Wahyudi al Maroky
(Dir. Pamong Institute)
Tak salah jika bulan ini disebut “September Ceria”. Sebuah prestasi luar biasa telah diukir oleh rezim Jokowi bersama DPR di bulan ini. Hanya perlu waktu 13 hari dan 5 kali rapat, Rezim Jokowi dan DPR RI yang dihadiri 80 dari 560 anggotanya telah merevisi UU 30/2002 tentang KPK.
Ini sebuah prestasi luar biasa. Silakan bandingkan betapa banyak RUU yang sudah masuk prolegnas berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya belum selesai juga. Namun Revisi UU KPK ini begitu cepat Luar biasa.
Meski banyak pihak yang mempertanyakan tentang prosedur dan substansi revisi UU KPK, namun nampaknya berlaku falsafah “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.
Argumentasi mereka merevisi UU KPK untuk memperkuat KPK itu sulit diterima dan menggangu nalar waras publik. Bagaimana mungkin poin-poin revisi itu justru melemahkan KPK tapi mereka bilang memperkuat KPK?
Dengan revisi UU KPK yang begitu cepat dan terkesan dipaksakan, maka ada beberapa catatan penting sbb :
PERTAMA, dengan revisi UU KPK saat ini maka posisi KPK jadi lemah dan tugasnya sebagian besar sudah ditangani lembaga penegak hukum lainnya. Pemberantasan Korupsi yang menjadi masalah besar bangsa ini sebenarnya sudah melekat pada lembaga kepolisian dan kejaksaan. Padahal awal sejarah terbentuknya KPK adalah untuk memberantas korupsi dikarenakan kurang efektifnya peran dua lembaga penegak hukum yag ada saat itu.
Pertanyaannya, apakah dua lembaga penegak hukum yang ada sudah efektif sehingga KPK tidak diperlukan lagi? Atau hanya balas dendam politik karena banyak anggota DPR dan pejabat eksekutif yang digaruk KPK?
KEDUA, Revisi UU KPK dengan penambahan Kursi DEWAS (Dewan Pengawas) ini jelas akan menambah beban baru pembiayaan negara. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, penambahan jabatan baru dalam organisasi memang menjadi tantangan tersendiri. Ini dikarenakan yang membuat aturan dan menentukan penambahan jumlah jabatan atau bahkan pembentukan lembaga baru itu mereka juga.
Semangat menambah kursi Dewas pada KPK ini mirip semangatnya dengan penambahan kursi Jabatan pimpinan MPR yang menjadi 10 kursi. Bahkan bisa jadi kelak dalam penyusunan Kabinet, patut diduga akan ada penambahan kursi menteri baru atau penambahan lembaga baru yang sulit dihindarkan.
Padahal hadirnya jabatan baru, apalagi lembaga baru dalam tata negara ini termasuk pemborosan. Lebih dari itu negeri ini kian terjebak dalam pembengkakan struktur kenegaraan “elephantiasis”.
KETIGA, jika tugas dan kewenangan KPK mirip dengan lembaga penegak hukum lainnya, maka akan terjadi kerawanan tumpang tindih wewenang dan tanggungjawab antar lembaga negara. Selain itu terjadi inefisiensi dan inefektifitas dalam pengelolaan manajemen pemerintahan. Jika demikian maka sesuangguhnya keberadaan KPK menjadi tidak efektif dalam pemberantasan korupsi sebagaimana awal dibentuknya lembaga ini. Tinggal tunggu waktu saja akan ada usulan untuk digabungkan dengan lembaga lain dan selesailah kisah KPK.
Nasib KPK yang kelak hanya membebani negara, karena tugas dan kewenangannya sudah ditangani lembaga lain, sesungguhnya KPK tak diperlukan lagi. KPK yang kritis dan garang memberantas Korupsi akan bernasib seperti ormas yang kritis atau tokoh bangsa yang kritis. Betapa banyak tokoh ormas dan tokoh bangsa yang mengalami kriminalisasi di era rezim ini.
Dalam prosedur hukum, nasib KPK sangat singkat diproses. Dikeluarkan Surpres oleh Jokowi (rabu, 11/09/2019 ), lalu diproses dan disetujui oleh DPR, kemudian disahkan jadi UU yang baru hanya perlu 13 hari sejak diusulkan DPR (kamis, 05/09/2019). Pola ini mirip seperti nasib ormas HTI yang kritis terhadap kebijakan Rezim saat ini. Bedanya HTI dikeluarkan Perpu lalu disetujui DPR, kalau KPK dikeluarkan SurPres lalu diselesaikan oleh DPR. Kalau Surpres untuk revisi UU KPK hanya perlu semingguan, Perpu menjadi UU memakan waktu lebih lama.
Kita berharap ada solusi cerdas dalam memberantas korupsi. Cara yang cerdas itu dengan membangun sistem anti korupsi. Harus ada perbaikan sistem dalam pengisian jabatan publik yang memakan biaya mahal. Pesta Demokrasi yang super mahal harus segera dikoreksi dan ditinggalkan. Karena disinyalir hanya menghasilkan para politisi dan pemimpin yang berpotensi mengembalikan biaya politik dengan berbagai cara baik legal maupun kreatif dan non legal. Padalah merekalah yang menentukan Undang-undang. Mereka juga bisa menentukan jabatan baru bahkan pembentukan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kita tentu berharap negeri ini segera bersih dari korupsi. Bukan korupsi secara bersih yang dilegalkan. Mereka bilang dengan revisi UU KPK ini akan memperkuat KPK. bisa jadi Mempercepat bersih dari korupsi atau justru kian bebas korupsi. Setelah vina melantunkan “September Ceria” akankah disusul Yuni melantunkan “Desember Kelabu”? waktu juga yang akan menjawabnya.
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.