oleh : Moeflich Hasbullah
Islam Indonesia sekarang ini sedang menghadapi tantangan baru. Tantangan ini adalah makin heterogennya Islam Indonesia yang sudah tidak memadai lagi diwakili oleh NU dan Muhammadiyah yang selama ini diklaim sebagai Islam mainstream. NU yang berwajah tradisionalis dan Muhammadiyah (dan Persis) yang berwajah modernis.
Faktanya kini Islam Indonesia makin majemuk melampaui dua aliran konvensional itu. Gerakan berorientasi wahabi-salafi, penerapan syariat Islam, mengusung ide khilafah berkembang meluas mengisi wacana Islam Indonesia mutakhir.
Adanya gerakan Islam radikal yang diklaimkan ke FPI beserta kubunya dan gerakan Islam trans-nasional yang disimbolkan ke HTI, dengan ciri khas dan orientasinya masing-masing, yang pengikutnya jutaan di Indonesia kini semakin mendapat tempat luas di hati masyarakat. Ini adalah resiko dari keterbukaan, demokrasi, globalisasi, konflik kepentingan dan perubahan-perubahan sosial politik masyarakat.
Tentu, semuanya sah mengisi ruang publik Indonesia. Tak ada kelompok manapun yang paling berhak mengklaim Islam Indonesia harus berisi apa dan berwarna apa, semuanya berpulang kepada penghuni bangsa itu. Disitulah kepentingan dan saling berebut pengaruh bermain. Sebagai warga negara semuanya sah berkompetisi mengisi warna Islam selama tak melawan hukum dan UU.
Tren baru Islam ini tentu untuk dihadapi dan dijawab bukan untuk dibenci apalagi dimusuhi. Membenci dan memusuhi tren yang berkembang menunjukkan kelemahan. Membenci dan memusuhinya berarti menunjukkan ketakmampuan menjawab tantangan zaman itu dan membuat mereka yang dibenci akan semakin mengkonsolidasikan diri dan membuat mereka lebih kuat.
Fase gunjang-ganjing tampaknya tak terhindarkan akan terjadi selama beberapa tahun. Bila ini tak mengarah kepada chaos atau konflik horizontal, Indonesia akan selamat. Bila masing-masing tak dapat menahan diri untuk terus saling hujat dan serang, Islam Indonesia mungkin akan masuk ke sebuah tahapan baru yang tak terbayangkan seperti apa.
Semuanya kembali kepada kemampuan negara mengelola manajemen konflik horizontal masyarakat.Negara hanya akan mampu mengemban tugas ini bila benar-benar berdiri di atas semua kelompok dan golongan, adil dan proporsional menghadapi semua aspirasi.
Bila negara tak mampu mengatasinya bahkan menjadi partisan dengan berpihak pada salah satu kubu yang bertikai, itu alamat keadaan akan semakin memburuk.
Menghadapi tantangan baru di negara besar ini, Indonesia membutuhkan negarawan bukan politisi yang mementingkan kelompok, golongan dan perutnya sendiri.[]
Posting Komentar