Oleh: Nasrudin Joha
Tidak aneh, wajar, lumrah dan sangat biasa, jika seseorang pindah haluan, lompat pagar, menjadi kutu loncat, berubah keberpihakan dalam sistem demokrasi. Bahkan, menjadi penjilat dan Ngibulin pun, dianggap langkah politik yang realistis. Kenapa ? Karena demokrasi itu asasnya pragmatisme.
Seseorang akan konsisten selalu berjalan diatas kepentingan "kemaslahatan (baca: pragmatisme)". Pindah haluan, mengambil jalan memutar, atau pindah kapal sepanjang untuk merealisir 'kemaslahatan' dianggap sah dan legal dalam sistem demokrasi.
Meski, untuk meraih kemaslahatan itu orang harus jilat ludah, jadi mesin pengepel, menjadi tempe setelah paginya karib berwujud kedele, dan seterusnya. Illatnya maslahat. Jika ada maslahat maka kepentingan itu ada, jika tidak ada maslahat kepentingan itu hilang. Politik mengikuti kepentingan, ada dan tiadanya. Jika kepentingan ada dia ada, jika kepentingan tidak ada dia hilang.
Kepentingan dimaksud bisa jadi untuk meraih maslahat tertentu atau untuk menghindari mudharat tertentu. Baik maslahat politik, kekuasaan, dukungan, atau yang semisalnya. Baik kemudharatan dari tekanan politik, ancaman kasus, dibuli dan diasingkan, atau yang semisalnya.
Bagi yang sudah fasih tabiat politik dalam demokrasi, tidak akan heran kenapa TGB memberi dukungan kepada Jokowi dengan menyebut jokowi tdk cukup menjabat 5 tahun. Apalagi, dukungan ini meluncur setelah sebelumnya santer TGB dikabarkan dikejar kasus. Barter politik itu biasa, menukar ayam agar tak kehilangan bebek itu umum.
Yang kasihan itu para Fans Pentaklid Buta. Yang sibuk dukung ini itu untuk tahun ini tahun itu. Yang cekak pandangan dan pendek akal memahami demokrasi dan kepemimpinan. Yang melihat pemimpin sekedar beragama Islam, atau bahkan cukup hafal Qur'an, tetapi tidak mendalami sistem kepemimpinan apa yang diterapkan.
Dalam demokrasi itu yang berdaulat Sekulerisme, pragmatisme, bukan syariat Islam. Sia-sia saja Anda berjibaku mendukung penguasa Islam jika tidak menerapkan sistem Islam. Coba baca baik-baik kesimpulan dibawah ini, perhatikan tiap hurufnya :
Pertama, betapapun pemimpin terpilih itu Islam, rajin sholat, puasa sunnah, baca Qur'an, tetapi jika tidak menerapkan syariat Islam dalam mengatur negara, tetap konsisten menerapkan sekulerisme demokrasi, maka pemimpin model ini tetap dihukumi pemimpin zalim. Sebab, Allah SWT telah menetapkan barang siapa menerapkan hukum selain hukum Allah maka mereka terkategori zalim.
Kedua, betapapun pemimpin Islam dalam sistem sekuler ini memberi maslahat tetapi mudharatnya jauh lebih besar. Sebab, secuil kemaslahatan dunia yang dihasilkan pemimpin dalam sistem sekuler, itu tidak ada nilainya dibanding terlantarnya hukum Allah SWT.
Ketiga, bahaya pemimpin Islam dalam sistem sekuler justru meneguhkan kekuasaan sekuler, sistem mendapat legitimasi karena ditopang tokoh Islam. Alhasil, alih-alih menerapkan sistem Islam, pemimpin model ini justru akan melanggengkan sekulerisme demokrasi.
Keempat, pemimpin Islam dalam sistem sekuler akan menimbulkan berbagai kekecewaan, karena banyaknya pemimpin tidak konsisten, pragmatis. Hal ini, akan berbahaya bagi umat terhadap dua hal. Pertama, akan menjauhkan umat dari hakekat politik yang sebenarnya. Kedua, akan memberikan pembenaran pada perilaku politik pragmatis, munafik, culas, Isuk dele sore tempe.
Kelima, model penerapan Islam dalam bingkai sekulerisme demokrasi justru akan menjauhkan umat pada gambaran utuh penerapan Islam secara kaffah. Kanalisasi ini, juga akan menghambat arus kebangkitan Islam politik yang hakiki, yakni dengan tegaknya sistem Khilafah Ar Rasyidah yang kedua.
Kiranya, tulisan ini semoga bisa menggugah siapapun generasi umat, yang tersesat di belantara politik demokrasi. Semoga, putra terbaik umat segera sadar dan kembali ke pangkuan Islam, seraya mencampakkan sistem busuk demokrasi. [].
Posting Komentar