Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Soal:
Maraknya LGBT saat ini juga memunculkan wacana tentang fiqih waria, yang konon telah dibahas oleh para fuqaha’. Apa sebenarnya yang dibahas oleh para fuqaha’ tentang fiqih waria ini? Benarkah mereka melegalkan waria?
Jawab:
Para fuqaha’ memang telah membahas pembahasan khusus tentang khuntsâ [hermaprodit]. Secara harfiah, khuntsâ diambil dari lafadz khunts, yang berarti lembut [layyin]. Jika disebut, khanatstu as-syai’a fatakhannatsa, maksudnya ‘athiftu fa ta’atthafa [aku bersikap lembut kepadanya, sehingga dia menjadi lembut].
Dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Prof. Dr. Rawwas Qal’ahji menyatakan:
الَّذِيْ لَهُ آلَةُ الذَّكَرِ وَآلَةُ الأُنْثَى، أَوِ الَّذِيْ يَبُوْلُ مِنْ ثَقْبٍ وَلَيْسَ لَهُ آلَةُ ذَكَرٍ وَلاَ آلَةُ أُنْثَى.
“Orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki, dan alat kelamin perempuan. Atau orang yang kencing melalui saluran, dimana dia tidak mempunyai alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan.”
Sedangkan istilah Mukhannats, digunakan untuk menyebut orang yang menyerupai wanita dalam hal kelemahlembutan, ucapan, pandangan, gerak-gerik, dan sebagainya. Biasanya mereka dilahirkan sebagai laki-laki, namun mempunyai beberapa karakter seperti perempuan. Ada juga yang memang lahir sebagi laki-laki, dan karakternya pun laki-laki, tetapi berpenampilan seperti perempuan. Mereka inilah yang disebut oleh Nabi sebagai mukhannatsîna min ar-rijâl [laki-laki yang bergaya perempuan].
Karena itu, fakta khuntsâ dalam konteks ini harus dibedakan menjadi dua. Pertama, khuntsâ, yang benar-benar diciptakan dengan kelamin ganda, atau sama sekali tidak mempunyai alat kelamin. Kedua, laki-laki yang diciptakan dengan kelamin laki-laki, tetapi bergaya seperti dan atau menjadi perempuan. Inilah yang disebut mukhannatsîna min ar-rijâl.
Dua fakta ini sama-sama dibahas dalam kitab fikih. Mengenai fakta mukhannatsîna min ar-rijâl, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ fikih tentang status keharamannya. Karena, Nabi saw. dengan tegas menyatakan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ المُخَنَّثِيْنِ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، قَالَ: فَقُلْتُ: مَا المُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ؟ قَالَ: المُتَشَبِهَاتُ مِنَ النِّساَءِ بِالرِّجَالِ [رواه أحمد في المسند وحسنه الأرناؤوط]
“Rasulullah saw. telah melaknat orang laki-laki yang menjadi perempuan, dan perempuan yang menjadi laki-laki.” Berkata perawi hadits, “Aku bertanya, Apa yang dimaksud dengan perempuan yang menjadi laki-laki?” Baginda menjawan, “Perempuan yang menyerupai laki-laki.” [Hr. Ahmad dalam Musnad, dinyatakan hasan oleh al-Arna’uth]
Dalam riwayat Bukhari, dari Ibn ‘Abbas juga dinyatakan:
لَعَنَ النَّبِيُّ ﷺ المُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَفِيْهِ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ أَيْضًا: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ المُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ.
“Nabi saw. telah melaknat orang laki-laki yang menjadi perempuan, dan perempuan yang menjadi laki-laki.” Dari Ibn ‘Abbas juga, “Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” [Hr. Bukhari]
Dalam redaksi yang lain, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ مُخَنَّثِي الرِّجَالِ الَّذِيْنَ يَتَشَبَّهُوْنَ باِلنِّسَاءِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ المُتَشَبِّهِيْنَ بِالرِّجَالِ [صححه الأرناؤوط].
“Rasulullah saw. telah melaknat laki-laki yang menjadi perempuan, yaitu mereka yang menyerupai kaum perempuan. Juga melaknat perempuan yang menjadi laki-laki, yaitu yang menyerupai laki-laki.” [Hr. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Arna’uth]
Hadits-hadits di atas dengan tegas menyatakan keharaman laki-laki menyerupai perempuan. Mereka inilah yang disebut Mukhannatsîn min al-rijal. Dalam hal ini tidak ada perselisihan pendapat. Juga tidak ada ruang ijtihad, karena sudah tegas dinyatakan oleh nash. Sebagaimana dalam kaidah:
لاَ إِجْتِهَادَ مَعَ وُرُوْدِ النَّصِّ
“Tidak ada ruang berijtihad, selama ada nash yang menjelaskannya.”
Karena dalam konteks ini tidak ada ruang berijtihad, dan tidak ada ruang pembenaran terhadap penyimpangan perilaku tersebut, maka yang dilakukan oleh Islam terhadap mereka adalah mengharamkan penyimpangan perilaku, menghukumnya dengan ta’zir, membentuk dan menyembuhkannya dari penyimpangan tersebut. Bukan dengan membiarkan, apalagi menjustifikasi penyimpangan ini.
Inilah ketentuan hukum yang dibahas oleh para fuqaha’ terkait dengan kasus Mukhannatsîna min ar-rijâl. Ini berbeda dengan fakta khuntsâ itu sendiri. Karena masing-masing mempunyai fakta yang berbeda, satu dengan yang lain.
Mengenai fakta khuntsâ, para fuqaha’ telah membagi menjadi dua:
1- Khuntsâ Musykil, orang yang mempunyai kelamin ganda, dan dua-duanya berfungsi, atau sebaliknya tidak mempunyai kelamin sama sekali.
2- Khuntsâ Ghair Musykil, yaitu orang yang mempunyai dua kelamin ganda, tetapi secara definitif jelas. Jika yang berfungsi kelamin laki-laki, maka dia dihukumi laki-laki. Tetapi, jika yang berfungsi kelamin perempuan, maka dia pun dihukumi perempuan.
Dari sini jelas, bahwa Khuntsâ Musykil ini mempunyai ciri-ciri laki-laki atau perempuan, dan tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan. Khuntsâ Musykil ini, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bisa dikategorikan menjadi dua: Pertama, mempunyai kelamin ganda, dan keduanya sama-sama berfungsi. Kedua, tidak mempunyai kelamin sama sekali, tetapi mempunyai jalur lain untuk membuang air.
Jumhur fuqaha’ berpendapat, jika Khuntsâ Musykil ini kencing sebelum baligh dari kelamin laki-laki, maka dia dihukumi laki-laki. Jika dia kencing melalui kemaluan perempuan, maka disebut perempuan. Namun, setelah baligh, kondisinya tampak dengan salah satu ciri yang menonjol. Jika dia keluar jenggot, mengeluarkan sperma melalui testis, atau bisa menghamili perempuan, maka dia dihukumi laki-laki. Begitu juga ketika tampak ciri-ciri keberaniannya, sikap kesatria dan sabar menghadapi musuh, maka ini menjadi indikasi kejantanannya, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam as-Suyuthi, menukil dari pendapat Imam al-Isnawi.
Namun, jika dia mempunyai embing susu, dan bisa mengeluarkan air susu, menstruasi, atau bisa disetubuhi, maka dia jelas perempuan. Begitu juga hamil, melahirkan adalah bukti yang nyata, bahwa dia perempuan. Begitu juga tampak dari kecenderungan seksualnya. Misalnya, jika dia menyukai laki-laki, maka dia dihukumi perempuan. Sebaliknya, jika dia menyukai perempuan, maka dia dihukumi laki-laki. Maka, Imam as-Suyuthi menjelaskan, “Istilah Khuntsa dalam fiqih digunakan dengan konotasi Khuntsa Musykil.”
Ibn Qudamah, rahimahu-Llah, berkata:
ولا يخلو الخنثى من أن يكون مشكلاً، أو غير مشكل: فإن لم يكن مشكلاً، بأن تظهر فيه علامات الرجال: فهو رجل له أحكام الرجال، أو تظهر فيه علامات النساء: فهو امرأة له أحكامهن، وإن كان مشكلاً فلم تظهر فيه علامات الرجال ولا النساء: فاختلف أصحابنا في نكاحه، فذكر الخرقي أنه يرجع إلى قوله، فإن ذكر أنه رجل، وأنه يميل طبعه إلى نكاح النساء: فله نكاحهن، وإن ذكر أنه امرأة يميل طبعه إلى الرجال: زوِّج رجلاً؛ لأنه معنى لا يتوصل إليه إلا من جهته، وليس فيه إيجاب حق على غيره، فقُبل قوله فيه كما يقبل قول المرأة في حيضها، وعدتها، وقد يَعرف نفسه يميل طبعه إلى أحد الصنفين، وشهوته له؛ فإن الله تعالى أجرى العادة في الحيوانات بميل الذكر إلى الأنثى، وميلها إليه، وهذا الميل أمر في النفس والشهوة لا يطلع عليه غيره، وقد تعذرت علينا معرفة علاماته الظاهرة، فرُجع فيه إلى الأمور الباطنة فيما يختص هو بحكم.
“Khuntsa itu ada yang Musykil dan ada yang Ghair Musykil. Jika dia bukan Khuntsa Musykil, misalnya menampakkan ciri-ciri laki-laki, maka dia laki-laki, dan kepadanya berlaku hukum laki-laki. Atau menampakkan ciri-ciri perempuan, maka dia perempuan, dan kepadanya berlaku hukum perempuan. Jika dia Khuntsa Musykil, dia tidak menunjukkan ciri laki-laki maupun perempuan, maka ashhab kami [pengikut mazhab Hanbali] berbeda pendapat tentang hukum menikahinya. Al-Khiraqi menyatakan, bahwa ini bisa dikembalikan kepada pendapat orang tersebut. Jika dia menyatakan laki-laki, dan mempunyai kecenderungan untuk menikahi perempuan, maka dia boleh menikahi petempuan. Namun, jika dia menyatakan perempuan, dan mempunyai kecenderungan kepada laki-laki, maka dia pun dinikahkan dengan laki-laki. Sebab, makna ia tidak bisa dicapai, kecuali dari pihaknya, dimana dalam hal ini tidak boleh memaksakan hak kepada yang lain, artinya ucapan dia bisa diterima, sebagaiman ucapan wanita tentang haid dan masa iddahnya. Jadi, dia boleh saja menyatakan dirinya cenderung kepada salah satu dari dua jenis, dan tertarik kepadanya. Sebab, Allah SWT juga telah menjadikan hewan jantan tertarik kepada betina, dan betina tertarik kepada jantan. Ketertarikan ini masalah jiwa dan syahwat, yang tidak bisa diungkapkan oleh orang lain. Kita pun kadang tidak bisa mengetahui ciri lahiriahnya. Maka, dalam hal ini keputusannya bisa dikembalikan kepada perkara batin, yang khusus baginya.”
Inilah pembahasan tentang Khuntsâ, menurut para fuqaha’. Pembahasannya pun definitif, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam as-Suyuthi, terkait dengan orang yang mempunyai kelamin ganda. Tidak ada kaitannya dengan orang yang melakukan penyimpangan perilaku, karena hukumnya sudah jelas haram, dan dilaknat oleh Rasulullah saw.
Pembahasan Khuntsâ ini terkait dengan fitrah, takdir dan kudrat yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada seseorang. Karena itu, terkait dengan masalah Khuntsâ ini tidak ada pembahasan tentang keharaman statusnya, atau laknat dan adzab terhadapnya. Karena ini betul-betul merupakan masalah fitrah, takdir dan kudrat yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada seseorang. Ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipilih oleh seseorang. Ini berbeda dengan orang normal yang lahir sebagai laki-laki atau perempuan, kemudian ingin menjadi lawan jenis yang berbeda. Karena itu, para fuqaha’ pun memilah di antara keduanya dengan istilah yang berbeda. Yang satu disebut Khuntsa, sedangkan yang satu lagi disebut Mukhannats.
Pembahasan tentang Khuntsa, tidak hanya untuk mengidentifikasi jenis kelamin, tetapi juga hukum-hukum yang terkait dengan statusnya sebagai laki-laki atau perempuan, setelah teridentifikasi. Jika terbukti sebagai laki-laki, maka dia harus menikah dengan perempuan, begitu juga sebaliknya. Hukum berikutnya terkait dengan hak waris, perwalian dan hukum-hukum yang lain.
Karena itu, menyatakan bahwa LGBT legal, dan telah dibahas oleh para fuqaha’ dalam pembahasan fiqih waria, jelas merupakan kebohongan yang luar biasa. Kebohongan yang didasari kebodohan tentang fiqih dan pandangan para fuqaha’, atau niat jahat untuk melegalkan LGBT yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Wallahu a’lam.
Khadim Majelis-Ma'had Syaraful Haramain
@Hafidz_AR1924
www.Facebook.com/har
Posting Komentar