Oleh : Nasrudin Joha
lama tak menampakan batang hidungnya, akhirnya Abdullah Mahmud (AM) Hendropriyono bicara soal demo yang ramai beberapa saat yang lalu. Hendro, bicara disaat yang 'tepat' bukan ketika demo itu masih berlangsung masif.
Hendropriyono Minta memproses hukum siapapun yang menjadi Pengganggu Pelantikan Jokowi. Narasi yang dibangun, yang demo mau ganggu pelantikan, jadi Hendro minta dihentikan.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini juga meminta polisi jangan pandang bulu menangkap dalang kerusuhan. Apalagi bagi oknum-oknum yang ingin menggagalkan pelantikan presiden.
Hehehe, kelakuan politisi di negeri ini memang unik, manuvernya halus, tapi motif dan kepentingannya kasat mata dan mudah terendus. Kalau ada narasi menggagalkan pelantikan, mungkin maksudnya 'jangan dilantik kalau komposisi pembagian kekuasaan belum adil'.
Mereka yang merasa punya saham besar dari suara parpol jangan sombong. Meski barisan kelompok kepentingan tak punya suara, atau partainya tergerus oleh hukum besi parlementiary treshold, tapi jangan di tinggalkan mereka untuk urusan bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri.
Kalau kuenya tidak adil cara memotong dan membaginya, stabilitas negara bisa terkoyak. Apa yang nampak itu baru proposal, jika diabaikan renstra kedua akan dilanjutkan.
Namun, nampaknya di tataran elit saat ini telah ada kesetimbangan politik. Telah ditemukan 'rumus kesepahaman' untuk membagi jatah kursi, membagi jatah menteri.
Sementara 'gencatan senjata dulu' ya ansk-anak sampai terjadi realisasi komitmen pasca pelantikan. Jika cara memotong dan membagi kue pasca pelantikan Presiden keluar dari 'Gentlement Agreement' yang telah disepakati, maka 'perang kota' akan dilanjutkan.
Bagi partai pemenang, memang sulit membagi kue ini, apalagi setelah banyak mitra merapat dan memberi andil dalam memenangkan kontestasi. Sampai-sampai, salah satu ormas pun tak malu minta jatah kaplingan menteri secara vulgar, jalur khusus diluar jalur partai.
Beberapa riak-riak kerakusan mitra yang merongrong minta jatah menteri, dapat diselesaikan dengan pendekatan kasus. Pasca salah satu Sekjen ormas dipanggil dalam kasus korupsi, wirid ormas ini dapat dihentikan, tidak lagi berkoar-koar minta jatah menteri lagi.
Namun, untuk kelompok kepentingan, yang menguasai anggaran dan jaringan intelejen, yang merupakan kumpulan 'ahli strategi dan ahli perang', mereka yang pernah menggunakan seragam loreng, jelas tak bisa ditundukan dengan pendekatan kasus. Mereka ini, mau tak mau harus diberi jatah, walau harus mengiris daging sendiri.
Geng 'intelejen' dan geng 'mantan jenderal' tentu tak mau dianaktirikan setelah berjibaku membantu proses pemenangan kontestasi. 'Perang sipil' kecil ini hanya proposal, jika masa 'gencatan senjata' tidak menghasilkan kesetimbangan politik yang menguntungkan, atau apabila pasca pelantikan Presiden pembagian kue dirasa tidak adil, maka 'anak-anak' akan digerakan kembali untuk menyalakan misi 'perang kota'.
Hehehe, sudah dulu ya anak-anak. Ga usah demo lagi. Sampai pelantikan, jangan ada pergerakan. Tunggu komando selanjutnya. Yang kemarin itu okelah, lumayan untuk bahan negosiasi.
Begitulah, bagi politisi tak penting mengorbankan darah rakyat. Asal tujuan tercapai, semua cara dipandang halal. Jadi, jika Anda masih Istiqomah berjibaku dengan politik culas demokrasi, berarti Anda juga yang termasuk 'ijma' menghalalkan darah rakyat sebagai tumbal. [].
Posting Komentar