MENATA KEMBALI PERCAKAPAN PUBLIK KITA DI TENGAH KEGADUHAN MASSAL

Oleh Yuana Ryan Tresna

Akhir-akhir ini, percakapan publik kian tidak menentu. Pasca aksi teror bom bunuh diri pada bulan Sya'ban, daftar mubaligh rekomendasi Kemenag, pernyataan pers BKN terkait penataan ujaran ASN, dll., telah menimbulkan kegaduhan masal di tengah-tengah masyarakat kita.


Aksi teror yang menyisakan tanda tanya kemudian narasinya didominasi monolog pemerintah (Polri) soal motif, rangkaian dan jaringan terorisme. Analisis publik tak diperkenankan. Beberapa orang yang berspekulasi dan berpendapat berbeda ditangkap polisi.

Setelah itu, terjadi teror kepada siapa saja yang dianggap bagian dari aksi terorisme secara membabi buta. Tokoh, partai dan ormas yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah termasuk Perppu Ormas (yang kemudian disahkan menjadi UU) dan draft RUU Anti Terorisme, disatukelompokkan. Mereka dianggap pendukung teroris!

Penceramah Ramadhan yang dituduh radikal didemo, diteriaki, dan digugat. Atas desakan sebagian orang tsb, akhirnya beberapa penceramah dicoret dari daftar. 

Terbitlah daftar 200 mubaligh yang direkomendasikan Kementerian Agama. Pro kontra muncul. Esklasi kegaduhan naik lagi. Daftar tersebut dianggap tidak memberikan manfaat bagi publik. Publik sudah memiliki pilihan masing-masing. Publik bukan lagi anak kecil yang lugu. 

Tidak cukup dengan itu, BKN mengeluarkan pernyataan pers yang diaminkan oleh seluruh kementerian terkait kedisiplinan ASN dalam berujar. Apa itu ujaran kebencian? Masih tidak jelas alias bias. Tak dapat dibedakan antara kritik dan kebencian. Beberapa dosen PNS yang rekam jejaknya sangat baik bahkan sebagian mereka adalah seorang Professor akhirnya mulai dibidik. Padahal mereka berbicara dalam takaran akademik sebagai bentuk tanggung jawab ilmiahnya. Tetapi itu semua dianggap melawan pemerintah. 

Ala kulli hal, acak-acakannya percakapan publik kita sebenarnya terjadi karena kegaduhan sistemik. Kegaduhan yang diciptakan baik langsung atau tidak langsung. Dibelahnya keberpihakan publik menjadi "bersama kami atau bersama teroris" telah menjadikan suasana makin riuh. Alasannya, narasi publik model begitu sangat tendensius dan bias makna. 

Wacana yang dikembangkan sejak satu tahun lalu masih sama, yakni ancaman pada empat pilar. Turunannya seperti NKRI harga mati, anti-pancasila, dll. Semuanya sarat dengan kepentingan politik dan tak pernah bisa dibuktikan. Dicabutnya BHP HTI masih menyisakan tanya besar: apa sebenarnya kesalahan HTI? Pada akhirnya wacana diarahkan untuk menampilkan gambaran yang menakutkan terhadap ide khilafah dan framing jahat bahwa HTI kelompok terlarang.

Khilafah sebagai ajaran Islam kemudian dinista, mulai dari yang halus sampai yang kasar. Mulai dari anggapan bahwa khilafah tidak ada dalam al-Qur'an, hanya ijtihad ulama, hingga yang paling kasar bahwa khilafah adalah ideologi sesat. 

Semua tuduhan dungu pada ajaran khilafah itu pada akhirnya hanya menjadi sebuah bunuh diri intelektual. Konsepsi khilafah sudah terlampau mapan. Landasan normatif (al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat), historis dan empirik makin meneguhkan bahwa khilafah adalah ajaran Islam. 

Banyak intelektual waras yang sudah mulai berbicara lantang karena muak dengan ketidakadilan yang nampak begitu demonstratif. Sebagian mereka juga ada yang memilih untuk diam sembari berdzikir kritis dan melafalkan wirid perlawanan pada ketidakadilan. Perkara ini secara empirik saya jumpai di keseharian pergaulan dengan mereka. 

Kelompok yang anti toleransi, memecah belah umat, menyuarakan tuduhan-tuduhan palsu dan anti pada formalisasi syariah Islam adalah itu-itu juga. Sangat minoritas, tetapi ditopang oleh infrastruktur yang lengkap. 

Tak akan bernilai menuduh orang lain anti-pancasila jika dia sendiri menggadaikan pancasila untuk kepentingan komprador; menodai ketuhanan, menimbulkan pergaulan yang tidak beradab, memecah belah bangsa, mengeluarkan kebijakan diktator dan represif, dan lebih mengutamakan kepentingan asing ketimbang rakyat sendiri. Tak bernilai teriak NKRI harga mati jika dia sendiri membiarkan Indonesia ini makin dalam dijajah oleh asing, signal disintegrasi dibiarkan, dan pada saat yang bersamaan ceramah-ceramah agama oleh orang yang disebut berpaham radikal diburu. Retorika semacam ini hanya akan menjadi pepesan kosong. 

Ini persis seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini. Mereka yang anti-pancasila hakikatnya adalah orang yang sok pancasilais, orang yang lantang teriak pancasila tapi melacurkan pancasila, orang yang pandai menuduh orang lain anti-pancasila tapi kelakuannya anti-pancasila, dan orang yang mulutnya teriak bhineka tapi tidak siap menerima perbedaan, yang mengeruk kekayaan negeri, yang mengkorup uang negara, elit politik yang fasih bicara pancasila tapi korupsi uang rakyat.

Pepatah Arab mengatakan, “lisanul hal ablaghu min lisanil maqal”, artinya perbuatan lebih mengena daripada bahasa lidah (ucapan). Maksudnya, ketika bahasa tubuh kita mampu menerjemahkan kecintaan pada negeri ini, kita tidak perlu lagi kata-kata untuk menjelaskannya. Penjelasan bahasa tubuh (aktivitas dan pengabdian) kita itu sudah cukup mewakili penjelasan lidah.

Sebaliknya, ketika bahasa tubuh kita menerjemahkan sikap yang buruk dan merugikan negeri ini, maka sebanyak apapun kata-kata indah yang kita ucapkan tidak akan mampu meyakinkan orang lain, apalagi mengubahnya.

Ini juga penting dipahami oleh para da’i, yaitu penyeru kepada Islam. Sebab, objek dakwah selalu melihat penyerunya. Kalau sikap dan keberpihakan baik, maka masyarakat akan dengan mudah menerima ajakannya, bahkan tidak jarang timbul simpati sebelum ajakan itu dimulai. 

Sepanjang sejarah, para ulama telah mencurahkan jerih payah mereka ketika berkhidmat pada ilmu dan umat. 

Riuhnya percakapan publik kita hari ini tetap harus disikapi dengan dewasa. Diantara penataan percakapan kita adalah sebagai berikut:

1. Katakan yang baik atau diam. Katakan Islam dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Karena itu adalah identitas seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Jika tidak, maka diam lebih baik. 

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. Perkataan yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.”

2. Tidak menyebar informasi yang belum jelas kebenarannya. Setiap berita hendaknya diverifikasi sumbernya dan para pembawa beritanya, sehingga tidak mudah menyampaikan apapun yang didengar. 

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim). 

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits di atas menyatakan, “Seseorang bisa dikatakan berdusta, karena berita yang didengar bisa jadi ditambah-tambah. Adapun makna hadits dan atsar yang ada dalam bab ini berisi peringatan membicarakan setiap apa yang didengar oleh manusia. Karena yang didengar bisa jadi benar, bisa jadi dusta. Itulah kebiasaan yang terjadi di tengah-tengah kita. Jika seseorang menceritakan setiap apa yang ia dengar, maka ia telah berdusta karena memberitakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.”

3. Tidak berujar yang mengandung kata-kata kotor, fitnah dan kebencian pada SARA. Dakwah itu nasihat. Dakwah itu perbaikan. Dakwah juga merupakan wujud cinta. Jadi dengan sesama muslim tetap wajib menjaga lisan yang baik, menjaga persatuan dan tidak melakukan adu domba.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

ﺃَﻻَ ﺃُﻧَﺒِّﺌُﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻌَﻀْﻪُ ﻫِﻰَ ﺍﻟﻨَّﻤِﻴﻤَﺔُ ﺍﻟْﻘَﺎﻟَﺔُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ 
“Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu ? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia.”(HR. Muslim)

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa namimah bertujuan merusak hubungan manusia. Beliau berkata, “Para ulama menjelaskan namimah adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka.”

4. Tetap menumbuhkan sikap kritis pada kebijakan pemerintah. Suasana bermasyarakat dan bernegara yang memilukan ini harus terus mendorong semangat dakwah. Termasuk mengoreksi penguasa atas kebijakannya yang zhalim. 

Agama adalah nasihat. Begitulah hadits ketujuh dari Hadits Arbain An-Nawawiyyah,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim) 

Sebagaimana kata al-Khatthabi rahimahullah,

النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيرِ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ
“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 1/219)

Diantara bentuk nasihat itu adalah kepada para penguasa. Wujud nasihat adalah melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa).

5. Mengetahui rambu-rambu norma yang ada. Hal ini juga penting agar dakwah tetap berjalan dengan baik dan perjuangan terus bisa dilanjutkan. 

Akhirnya, saya hendak menegaskan bahwa umat Islam khususnya para pejuang Islam tak boleh kehilangan nalar kritisnya. Yakinlah bahwa upaya pembungkaman suara kebenaran itu hanya akan berakhir sia-sia. Tetap istiqamah dalam melanjutkan perjuangan!

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget