REFERENDUM PAPUA MERDEKA DALAM PRESPEKTIF FIQH ISLAM

REFERENDUM PAPUA MERDEKA DALAM PRESPEKTIF FIQH ISLAM

Oleh: Ibnu Abdissalam

A. PENDAHULUAN

Beberapa hari terkahir Papua memanas dan telah memakan cukup banyak korban serta mengakibatkan kerugian material yang cukup besar; beberapa fasilitas publik luluh lantak. Tuntutan mereka satu: Merdeka! 

Papua sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI) adalah sebuah fakta politik yang telah beberapa dekade terjadi. Dan kini Papua berkeinginan untuk melepaskan diri dan berdiri sendiri sebagai negara, alias merdeka. 

Pada tulisan ini, saya tidak ingin larut membicarakan apa sebanarnya penyebab utama gejolak referendum ini; siapa yang terlibat; apakah di belakangnya ada sekenario negera-negara besar, khususnya Amerika? Apakah ini siklus dua puluh tahunan yang telah ditetapkan, mengingat kita tahu bahwa wilayah berdekatan sudah dua puluh tahun lalu lepas dari NKRI? Apakah Papua akan menemui gilirannya menyusul Timor Leste? Ya, bukan itu semua yang akan kita bicara dalam tulisan singkat ini. Biarlah semua topik ini menjadi perbincangan panas di luar sana. Kita hanya akan membahas dari prespektif fiqh; bagaimana sebenarnya Referendum Papua Merdeka dalam kaca mata fiqh Islam? 

B. TIGA POIN PENTING

Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus terlebih dulu dikemukakan tentang tiga poin Persatuan Negeri-negeri Islam. 

POIN PERTAMA

Sebagaimana kita ketahui, dalam pandangan Islam, dalam kondisi idealnya, seluruh wilayah kaum Muslim wajib berada di bawah satu kekuasaan tunggal, yaitu Khilafah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ulama fiqh, berdasarkan dalil-dalil syara’ yang sharih. Bahkan, al-Mawardi menegaskan keganjilan (syadz) pandangan yang membolehkan terjadinya ta’addud (berbilangnya) kepemimpinan kaum Muslim, meski dengan alasan luas dan jauhnya wilayah (al-Ahkam as-Sulthaniiyah: hal. 9). Hal ini kemudian ditegaskan oleh an-Nawawi, di mana beliau menilainya sebagai pendapat yang rusak karena berseberangan dengan keketapan para ulama salaf, khalaf, dan makna eksplisit banyak hadits. (Syarah Shahih Muslim, juz VIII/40-41).  

POIN KEDUA

Dalam sejarah tercatat ada beberapa peristiwa politik yang berkaitan dengan pemisahan atau keterpisahan sebagian wilayah kaum Muslim dari kekuasaan Khilafah. 

Dalam hal ini terdapat tiga keadaan. Keadaan pertama, satu wilayah melepas bai’at (taat) kepada khalifah dengan asas bahwa kekuasan khalifah tidak berlaku di wilayah tersebut dan sebagai implikasinya dibentuk sebuah Negara yang berdiri sendiri yang tidak berada di bawah kekuasaan Khalifah. 

Keadaan kedua, suatu wilayah melepas bai’at (taat) kepada Khalifah secara total dan mengadakan gerakan massa serta menjadikan wilayah tersebut sebagai titik sentral gerakan menggabungkan berbagai wilayah di bawah kekuasaan yang baru.

Keadaan ketiga, satu wilayah tidak bermaksud melepaskan ketaatan kepada Khalifah, akan tetapi di wilayah tersebut terjadi perebutan kekuasaan oleh seorang tertentu dengan kekuatannya dan tidak dapat dikontrol oleh Khalifah, namun wilayah tersebut masih mengakui sebagai bagian dari wilayah kesatuan Negara Khilafah. 

POIN KETIGA

Apa yang akan di urai pada poin ketiga ini adalah apa yang terjadi di era modern (pasca runtuhnya Khilafah Islam). Dalam hal ini ada tiga bentuk. 

Bentuk Pertama, terjadi revolusi rakyat di satu wilayah dari wilayah kekuasaan Negara tegak di Dunia Islam, dengan maksud melakukan sparatisme dan pemisahan diri dari Negara Induk (asal) serta mendirikan negara yang berdiri sendiri dengan institusinya sendiri.  Pada bentuk yang pertama ini, biasanya Negara Induk akan mengerahkan kekuasan bersenjata untuk memadamkan revolusi tersebut dan membekuk para pemimpinnya. Dalam hal ini tidak jarang terjadi pertempuran anata kedua belah pihak. Pihak berperang demi mempertahankan kesatuan wilayahnya, sedangkan mereka bermaksud memperoleh kemerdekannya. Barangkali GAM (gerakan aceh merdeka) beberapa tahun silam, dan apa yang hari terjadi di Papua saat ini, merupakan salah satu contohnya. 

Bentuk Kedua, terjadinya revolusi rakyat di satu wilayah dari sebuah Negara, di mana wilayah tersebut berhasil meraih kemerdekaan dan mendirikan Negara yang berdiri sendiri tanpa melalui pertumpahan darah, atau sebelumnya sempat terjadi pertumpahan darah. Barangkali peristiwa lepasnya wilayah Timor Leste menjadi salah satu contoh bagi bentuk kedua ini.

Bentuk Ketiga, sepertinya bentuk ini belum pernah terjadi, yaitu adanya sebuah negera –dari negara-negara di Dunia Islam  - yang merebut wilayah kekuasaan dari negara lain –yang juga merupakan negara yang ada di Dunia Islam – dengan menggunakan kekuatan bersenjata dalam skala tertentu dengan maksud ingin menggabungkannya menjadi satu negara. 

C. PRESPEKTIF FIQH ISLAM 

Berkenaan dengan prespektif fiqh Islam terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 

Pertama,  tiga keadaan yang dikemukakan pada poin kedua, hukumnya telah dikemukakan para fuqaha’ klasik. Mereka telah menjelaskan cukup panjang di dalam kitab-kitab mereka, di mana dengan mentelaah kitab-kitab mereka, dapat kita sarikan bahwa; keadaan pertama dan kedua dapat dikategorikan sebagai gerakan baghy, para pelakunya disebut sebagai bughat. Dalam hal ini hukum Islam jelas: Mereka harus diperangi jika tidak dapat dapat dihentikan dari upayanya dengan cara-cara damai (lihat: as-Syirazi, al-Muhadzdzab, juz II, hal. 218 dan 220. Ad-Dardir, as-Syarh al-Kabir, Juz IV, hal. 299. Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 17-20),. 

Adapun keadaan ketiga, di mana terdapat seorang yang merebut kekuasaan dan berada di luar kontrol Khalifah, namun dia tidak menginginkan mendirikan negara yang berdiri sendiri, dia hanya menginginkan kekuasaan semata, seperti yang pernah terjadi pada masa-masa kekuasaan Abbasiah di saat-saat kelemahannya, di mana mereka pada umumnya diakui oleh Khalifah dan ditetapkan sebagai penguasa wilayah yang dikuasainya tersebut. 

Fakta politik inilah yang disebut oleh al-Mawardi dengan istilah “Imarah al-Istila’ “. (al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 33). Inilah yang membuat wilayah Negara Khilafah menjadi seperti negera-negara kecil. Seharusnya Khalifah tidak boleh gegabah membiarkan mereka, dan harus memberikan pelajaran kepada mereka; mengingat ini dapat menjadi factor penyebab disintegrasi Khilafah.

Kedua, apa yang terjadi pada era modern ini –seperti yang dikemukakan pada poin ketiga –tidak dapat dikategorikan ke dalam baghy di mana para pelakunya disebut dengan bughat.  Sebab, menurut Jumhur Fuqaha’, kategori bughat hanya dapat disematkan pada pihak-pihak yang melakukan pemberontakan dan pembangkangan terhadap Imam kaum Muslim –atau yang disebut dengan Khalifah –yang menerapkan hukum Islam. 

Mengingat hari ini tidak ada Imam dengan arti ini, maka kita tidak dapat memasukkan gerakan-gerakan sparatisme atau referendum kemerdekaan, atau pemisahan wilayah di era modern ini, sebagai bughat. 

Prespektif fiqh Islam terhadap keadaan pertama dan kedua pada poin ini dapat kita kembalikan kepada hukum asal kesatuan wilayah negeri-negeri kaum Muslim secara umum di mana hukumnya adalah wajib. Segala bentuk tajzi’ah, pembagi-bagian, pemecahan, dan pemisahan satu wilayah dari wilayah yang lain adalah sebuah pelanggaran yang diharamkan, sebagaimana nash-nash yang ada. 

Kini, saat negeri-negeri Islam telah terpecah belah menjadi banyak negara yang berdiri sendiri atas dasar kebangsaan (nation state) –yang secara syar’i pada dasarnya diharamkan –tidak boleh ada satu wilayah yang memecahdiri dan mendirikan negara lagi. Karena ini akan semakin memperparah perpecahan yang ada. Dengan kata lain, berarti menambah kemunkaran atas kemunkaran yang ada. 

Adapun bentuk yang ketiga, ketentuan fiqhnya sangat bergantung kepada fakta dua negara yang bersangkutan; apakah kedua-duanya tunduk di bawah negara penjajah tertentu (baik negara yang sama atau berbeda), atau salah satunya tidak, atau kedua-duanya tidak! Karena cukup panjangnya rincian masalah ini, saya memandang untuk menunda pembahasannya pada tulisan ini. 

Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya pelepasan Papua dari wilayah kesatuan Negara Repulik Indonesia adalah merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum syara’. Bukan karena NKRI harga mati, atau alasan-alasan yang tidak ada nilainya di mata syara’, namun karena hakikatnya dengan lepasnya Papua berarti menambah satu lagi pelanggaran terhadap hukum Islam tentang kewajiban penyatuan seluruh wilayah dan negeri-negeri kaum Muslim. 

Perlu kita ketahui  bahwa meski wilayah-wilayah di Indonesia –juga negara negara yang lain yang ada di dunia Islam –tidak dapat disebut sebagai Darul Islam, dan lebih layak disebut sebagai Darul Kufur secara istilah, namun wilayah-wilayah tersebut secara fiqh disebut dengan negeri-negeri Islam, dalam arti negeri-negeri yang menjadi tempat tinggal kaum Muslim dan di bawah kekuasaan umat Islam. 

Jika mengembalikan wilayah-wilayah tersebut ke dalam satu kekuasaan Islam (Khilafah) agar menjadi Darul Islam, adalah wajib, maka mempertahan negeri-negeri tersebut agar tetap berada di tangan kaum Muslim juga merupakan kewajiban. 

Jika persatuan wilayah dan negeri-negeri kaum Muslim di bawah satu Khilafah adalah wajib, maka semua bentuk pemisahan atau perpecahan dengan berdirinya negara sendiri yang mengakibatkan akan semakin banyak dan semakin parahnya keterpecahan wilayah kaum Muslim adalah haram. Wallah a’lam. 

Bumi Allah
21/08/19

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget