasakom, PRD dan PII.
Sambil meminum Teh Tarik buatan seorang Cina Muslim, mas Rayhan (nama sesudah masuk Islam) dan menikmati nasi goreng, kita saling berbagi keilmuwan seputar sejarah Islam dan perkembangan gagasan Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani, Sayyid Qutb dan Buya Hamka.
Itulah indahnya Islam. Berbeda tetapi saling bersahabat. Dalam sejarah Islam, mari kita telusuri mengapa perbedaan itu ada. Di antaranya:
Pertama, "perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa". Seseorang bisa kemungkinan menguasai bahasanya sendiri dan kemungkinan tidak menguasai bahasa asing secara baik dan komprehensif. Suatu ketika Umar bin Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, atau Allah akan mengadzab mereka disebabkan mereka menghina (takhawwufin).
Kemudian Umar bertanya kepada para hadirin tentang makna "takhawwifin": “Apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwuf itu?”.
Lalu berdirilah seseorang yang sudah lanjut usia dari kabilah Huzail dan berkata: "Ini bahasa kami dan takhawwuf artinya "tanaqqush (menghina).
Umar berkata, “apakah orang Arab tahu ini dalam sya’ir mereka?”.
Ia menjawab, “Ya”. Ia pun menyebutkan sebuah bait sya’ir untuk memperkuat ucapannya.
Umar berkata: “Jagalah sya’ir kalian dan kalian tidak akan tersesat.”
Para Sahabat bertanya: “Apa itu sya’ir (diwan) kami?”
Umar menjawab: “Sya’ir Jahiliyah, sebab di dalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian."
Kedua, perbedaan dalam memahami dan memilih Asbâbu al-Nuzûl sebuah ayat atau Asbâbu al-Wurûd sebuah hadis. Ketiga, kapasitas dan kemampuan menghafalnya. Setiap orang memiliki tingkat pemahaman yang berbeda dan cara mencerna sebuah masalah. Dan beragam munculnya perbedaan dalam berpikir.
Merajut Ukhuwah di tengah narasi publik yang kian tak sehat. Maka bergandengan tangan menjadi keniscayaan sebelum keretakan kian lebar. Sesama Muslim diberikan tugas mengingatkan dalam hal kebaikan dan kemaslahatan. Maka mendudukkan "khiláfat fî al-Islâmiyah" sebagai sebuah "tafâhum" dan sesuatu yang lahir dari Islam itu penting. Berbeda boleh tapi jangan sampai saling bertempur. Abah Hasyim berpesan, "jangan sentuh wilayah ego seseorang" maka engkau akan selamat. []
Bojongsari, Depok
Makmun Rasyid
Penulis buku-buku Islami
Posting Komentar