Oleh: Nasrudin Joha
Pagi itu Rusdi tiada mendapati hari yang damai, hati yang tenang, jiwa yang lapang. Rusdi diteror dengan berbagai tekanan dan biaya hidup yang tinggi. Bagi Rusdi, penambahan biaya hidup tidak menjadi soal, asal penghasilan hidup juga bertambah.
Yang membuat hatinya gundah, jiwanya risau, seluruh kebutuhan hidup merangkak naik, bahkan ada yang langsung meloncat naik. Sementara pekerjaan serabutannya, tak lagi memberikan hasil pas-pasan, selalu kurang-kurangan.
Teror pertama, pagi itu Token listriknya berteriak dan membentak, lolongannya meraung-raung. Top up lima hari yang lalu sudah tidak mampu menopang kebutuhan listrik keluarga. Nyawa listrik, menjadi begitu pendek.
Top up yang biasa menyambung nyawa hingga satu bulan, kini nyaris satu minggu sekali harus binasa. Teriakan Token itu masih belum diabaikan, apa daya gaji dari memperbaiki jamban terang belum juga dibayar, Rusdi memahami sang tetangga juga belum mendapat uang, sejak awal akadnya akan di bayar tanggal baru.
Belum lekang suara Token, anak Rusdi yang menginjak bangku SMP meneror pada pagi yang tidak indah. "Pak, kata Bu Guru bulan ini ada studi tambahan, studi Banding, butuh biaya 150.000 per siswa".
Teror itu membuat Rusdi pusing, ia rebahkan tubuhnya. Ia hanya mampu menganggukkan permintaan sang anak, tanpa bisa menjanjikan kapan biaya sekolah itu ditunaikan.
Istri Rusdi juga mengabarkan hal yang tidak diinginkannya. "Pak, sementara kopi kapal apinya tidak dulu ya Pak. Ibu lebih prioritaskan untuk beras dan lauk, Ramadhan ini semua harga-harga naik, kita sabar ya Pak ".
Rusdi pun hanya tertunduk, tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mungkin dirinya protes? Memaksa meminta kopi kapal api selalu terhidang, sementara dirinya tiada mampu menambah uang belanja keluarga. Padahal, dia tahu semua harga-harga kebutuhan hidup juga naik.
Belum lagi, uang bensin bulanan yang sedianya cukup sekarang menjadi berkurang. Penguasa melakukan operasi senyap, beberapa kali saat rakyatnya terlalap dalam mimpi, penguasa menaikan harga BBM.
Rusdi, juga terus termenung. Karena dia tak lagi bisa menjamin apakah akan selalu bisa berprofesi pekerja serabutan, karena sekarang banyak PHK yang membuat mereka menjadi pekerja serabutan.
Para eks PHK ini akan menyerbu bursa pasar tenaga kerja serabutan. Akan ada pertarungan hebat memperebutkan pasar kerja serabutan ini, akan ada migrasi besar-besaran pasca PHK. Apalagi, peluang kerja baru justru dikuasai TKA China.
Rusdi tak habis fikir, kemana uang yang didapat dari utang, hingga lebih dari 4000 triliun ? Lantas, setelah rakyat menjerit dicekik beban hidup, kenapa PLN masih ngeluh rugi ? BUMN yang lain melaporkan rugi ? Ini duit lari kemana ? Duit utang kemana ? Duit pajak kemana ? Hasilnya : teror kesengsaraan !
Menurut Rusdi, penguasalah dalang teror sesungguhnya. Penguasa yang gagal menentramkan rakyatnya, apalagi mensejahterakannya. Aksi koboi dar der dor, teroris tidak digubris. Rusdi, telah kebal dengan itu, tapi Rusdi tiada tahan dengan teror beban kehidupan.
Tut tut tut, lagi-lagi, teror Token listrik yang lapar mengaburkan lamunannya. Ia harus bergegas, mencari jalan keluar. Berhutang, sementaranya menjadi solusi cekak, sambil menunggu tanggal baru uang reparasi jamban dibayar oleh tetangga. [].
Posting Komentar