Oleh : Agus Trisa
"Suatu transfromasi enggak cukup hanya 5 tahun, ketika periodesasi maksimal 10 tahun. Saya rasa sangat fair kita beri kesempatan beliau (Presiden Jokowi) untuk kembali melanjutkan," ucap Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Gubernur NTB yang digadang-gadang sebagai sosok calon pemimpin umat, seperti dikutip dari liputan6.com.
Pernyataan TGB ini menunjukkan bahwa sosok yang didambakan umat Islam sebagai salah satu tokoh Islam di masa depan ternyata memiliki sikap politik yang justru bertentangan dengan sikap politik kebanyakan umat Islam di Indonesia yang mengharapkan #2019GantiPresiden. Adanya sikap TGB yang mempersilakan Presiden Jokowi untuk dua periode, seharusnya membuka mata umat Islam di Indonesia, bahwa demokrasi menjadi akar permasalahannya.
Demokrasi memang merupakan sistem politik yang menginginkan untuk meminimalisir segala bentuk peran agama di ranah sosial (publik). Maka, tidak heran jika banyak politisi saat ini menyatakan bahwa, “Ini sudah bukan zamannya politik aliran. Ini saatnya kita bersatu membangun bangsa.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa clash antara yang haq dan yang bathil hendaknya harus disingkirkan.
Padahal, saat ini umat sedang tinggi-tingginya dalam merespon nuansa keislaman yang ada di hadapan mereka. Tidak terkecuali fenomena sosok TGB yang merupakan seorang penghafal al-Quran yang menjadi gubernur di NTB. Tetapi apa daya, TGB sepertinya tidak berbeda dengan politisi pada umumnya, bahwa era politik aliran sudah berakhir. Pertarungan antara yang haq dan yang bathil sepertinya tidak perlu diungkit-ungkit. Beliau malah menyatakan sikap mendukung Presiden Jokowi dua periode, yang notabene diusung oleh partai-partai nasionalis-sekuler. Tentu hal ini akan berakibat pada kekecewaan di hati umat.
Tetapi memang begitulah cara demokrasi bekerja. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang melepaskan peran agama dalam penerapannya. Demokrasi mengharuskan para pemegang aturan agama untuk melepaskan aturan-aturan beragama dalam perkara yang menyangkut urusan sosial, baik sosial politik, sosial budaya, dan sebagainya. Ketika sebagian umat Islam berusaha untuk mewarnai demokrasi dengan Islam, maka hal itu dipastikan akan berakhir dengan kegagalan. Sebab, memang begitulah cara kerja demokrasi. Meminimalisir atau bahkan menghilangkan peran agama dalam kehidupan sosial.
Karena memperjuangkan Islam menjadi hal yang mustahil, maka harus tetap harus ada usaha untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Maka perubahan sosial ini yang paling banter diperjuangkan hanyalah “perbaikan” saja, entah itu perbaikan politik, perbaikan masyarakat, perbaikan budaya, atau yang lainnya. Dan istilah “perbaikan” ini adalah istilah yang umum. Artinya, istilah ini bisa juga digunakan oleh orang dengan berbagai latar belakang ideologi, bisa orang yang berideologi Islam, sosialis-komunis, atau liberal-sekuler. Sehingga ketika perjuangan umat Islam hanya mencukupkan pada “perbaikan” saja, itu sudah tidak lagi Islam, karena tidak jelas perbaikan atas dasar Islam atau selain Islam.
Berdasarkan hal tersebut, maka umat harus muhasabah diri, jangan sampai mereka menjadi umat yang tertipu. Jangan sampai umat masih mengharapkan pemilu atau pilkada sebagai ajang pertarungan antara yang haq dengan yang bathil, sedangkan para ‘jagoan’ mereka sudah tidak memandang pemilu atau pilkada sebagai ajang pertarungan antara yang haq dan yang bathil. Melainkan hanyalah perlombaan semata. Berlomba untuk menjadi penguasa. Jadi, jangan sampai tertipu!
Posting Komentar