Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
Saya tidak mau subjektif dalam hal ini. Antara NU, Muhammadiyah dan HTI, siapa di antara mereka yang paling berilmu? tentu ini akan menjadi pertanyaan yang memancing ta'ashub bagi orang-orang yang emosional dan berpenyakit di dalam hatinya. Dari manapun Kelompoknya.
Mereka akan menjadi orang yang pertamakali mengangkat tangan, manakala ditanyakan kepada mereka; "siapa yang paling pintar di antara kita?." Pengagungan mereka kepada kelompoknya sangat berlebihan, dan pencelaan mereka kepada selain golongannya pun sangat keterlaluan. Na'uudzubillaah.
Saya sendiri adalah keturunan NU lahir dan batin. Ketika pergaulan saya masih terbatas hanya dengan orang-orang NU, guru-guru saya pun semua NU, saya melihat bahwa hanya kiai-kiai NU'lah yang hebat. Selain ulama-ulama NU tidak ada yang mengerti kitab kuning, nahwu-shorof dan lain sebagainya.
Setiap kali saya mendengar kata 'ulama' yang terbersit dalam pikiran saya hanyalah kiai-kiai NU, yang lain tidak ada ulamanya, yang lain hanya bermodalkan kitab-kitab terjemah sebagai referensi dakwahnya. Itulah anggapan saya sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Tetapi, setelah saya membuka diri dalam pergaulan, saya bertemu dengan ustadz-ustadz dari Muhamadiyah dan Persis, diluar dugaan saya, ternyata mereka pun jago-jago baca kitabnya, paham juga teori-teori nahwu-shorofnya. Ketika saya bertemu dengan ustadz-ustadz HTI pun sama, mereka hebat-hebat qiroatul kutubnya, pintar-pintar juga ilmu alatnya.
Saya baru sadar, ternyata bukan hanya kiai-kiai NU yang bisa membaca kitab, ulama-ulama dari kelompok lain pun banyak yang handal dalam hal itu. Adapun seandainya di Muhamadiyah, Persis maupun HTI ada orang yang tidak mudeng moco kitab, itu hal biasa, di NU pun sama, ada orang-orang yang tidak ngerti moco kitab, tidak semua orang NU bisa membaca kitab kuning.
Mulai dari situlah saya menyadari, bahwa secara keilmuan ternyata semuanya hebat. Sehingga tidak boleh ada lagi yang membusungkan dada dengan kelompoknya, menganggap dirinya paling hebat, yang lain tidak, kelompoknyalah yang ahli surga, yang lain neraka.
Setelah paham dengan kenyataan itu, bagi pribadi yang sudah mencapai tingkatan makrifat pasti akan coba terus mencari tau tentang hakikat kealiman yang seorang hamba.
Dan dalam hal ini Abdullah Ibnu Mas'ud ra. pernah menyatakan, bahwa
لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ
"Ilmu itu bukan berupa banyak'nya riwayat (pemahaman dalil-dalil agama), akan tetapi ilmu adalah rasa takut (khasyah)."
Ternyata itulah hal yang paling utama. Orang yang alim bukanlah orang yang paling banyak hafalan dalil-dalil agamanya, apalagi sekedar banyak titel dan gelarnya, orang yang alim adalah mereka yang dengan ilmunya semakin menjadikan ia takut kepada Allah 'Azzawajalla, yang dengan itu ia semakin tunduk dan patuh terhadap syariat-syariat Allah Yang Mahakuasa.
Ia tidak takut dengan cibiran manusia sekalipun itu penguasa. Yang ia takuti hanyalah Allah Sang Maha Pencipta. Itulah ulama yang sesungguhnya.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
"Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-hambaNya adalah mereka dari kalangan ulama," (Qs. Fathir: 28).
MaasyaaAllah
#KhilafahAjaranIslam
#ReturnTheKhilafah
Cirebon, 24 Juli 2018
Posting Komentar