Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. | Ketua LBH PELITA UMAT | Presiden ILF
Pada awalnya, Divisi Kajian dan Data LBH PELITA UMAT bersama pengurus telah memutuskan untuk mengadakan diskusi ILF pada Ahad, tanggal 13 Oktober 2019 dengan tema 'Presiden Mengundurkan diri dalam tinjauan konstitusi'. Namun, setelah kami mendapat masukan dan melihat perkembangan penanganan demonstrasi mahasiswa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, kami akhirnya sepakat mengganti tema diskusi menjadi 'PENANGANAN DEMONSTRASI OLEH APARAT DALAM TINJAUAN KONSTITUSI'.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak AsasiManusia. Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, barbangsa, dan bernegara.
Secara khusus, untuk menjamin dan melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat(1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, negara telah membentuk UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan pendapat dimuka umum. Bahkan, Kepolisian Republik Indonesia secara teknis telah menerbitkan Perkap No. 7 tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan penanganan perkara menyampaikan pendapat dimuka umum.
Bentuk kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum termasuk tetapi tidak terbatas pada unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, mimbar bebas, penyampaian ekspresi secara lisan, aksi diam, aksi teatrikal, dan isyarat, penyampaian pendapat dengan alat peraga, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, petisi, spanduk; dan kegiatan lain yang intinya bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum jelas diakui dan dijamin oleh perkap No. 7 tahun 2012.
Bahkan, saking menghargai dan menghormati pelaksanaan kegiatan menyampaikan pendapat dimuka umum, dalam pasal 9 perkap dimaksud, dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, pejabat Polri berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan pelayanan secara profesional, menjunjung tinggi HAM, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan menyelenggarakan pengamanan.
Lebih lanjut pada pasal 28, dalam melakukan tindakan upaya paksa kepolisian wajib menghindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat.
Namun pada praktiknya, aparat kepolisian diduga bertindak menyalahi prosedur hukum dalam menangani aktivitas demonstrasi mahasiswa beberapa waktu lalu, yang menyampaikan aspirasi menolak sejumlah produk dan rencana legislasi DPR.
Penanganan demonstrasi dilakukan secara kontra produktif, antara lain tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku hingga ke masjid dan memasuki masjid tanpa membuka sepatu , membalas demonstran dengan melakukan pemukulan, menangkap dengan tindakan kekerasan, bahkan benyak beredar video viral sejumlah aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepada demonstran baik mahasiswa maupun siswa STM.
Dua mahasiswa dari Universitas Halu Oleo Kendari tewas dalam aksi yang penaganannya dilakukan oleh aparat kepolisian, puluhan dirawat dirumah sakit, dan ratusan lainnya terluka dan ditangkap oleh aparat.
Tidak hanya menjadi korban kekerasan, para demonstran yang menjalankan hak konstitusi untuk menyuarakan aspirasi juga dituding perusuh, dituding ingin menggagalkan proses pelantikan Presiden. Sementara, penindakan demo oleh aparat terlihat dipenuhi cara-cara kekerasan dan dipenuhi motif rasa kebencian kepada demonstran.
Bagaimanakah tinjauan konstitusi dalam menjalankan hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat ? Apakah ada kekeliruan dari aparat penegak hukum dalam melakukan Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan penanganan perkara menyampaikan pendapat dimuka umum ?
Selamat berdiskusi. [].
Posting Komentar