Oleh : Ramlan Priatna
Artikel ini sekadar meluruskan paradigma tentang alasan berpandangan Jihad dan Khilafah untuk Palestina secara runut tapi singkat. Paling tidak, opini "jihad dan khilafah untuk Palestina" tidak sebatas di -cap- jump to conclusion atau senada pikiran sempit nan pendek. Lebih dari itu, opini tawaran solusi ini didasarkan pada pemikiran rasional, dilandaskan pada nash-nash syar'i, dan merujuk pada pendapat alim ulama.
Namun 1 hal yang perlu dipertegas sebelumnya. Kita ini statusnya sebagai muqallid. Penulis pribadi menspesifikkan diri sebagai muqallid 'ammi. Belum pada level muqallid muttabi'. Jika status kita sebagai muqallid, maka tugas kita adalah bertaqlid pada mujtahid. Lebih bagusnya lagi bertaklid pada mujtahid mutlak. Hadirnya tulisan inipun, insya Allah telah memenuhi kaidah rute tersebut bukan sebatas opini yang didasari taklid buta.
Kembali pada pembahasan Palestina. Cara berpikir yang kita gunakan untuk Palestina sebenarnya cukup sederhana. Terserah ini mau dianggap naif atau bagaimana, tapi berdasar pada rujukan referensi dan beberapa pendapat alim ulama mengatakan bahwa Palestina itu atau Bumi Syam secara keseluruhan adalah milik kaum muslimin karena dulu ia telah dibuka/dibebaskan oleh kaum muslimin. Maka ia merupakan hak kaum muslimin, ia hak kita semua sebagai manusia (yang mengaku) muslim.
Jika menilik linimasa sejarah dan latarbelakang konflik Israel-Palestina, kita bisa tarik sejak tahun 2000 SM. Namun sejarah kontemporer hanya mencatat konflik Palestina-Israel dimulai tahun 1967 saat Israel menyerang Mesir, Yordania, dan Syiria kemudian berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yordania.
Pada intinya, Israel di Bumi Palestina sejak dahulu itu hanyalah berstatus sebagai pendatang namun keserakahan mereka yang menjadikan mereka ingin merampas hak kaum muslimin. Sebagai salah satu buktinya, Map yang terlampirkan pada gambar 1 ini dikeluarkan oleh Surat Kabar Nasional Geographic tahun 1947 dimana dalam map tersebut tidak ada negara zionis yahudi. Yang ada hanya PALESTINA.
Gambar 1. Map Courtesy of National Geographic Magazine, 1947 |
Maka dari sini jelas, membiarkan berdirinya Israel di Palestina sama artinya memberikan pengakuan legal kepada penjajah skaligus mengakui kebrutalan dan kekejiannya terhadap tanah milik kita.
Ingatlah kaum muslimin, bahwa Palestina telah direbut oleh Shalahuddin al-Ayubi dari Kristian dengan jalan jihad. Kini saatnya kita juga mengambil kembali Palestina dari Yahudi dengan jalan jihad fi sabilillah bukan jalur perundingan.
Perlu kita ketahui bahwa penjajahan yang hingga kini terjadi di Palestina tidak akan selesai dengan jalan yang menyalahi wahyu. Adanya perjanjian 'perdamaian' di antara pihak berkuasa Palestina dengan entiti yahudi tidak akan menyelesaikan masalah. Hal tersebut karena kaum kuffar laknatullah 'alaih kini mengawal Palestina dengan persenjataan lengkap. Maka, adakah pikiran kita sehat jika gencatan senjata yang diangkat oleh musuh sementara kita menawarkan perundingan?.
Senjata wajib dijawab dengan senjata, perang wajib dijawab dengan perang! Yahudi mesti diperangi, dan Palestina harus kita ambil kembali dan itu semua hanya dapat dilakukan dengan jihad fii sabilillah.
Firman Allah SWT,
قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasulnya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (iaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” [At-Taubah (9):29].
Tentang jihad itu sendiri, kini seringkali dipersempit maknanya oleh kaum muslimin jaman now. Ini juga tidak lepas dari propoganda yang dilakukan oleh musuh-musuh islam dengan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah islam ditengah-tengah kaum muslim. Hal itu dilakukan bukan saja dengan menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.
Padahal jika ingin memaknai tentang jihad, tentu kita harus bersikap proporsional karena makna jihad itu sendiri terdiri atas 3. Yaitu makna syar'i, makna lughawi (bahasa), dan makna urf (istilah). Namun khusus tulisan kali ini hanya menspesifikkan pada makna jihad secara syar'i dan secara lughawi karena dua makna ini yang sering dicampuradukkan maknanya.
Jihad berasal dari kata jahâda, yujâhidu, jihad. Artinya adalah saling mencurahkan usaha. Imam an-Naisaburi rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad menurut bahasa (lughawi), yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu.
Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras. Dan tak jarang makna jihad secara bahasa inilah yang sering diarahkan oleh musuh-musuh Islam ditengah kaum muslimin untuk diartikan meluas dan menjauh dari makna yang seharusnya.
Mereka mengarahkan kepada jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu, jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, dan sejenisnya. Maka wajar jika saat ini, ada segelintir kaum muslimin yang hanya berpikiran dangkal dalam memandang kontekstualisasi jihad dan menyandingkannya pada fakta Palestina hari ini.
Sementara dalam makna syar’i jihad itu sendiri, al qur’an mengarahkan maknanya lebih spesifik yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk berperang dijalan Allah. Dan perlu kita ketahui bahwa para ahli ushul fiqh menyepakati, "Makna Syar’i lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna istilah (urf)". Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
Hukum jihad bagi kaum muslimin adalah fadhu’ain dan kedudukannya sama halnya dengan kewajiban Puasa Ramadhan dan ibadah wajib lainnya. Kewajiban atas jihad ini juga telah diperingatkan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam kutipan web arrahmah.com (https://www.arrahmah.com/2012/06/09/ustadz-abu-bakar-baasyir-kewajiban-jihad-sama-dengan-kewajiban-puasa-ramadhan/). Beliau mengatakan bahwa, “Pada dasarnya Jihad itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, sama hal nya dengan kewajiban ibadah Shaum Ramadhan dan ibadah-ibadah lain nya.”
Lebih lanjut kata beliau, ayat yang mewajibkan puasa ramadhan mempunyai redaksi yang sama dengan ayat yang mewajibkan berjihad. Pada Q.s. Al Baqarah ayat 183, redaksi kata seruan berpuasa adalah “Kutiba ‘Alaikumus shiyam”. Kemudian pada ayat seruan jihad di surah yang sama ayat 216, redaksi seruannya juga berupa Kutiba ‘Alaikumul Qital’.
Kata ‘Kutiba‘ pada kedua ayat ini berarti, ‘Di Wajibkan’. Bila kedua ayat ini sama redaksinya dalam memerintahkan muslim untuk berpuasa dan jihad, kenapa hanya Shaum Ramadhan saja yang diprioritaskan ummat Islam? Mengapa perintah “Kutiba ‘Alaikumul Qital” Kita tidak mau melaksanakannya dan bahkan sebagian besar menolaknya? Padahal dalam QS At Taubah ayat 24, Allah berfirman bahwa jihad adalah amalan yang harus kita cintai setelah kita mencintai Allah dan Rasulullah”
Ayat lain tentang wajibnya jihad juga dapat kita lihat pada frman Allah SWT dalam QS At Taubah,
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قٰتِلُوا۟ الَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا۟ فِيكُمْ غِلْظَةً ۚ وَاعْلَمُوٓا۟ أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿التوبة:١٢٣
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dari kalian. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS At-Taubah [9]: 123).
Berangkat dari pemahaman ini semualah, maka memandang kasus Palestina itu tentu memerlukan jihad dalam makna syar’i bukan lagi sebatas jihad dalam makna lughawi saja. Adapun implementasi dari jihad syar’i hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan konsep syariah Islam secara kaffah bukan negara yang menerapkan konsep nation state seperti yang terjadi sekarang ini.
Konsep nation state merupakan sistem kenegaraan yang lahir dari ajaran barat dengan latarbelakang sekulerisasi. Sangatlah wajar jika mereka menerapkan hal ini karena agama mereka tidak mengajarkan tentang konsep kenegaraan. Berbeda halnya dengan Islam, konsep bernegara dalam Islam itu sudah diatur dan bahkan telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Makanya jika muslim yang ingin menerapkan konsep nation state, tentulah akan sangat menyalahi aqidah Islamnya. Sebab sejak bangun tidur hingga bangun negara, Islam telah punya aturannya dan kita tinggal menjalankan.
Namun sayangnya, pelaksanaannya inilah yang tidak sesimple pengucapannya sebab akan selalu ada segelintir manusia yang tidak senang jika islam itu diterapkan dalam level bernegara dan meraih kemenangan atas itu. Firman Allah SWT,
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ - 2:120
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (QS.Al-Baqarah [2] : 120)
Sekarang pun terbukti, sekat nasionalisme berhasil menjadikan para pemimpin negeri muslim hanya memberi kecaman bukan mengirimkan militer. Penerapan nasionalisme di negeri muslim ini berhasil menjadikan kepentingan bangsa lebih tinggi daripada kepentingan Islam. Apalah arti kecaman jika yang dihadapi adalah senjata dan serangan brutal lainnya.
Disinilah urgensi pentingnya sebuah perisai bagai kaum muslimin itu sendiri. Kaum muslim butuh kepemimpinan politik untuk mewujudkan persatuan dan kekuatan yang unggul, mampu melawan para musuh-musuh Islam, dan menerapkan aturan syariah Islam secara kaffah dalam wadah yang praktis.
Kepemimpinan kaum muslimin itu berbentuk Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh khalifah sebagai pemimpin ummat dan menyerukan jihad untuk membebaskan seluruh Palestina dan juga negeri muslim lainnya yang kini masih dijajah.
Ingatlah pesan Khalifah Abdul Hamid II (1897), “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik ummatku”. Saat berpesan demikian, kedudukan khilafah dalam kondisi lemah tapi sebagai khalifah, beliau mampu tegas menolak keinginan Yahudi untuk membeli tanah Palestina.
Tidak hanya itu, pada tahun 1902 Khalifah Abdul Hamid II juga kemudian mengultimatum Dr. Hertzl dari pihak Yahudi supaya jangan meneruskan rencananya. Isi ultimatum beliau, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.
Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Karena itu, silakan Yahudi menyimpan saja harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Namun, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.”
Inilah sikap yang semestinya ditunjukkan oleh para pemimpin negeri muslim. Bukan sebatas menawarkan solusi berupa bantuan kemanusiaan, KTT luar biasa OKI, resolusi DK PBB, KTT Liga Arab maupun pengiriman pasukan perdamaian karena sesungguhnya itu semua bukanlah solusi tuntas untuk Palestina.
Buktinya, meski semuanya itu terus-menerus dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu hingga kini, namun pada kenyataanya tidak pernah mampu menyelesaikan masalah Palestina dengan tuntas. Bahkan solusi-solusi tersebut justru semakin memalingkan kaum Muslim dari solusi Islam yang sesungguhnya, yakni dengan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.
Maka dari sini status kita sebagai individu tentu harus terus memuhasabahi para pemimpin negeri kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya agar tidak merasa baik-baik saja dengan kondisi muslim yang hingga hari ini tidak memiliki sebuah mahkota yang bernama khilafah.
Sebab hanya dengan khilafah, seluruh kewajiban kita sebagai muslim bisa tertunaikan secara sempurna. Ayolah saudaraku, mari sadar dan saling menyadarkan. Berikan kontribusi terbaik kita untuk Islam dan Kaum muslimin.
Posting Komentar