Oleh : Prof. Moeflich H. Hart
HTI telah dikalahkan di pengadilan oleh lawannya Kemenkumham, melalui putusan hakim pada 7 Mei 2018.
Dari beberapa kali proses pengadilan, tim kuasa hukum HTI yang diwakili Prof Yusril Ihza Mahendra sebelumnya tampak optimis karena mereka merasa di atas angin untuk memenangkan perkara.
Tim kuasa Kemenkumham yang mewakili pemerintah sering keteteran dalam adu argumentasi di majlis persidangan. Namun juga disadari, cukup berat bila pengadilan harus memenangkan HTI dan mengalahkan pemerintah sehingga harus merevisi keputusannya.
Tak terbayang, pemerintah yang sudah tak berwibawa harus menambah ketakwibawaannya dengan mencabut keputusannya dan memenangkan HTI. Suhu kegaduhan politik pasti akan naik cepat dan pemerintahan Jokowi akan dianggap pro radikalisme.
Dampak psiko-sosiologisnya pun tampaknya lebih aman HTI yang kalah ketimbang pemerintah. Dakwah HTI yang bercitra kelas menengah dan tak berwajah radikal, lebih bisa menerima kekalahan ketimbang bila pemerintah yang kalah. Bukan pemerintahnya yang ganas, tapi kelompok anti HTI-Khilafah mungkin akan beringas lebih menyerang HTI.
Bila kelompok-kelompok sekuler kecewa secara politik bisa menghalalkan segala cara utk mengekspresikan kekesalannya, pendukung HTI setelah dikalahkan dalam pengadilan malah sujud syukur, pemandangan yang jarang ditemukan yang memberikan rasa sejuk dan damai. Sedamai aksi kolosal jutaan umat yang tergabung dalam aksi 212 yang damai, aman, tertib dan bersih. Berbeda dengan tandingan-tandingan kecilnya yang menyembako dan menyampah.
Citra berkelas dan tak memilih kekerasan itu tampaknya memang sudah menjadi wajah dan kesadaran para tokoh dan aktifis HTI. Ketika dibubarkan pun, HTI bukan kemudian menggalang demo besar2an tapi langsung mengambil jalur hukum. Menggugat ke pengadilan.
Di sisi lain, HTI dan khilafah adalah dua makhluk yang berbeda. HTI sebagai ormas bisa dibubarkan oleh pemerintah melalui otoritas negara dan hukum yang berlaku, tapi khilafah sebagai ajaran Islam, sebagai ide dan gagasan sistem politik dunia dan aspirasi politik Islam untuk mencari alternatif sistem politik baru tak akan pernah mati. Maka, setelah HTI bubar, tak demikian dengan khilafah karena khilafah bukan milik HTI.
Kalau dipertentangkan, rival khilafah itu bukan NKRI tapi demokrasi. Mempertentangkan NKRI dengan khilafah itu tak sebanding. Yang satu sistem politik regional (nasionalisme), satu lagi sistem politik global (internasionalisme). Sebagaimana sistem khilafah dulu membawahi negara-negara Muslim, demokrasi juga membawahi negara-negara bangsa.
Bedanya, internasionalisme khilafah dikonsolidasikan oleh institusi yang solid dan terpusat, internasionalisme demokrasi dikonsolidasikan oleh nilai-nilai. Tetapi keduanya adalah sistem politik dunia yang ke depannya mungkin akan terus bersaing.
Demokrasi faktanya masih kuat seiring masih hegemoniknya Barat atas dunia Islam walaupun sekarang berada dalam krisis. Karena banyak yang kompatibelnya dengan Islam, suatu saat di dunia Islam, mungkin demokrasi bukan tumbang seperti halnya komunisme, tapi terjadi konvergensi dengan khilafah dengan catatan dua hal:
Pertama, kondisi sejarah dan perkembangan peta politik dunia yang sudah jauh berbeda, lebih kompleks dibandingkan zaman lampau. Psikologis sosial umat juga sudah jauh berubah. Bila pun khilafah mungkin khilafah dalam bentuk dan format baru yang berbeda. Kedua, sepanjang terus diperjuangkan oleh negara-negara Muslim seiring dengan terus melemahnya hegemoni Barat. Bukan tidak mungkin. Wallahu a'lam.
Posting Komentar