Oleh: Nasrudin Joha
Sekarang ngaNU tidak punya hijab lagi, seluruh borok dan kemunafikan ngaNU di buka dan ditelanjangi dihadapan publik. Aib yang Allah SWT tutupi, atas kehendak Allah SWT melalui perantaraan lisan profesor sosmed, semua diungkap, nyaris tidak tersisa.
Bagi sebagian kalangan awam menduga Prof Sosmed telah memaafkan Jokowi, tidak kecewa dengan keputusan Jokowi, yang secara sepihak tiba-tiba mengganti posisi cawapres. Tidak bagi awam, tidak pula bagi orang berpendidikan, dikhianati pada detik akhir setelah segalanya diketahui publik tentu sangat menyakitkan.
Tetapi bagi awam, pukulan balik itu hantam kromo. Dilakukan 'asal' yang penting dapat melampiaskan kekesalan. Tidak demikian bagi profesor sosmed, dia berpendidikan, satu pukulan maksudnya pukulan kepada keseluruhannya.
Untuk melukai hati seseorang Anda cukup menampar mukanya, tidak perlu merobek dada dan mencongkel hatinya. Sebab, muka adalah Marwah jiwa, tamparan muka sama saja melukai hati dan sanubari.
Demikian pula apa yang dilakukan profesor sosmed, progresif BPIP. Dia hanya membuka aib petinggi ngaNU, bagaimana ngaNU dimanfaatkan untuk mengambil alih posisi profesor sosmed. Namun, pukulan kepada ngaNU dan dua petinggi partai yang diklaim berasal dari ngaNU, berdampak berat bagi Jokowi.
Sudah tercerai berai benang rajutan Jokowi yang ingin merajut kain tenun Islam untuk pakaian kebesaran. Luluh lantai elektabilitas Jokowi, yang diharapkan tertolong setelan dibungkus jubah agama dan topeng sorban kesalehan.
Pukulan profesor sosmed bukan menghancurkan bola, tapi telah meluluhlantakkan lapangan futsalnya. Busuk dan boroknya demokrasi yang sebelumnya seperti kentut, bau tapi tidak diakui pelaku, kini terbuka lebar tanpa tedeng aling-aling.
Publik menjadi semakin yakin, bahwa para Brahmana yang menjual fatwa, ternyata juga tidak kalah durjana dengan politisi kebanyakan. Tabiat rakus, raja tega, saling sikut dan hantam, saling tikam, menjadi tontotan yang tegas dan dipermaklumkan.
NgaNU kehabisan Marwah, kehilangan wibawa. Jokowi, tak lagi bisa mengantungi legitimasi suara umat Islam dengan dalih telah didukung ngaNU.
Pukulan profesor sosmed, telah memporak-porandakan semua strategi dan rencana pemenangan Jokowi. Alih-alih mendapat simpati dan menjalin hubungan hangat dengan umat Islam, balada ngaNU ini akan membuat elektabilitas Jokowi semakin ambruk.
Profesor sosmed juga telah pasang badan, siap bertarung memertahankan serangan. Secara politik, serangan profesor sosmed tidak bisa dilawan. Semakin dilawan, ngaNU akan semakin tenggelam dan ditinggalkan. Didiamkan, akan menjadi pembenaran. Simalakama.
Sebagai seorang pemimpin, Jokowi telah sempurna menunjukan kelemahan dan berada dibawah kendali dan tekanan. Menghadapi cecunguk politik dalam negeri saja tidak berdaya, apalagi menghadapi intervensi asing dan aseng ?
Bagi umat Islam, cukup sudah realitas politik ini, cukup sudah membangun argumentasi untuk menunjukan betapa bobroknya sistem politik demokrasi. Kaum bersorban pun, menjadi korban sekaligus aktor politik tanpa moral, politik machiavelli, politik kekuasaan yang mengabaikan nilai etika dan agama.
Sudah saatnya, umat kembali kepada politik Islam yang murni, yang bervisi menegakan syariat Islam secara kaffah. Tidak perlu tambahan alasan, untuk segera dan serta merta membuang sistem demokrasi liberal dan sekuler ke keranjang sampah peradaban. [].
Sekarang ngaNU tidak punya hijab lagi, seluruh borok dan kemunafikan ngaNU di buka dan ditelanjangi dihadapan publik. Aib yang Allah SWT tutupi, atas kehendak Allah SWT melalui perantaraan lisan profesor sosmed, semua diungkap, nyaris tidak tersisa.
Bagi sebagian kalangan awam menduga Prof Sosmed telah memaafkan Jokowi, tidak kecewa dengan keputusan Jokowi, yang secara sepihak tiba-tiba mengganti posisi cawapres. Tidak bagi awam, tidak pula bagi orang berpendidikan, dikhianati pada detik akhir setelah segalanya diketahui publik tentu sangat menyakitkan.
Tetapi bagi awam, pukulan balik itu hantam kromo. Dilakukan 'asal' yang penting dapat melampiaskan kekesalan. Tidak demikian bagi profesor sosmed, dia berpendidikan, satu pukulan maksudnya pukulan kepada keseluruhannya.
Untuk melukai hati seseorang Anda cukup menampar mukanya, tidak perlu merobek dada dan mencongkel hatinya. Sebab, muka adalah Marwah jiwa, tamparan muka sama saja melukai hati dan sanubari.
Demikian pula apa yang dilakukan profesor sosmed, progresif BPIP. Dia hanya membuka aib petinggi ngaNU, bagaimana ngaNU dimanfaatkan untuk mengambil alih posisi profesor sosmed. Namun, pukulan kepada ngaNU dan dua petinggi partai yang diklaim berasal dari ngaNU, berdampak berat bagi Jokowi.
Sudah tercerai berai benang rajutan Jokowi yang ingin merajut kain tenun Islam untuk pakaian kebesaran. Luluh lantai elektabilitas Jokowi, yang diharapkan tertolong setelan dibungkus jubah agama dan topeng sorban kesalehan.
Pukulan profesor sosmed bukan menghancurkan bola, tapi telah meluluhlantakkan lapangan futsalnya. Busuk dan boroknya demokrasi yang sebelumnya seperti kentut, bau tapi tidak diakui pelaku, kini terbuka lebar tanpa tedeng aling-aling.
Publik menjadi semakin yakin, bahwa para Brahmana yang menjual fatwa, ternyata juga tidak kalah durjana dengan politisi kebanyakan. Tabiat rakus, raja tega, saling sikut dan hantam, saling tikam, menjadi tontotan yang tegas dan dipermaklumkan.
NgaNU kehabisan Marwah, kehilangan wibawa. Jokowi, tak lagi bisa mengantungi legitimasi suara umat Islam dengan dalih telah didukung ngaNU.
Pukulan profesor sosmed, telah memporak-porandakan semua strategi dan rencana pemenangan Jokowi. Alih-alih mendapat simpati dan menjalin hubungan hangat dengan umat Islam, balada ngaNU ini akan membuat elektabilitas Jokowi semakin ambruk.
Profesor sosmed juga telah pasang badan, siap bertarung memertahankan serangan. Secara politik, serangan profesor sosmed tidak bisa dilawan. Semakin dilawan, ngaNU akan semakin tenggelam dan ditinggalkan. Didiamkan, akan menjadi pembenaran. Simalakama.
Sebagai seorang pemimpin, Jokowi telah sempurna menunjukan kelemahan dan berada dibawah kendali dan tekanan. Menghadapi cecunguk politik dalam negeri saja tidak berdaya, apalagi menghadapi intervensi asing dan aseng ?
Bagi umat Islam, cukup sudah realitas politik ini, cukup sudah membangun argumentasi untuk menunjukan betapa bobroknya sistem politik demokrasi. Kaum bersorban pun, menjadi korban sekaligus aktor politik tanpa moral, politik machiavelli, politik kekuasaan yang mengabaikan nilai etika dan agama.
Sudah saatnya, umat kembali kepada politik Islam yang murni, yang bervisi menegakan syariat Islam secara kaffah. Tidak perlu tambahan alasan, untuk segera dan serta merta membuang sistem demokrasi liberal dan sekuler ke keranjang sampah peradaban. [].
Posting Komentar