TUNTUTAN PECAT WIRANTO & KONFLIK HANURA 'AMBHARA VS MANHATTAN'


Oleh: Nasrudin Joha 

Tidak heboh, biasa saja, jika partai terbelah hanya karena urusan jabatan. Partai, memang dibentuk untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Jika internal partai ada friksi terkait jabatan, itu lumrah.

Seperti kabar terakhir, Hanura Minta Jokowi Pecat Wiranto Sebagai Menko Polhukam. Wiranto dituding telah melakukan intervensi terhadap keputusan KPU saat menggelar Rakortas pada 5 Juli 2018. 

Data Sipol yang telah sah diverifikasi oleh KPU diubah. Padahal untuk mengubah data kepengurusan partai di Sipol, harus dengan usulan dan persetujuan ketua umum yang sah.

Data itu penting, terkait pengurusan Parpol, bisa berimplikasi rekomendasi  Caleg dan Cakada yang diusung, untuk menarik mahar (seperti tudingan yang diarahkan ke OSO), bisa berimplikasi siapa dapat kekuasan dan siapa yang hanya jadi penonton. Jadi wajar jika ada yang meradang.

Wiranto sendiri, sampai tulisan ini diterbitkan, menurut hemat penulis tidak membuat _up date_ langkah signifikan untuk menyelamatkan partai, sejak konflik terbuka menyeruak antara kubu Ambhara dan kubu Manhattan. Bahkan, penulis ragu apakah Wiranto mampu menyusuri jejak ARB yang mampu meredam konflik dan meletakan jabatan ketum Golkar dengan penuh wibawa.

Meskipun, kasus Papah Kejedok tiang listrik menyebabkan Novanto hengkang dari ketum Golkar, tetapi skenario peralihan kekuasan Golkar dari ARB ke Novanto, dinilai cantik. Termasuk peralihan ke Airlangga, mulus.

Akan halnya Hanura, berbeda jauh. Hanura posisinya kecil, tidak sebesar Golkar. Pola penyelesaian konflik oleh Wiranto, juga jauh dan kalah cantik dengan cara yang ditempuh ARB.

Kasihan kader Hanura, menderita sekali nasib mereka. Ditengah elektabilitas partai yang makin sumir, konflik seputar kekuasaan partai masih juga belum reda. Sebab, kekuasaan partai adalah kunci untuk meraih kekuasaan pemerintahan. Sementara, partai menghimpun kader untuk meraih kekuasaan.

Maka wajar dan realistis, jika Moeldoko mengambil opsi mundur dan ingin berkonsentrasi di tugas barunya bersama Jokowi. Frasa 'ingin berkonsentrasi' hanyalah bantalan empuk, untuk mundur dari Hanura agar tidak terimbas getah kutukan dari konflik Ambhara dan Manhattan.

Kembali pada Wiranto, selain 'prestasinya' membubarkan jamah dakwah Islam, nampaknya dia juga akan menambah prestasi sebagai "pendiri sekaligus penutup" partai besutannya. Jika dilihat kalkulasi, kader akan mengambil opsi lompat pagar ketimbang berusaha menegakkan benang kusut.

Jika SK BHP gerakan dakwah dicabut maka aktivitasnya tidak akan berhenti, karena dakwah dorongan akidah bukan atas kekuatan legitimasi SK BHP. Sementara partai, jika SK tidak keluar, atau SK keluar untuk kepengurusan yang lain, habis sudah.

Tanpa SK partai tidak mungkin bisa meraih kuasa, demikianlah yang dialami Hanura. Perebutan SK hakekatnya perebutan kekuasan. Meskipun, setelah menang merebut kekuasaan partai belum tentu Hanura mampu mengambil kekuasaan pemerintahan. Sebab, Hanura itu kecil, menjadi lebih kecil pasca konflik. [].

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget