Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)
Begitu banyak publik yang mempertanyakan kenapa Puan Maharani menjadi ketua DPR RI. Ada yang mempertanyakan kapasitasnya, ada yang mempertanyakan efek terpapar kasus korupsi e-KTP, ada pula yang mempertanyakan apa prestasinya. Namun banyak juga yang memaklumi karena masalah garis keturunannya. Juga karena kendaraan partai yang digunakannya.
Dalam demokrasi semua itu adalah sah-sah saja. Namun perlu juga kita coba pahami argumentasi masing-masing pihak yang memaklumi dan mempertanyakan. Dengan begitu kita bisa obyektif memahami argumentasi masing-masing pihak lalu bisa menawarkan solusi yang tepat bagi keduanya.
PERTAMA, para pihak yang memaklumi Puan menjadi ketua DPR RI. Mereka memiliki alasan tersendiri. Argumentasi yang disuguhkan adalah terkait garis keturunannya sebagai ANAK DARI ANAK PROKLAMATOR. Ya, mbak Puan itu anak dari Megawati yang merupakan anak proklamator sekaligus presiden pertama RI. Artinya ia adalah cucu proklamator.
Apalagi ibunya mbak Puan itu selain sebagai anak proklamator juga pernah menjabat sebagai wakil presiden yang kemudian dilantik jadi presiden untuk melanjutkan masa jabatan presiden Gus Dur. Meski ketika mencalonkan lagi sebagai presiden, mbak Mega tak terpilih karena rakyat "emoh" dan lebih suka dengan sosok SBY.
Sampai disini kita bisa memahami dan memaklumi argumentasi tersebut. Meski tetap ada pertanyaan, jika argumentasinya masalah garis keturunan berarti ini mirip kerajaan donk? Namun itu bisa dijelaskan bahwa ini sudah melalui proses pesta demokrasi yang memakan biaya tak murah dan banyak pengorbanan kita. Ada lebih 25 Trilyun negara keluar biaya pesta demokrasi, ini 15 kali lebih mahal dari pesta pernihakan Pangeran Charles dan Lady Diana. Bahkan ada lebih 500 orang KPPS yang jadi korban jiwa dan korban lainnya. Betapa mahal biaya yang kita keluarkan untuk sebuah pesta demokrasi dan inilah hasil akhirnya.
Selain argumentasi garis keturunan, bisa juga pahami dengan kendaraan partai yang digunakan. Meski orang akan mempertanyakan apakah tidak ada kader PDIP yang lebih baik lagi? Pertanyaan ini akan bisa dengan cepat dijelaskan dengan argumentasi pertama, bahwa hal itu tentu sudah dipertimbangkan dan dipilih dengan cermat oleh Ketua Umum Partai.
Pada akhirnya orang akan memahami bahwa ini adalah penugasan dari Ketua Umum. Sang ketum pasti sudah menilai dan mengkaji kadernya dalam waktu yang sangat lama. Tentu sang Ketua Umum lebih paham tentang hal itu. Meski sebagian publik tetap menilai sebagai praktek demokrasi rasa otokrasi.
KEDUA, memahami pihak yang mempertanyakan prestasi dan kapasitasnya. Dalam demokrasi tentu sah-sah saja mempertanyakan pimpinan lembaga legislatif yang merupakan wakil dari rakyat tersebut. Rakyat berhak mempertanyakan pimpinan lembaga wakil mereka. Bagaimana kapasitas dan rekam jejaknya serta apa saja prestasi yang pernah diukirnya.
Dalam hal ini memang sebagian rakyat belum mendapatkan gambaran dengan jelas daftar rekam jejak prestasinya. Bahkan ada sebagian rakyat yang mempertanyakan terkait ada indikasi terpapar kasus korupsi e-KTP. Publik belum mendapatkan argumentasi yang menentramkan jiwa dan melapangkan dada mereka. Namun untuk sementara bisa dipahami dengan penjelasan argumentasi pertama.
Sebagai rakyat, mereka sudah melaksanakan haknya mengikuti pesta demokrasi. Mereka sudah bergembira dengan pesta yang menelan biaya lebih 25 trilyun plus korban jiwa ratusan petugas KPPS serta jutaan emak-emak militan yang korban perasaan dalam pesta itu.
Kini giliran wakil rakyat terpilih yang bergembira. Ya, nampak mereka sangat bergembira saat pelantikan, apalagi mbak Puan tentu sangat bergembira dan bahagia karena ia dilantik sebagai Ketua DPR. Tak kalah gembiranya tentu emak dari mbak Puan yaitu Megawati.
Ibu siapa yang tak gembira dan bahagia melihat anaknya dilantik jadi pejabat publik, sebagai Ketua DPR. Saking gembiranya sampai-sampai diduga ia terlewat jabat tangan dengan AHY dan Surya Paloh. Padahal sesama kolega partai politik satu koalisi pengusung capres 01 yang lalu.
Ya, itulah wajah demokrasi, tak ada KAWAN abadi dan tak ada LAWAN abadi, yang ada KEPENTINGAN abadi. Hari ini boleh saja jadi kawan, besok bisa jadi lawan dan atau sebaliknya. Hari ini kepentingan mereka sama maka bisa jadi kawan. Jika esok hari berganti dan kepentingan berbeda maka bisa jadi musuh yang membahayakan.
Begitulah cerminan para politisi dalam negara demokrasi. Mereka dituntut bisa menjadi musuh kawan sendiri. Dituntut berwajah manis meski sedang berdusta terhadap sesama kawan dan lawan politik. Politisi dituntut tersenyum meski sedang marah besar. Dituntut pandai berjanji sekaligus mengingkari. Dituntut bisa segera melupakan meski baru saja diucapkan. Dan dituntut pandai membuat janji baru untuk menutupi janji yang lama.
Tentu kita ingin negeri ini menjadi lebih baik. Dengan cerminan politik saat ini dapat dipahami negeri ini kian terlilit demokrasi liberal. Oleh karenanya semua anak negeri membuka diri mencari berbagai solusi bersama. Negara memberikan ruang yang seluasnya untuk berdialog dengan semua komponen anak negeri. Dialog antar sesama anak negeri ini yang bisa membangun pemahaman dan mencari solusi terbaik.
Tak boleh alergi terhadap berbagai tawaran solusi apalagi mengkriminalisasi sesama anak negeri yang menawarkan solusi. Cukup sudah korban kekerasan kepada mahasiswa, ulama, dosen, dan aktifis lainnya. Gunakan potensi mereka untuk kemajuan negeri ini. Semoga tak ada lagi konflik dan kriminalisasi sehingga negeri ini segera bangkit.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
Posting Komentar