Oleh : Mustajab alMusthafa
Diantara alasan, mengapa Pancasila tidak seharusnya disakralkan; difinalkan dan dihargamatikan, adalah sebagai berikut.
Pertama, sejak kelahirannya sudah mengalami perubahan dalam rumusan-rumusan sila-silanya. Rumusan Bung Karno berubah di tangan Panitia Sembilan yang beliau sebagai ketuanya dengan menghasilkan Piagam Jakarta. Kemudian Piagam Jakarta pun yang disepakati anggota BPUKI 16 Juli 1945 berubah rumusannya di tangan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kedua, implementasinya juga berbeda-beda oleh masing-masing penguasa. Dimasa Bung Karno memimpin negara, yang nota bene penggagas awal istilah beserta rumusan Pancasila, menempatkan komunisme sebagai berkesesuaian Pancasila. Pak Harto berbeda lagi, Komunisme ditetapkan sebagai bertentangan dengan Pancasila. Diera Reformasi, khususnya dalam kepemimpinan Pak Jokowi, Sistem Pemerintahan Islam (khilafah) dianggap bertentangan dengan Pancasila...
Ketiga, apa yang disebut final selama ini oleh sementara pihak seperti UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika ternyata pada faktanya mengalami perubahan. UUD 1945 telah mengalami Amandemen 4 kali. NKRI juga mengalami perubahan wilayah, dimana diawal kemerdekaan tidak meliputi Papua (Irian Jaya) dan Timur-Timur kemudian digabungkan, lalu Timur-Timur lepas dan menjadi negara sendiri. Bentuk kesatuan pun pernah berubah menjadi serikat kemudian kembali lagi menjadi kesatuan. Sistem presidensil pun pernah diganti dengan sistem parlementer. Adapun Bhineka Tunggal Ika, maka secara substansi keragaman yang ada bersifat dinamis. Buktinya jenis agama yang diakui pemerintah berubah yang sebelumnya tidak mengakui Konghucu lalu diakui. Bisa saja ke depan jenis-jenis keragaman itu berkembang dan terakomodasi. Jadi hal itu menunjukkan adanya dinamika atau perubahan dari apa yang disebut sementara pihak sebagai final.
Tinggal Pancasila yang belum mengalami perubahan sejak 18 Agustus 1945. Namun jika diperhatikan seksama sistem politik dan ketatanegaraan yang ada, di saat Pancasila ditempatkan dalam kotak kaca yang terkunci, difinalkan dan disakralkan serta tidak boleh digugat apalagi dirubah, semua hirarki hukum di bawahnya justru mengalami perubahan. UUD 1945 berubah melalui amandeman yang sudah 4 kali, UU telah mengalami banyak penambahan dan perubahan, demikian pula peraturan yang dibawahnya. Dalam kenyataannya, peraturan-peraturan itulah yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan bernegara.
Ketika Pancasila disebut sebagai rumusan yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri maka berbeda halnya UUD 1945 dan Perundang-undangan lainnya justru banyak merujuk pada hukum dari luar, khususnya Eropa. Sistem demokrasi misalnya, yang merupakan sistem politik yang digunakan adalah sistem politik Barat atau bersumber dari pemikiran politik Barat. Perundangan-undangan juga demikian, seperti sistem hukum pidana dan perdata serta hukum beracara atau sistem peradilan, merupakan adopsi dari sistem hukum/peradilan Belanda yang telah diterapkan selama penjajahannya di negeri ini. Salah satu contohnya adalah KUHP yang berlaku hingga sekarang adalah KUHP Kolonial Belanda. Demikian pula perundang-undangan lainnya banyak merujuk pada undang-undang negara lain, khususnya Barat yang diadopsi oleh penguasa baik langsung melalui kunjungan studi banding maupun melalui naskah-naskah hukum yang didapatkan dalam berbagai dokumen dan buku-buku. Bahkan banyak perjanjian-perjanjian internasional yang diratifikasi (diadopsi) menjadi undang-undang negara.
Dengan demikian finalisasi dan sakralisasi Pancasila untuk tidak dikritisi apalagi untuk dirubah atau diganti, justru tidak berpengaruh terhadap kehidupan politik negara selama ini. Corak politik banyak dipengaruhi oleh kecenderungan ideologi politik pihak yang berkuasa.
Jika di era kepemimpinan Sukarno, kebijakan-kebijakan politik lebih bercorak demokrasi-sosialisme/komunisme, di era Suharto lebih bercorak demokrasi-kapitalisme. Pada era pasca-reformasi kebijakan politik cenderung lebih liberal, demokrasi liberal. Tapi anehnya, semua mengklaim kepemimpinan mereka sesuai Pancasila.
Atas dasar itu, dalam perspektif politik, dasar negara juga memungkinkan untuk berubah. Itu tergantung dari situasi politik, adanya aspirasi masyarakat dan respon pemegang kekuasaan. Politik itu serba memungkinkan dan bersifat dinamis. Jadi untuk apa menfinalkan sesuatu yang bisa berubah? Bahwa sesuatu telah lahir dan dianggap sakti, bukan berarti tak bisa binasa. Betul kan? [mm]
Posting Komentar