Mensikapi kenaikan harga dari sisi individu dan penguasa

Secara individual, ketika harga-harga melambung, apapun penyebab melambungnya, seorang muslim tidak boleh terguncang jiwanya, keyakinannya bahwa Allahlah yang memberi rizki dan menentukan segala sesuatu tidak boleh luntur, juga tidak layak mengeluhkan hal ini kepada manusia.
Salamah bin Dinar (w. 140 H) pernah ditanya:
يا أبا حازم أما ترى قد غَلَا السِعْرُ
“wahai Abu Hâzim[1], tidakkah engkau perhatikan bahwa harga-harga melambung tinggi?"
Maka beliau menjawab:
وما يُغِمُّكم من ذلك؟ إن الذي يرزقُنا في الرُخْصِ هو الذي يرزقنا في الغَلاء
“Lalu apa yang membuat engkau galau dengan hal tersebut? Sesungguhnya Yang Memberi Rizki kepada kita saat harga turun, Dia pula yang memberi rizki kepada kita saat harga-harga naik” (Ibn 
‘Asâkir, Târikh Dimasyq, 22/60)

Itu dari sisi i’tiqad tentang rizki, adapun dari sisi syari’at perlu dibedakan, jika melambungnya harga karena sebab pertama, yakni faktor “alami” seperti kemarau panjang dll, maka kita dituntut untuk bersabar dan memperbanyak istighfar, karena bisa jadi ada kemaksiyatan yang tersembunyi di masyarakat yang mencegah turunnya berkah.
Namun jika melambungnya harga disebabkan pengabaian terhadap hukum-hukum syari’ah, dan itu terlihat secara kasat mata di masyarakat, maka tidak cukup disikapi dengan diam bersabar dan beristighfar saja. Penguasa harus bertanggung jawab atas hal ini, juga harus mencegah agar hal tersebut tidak terjadi. Rasulullah saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikâr). Khalifah Umar bahkan melarang siapa saja yang tidak mengerti hukum-hukum syara (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak faham maka mereka dilarang berbisnis.
Berbeda halnya jika pelaku kemaksiyatan itu justru penguasa, mereka mengabaikan hukum syara’, lalu menggantinya dengan “ayat-ayat” kapitalis, menghilangkan subsidi karena subsidi itu hukum asalnya ‘haram’ menurut konsep kapitalis, maka masyarakat harus mengambil peran untuk meluruskan hal tersebut.
Ketika khalifah Mu’awiyah berkhutbah pasca pencabutan pemberian (subsdi) kepada masyarakat, dan beliau berkata dalam dari atas mimbarnya isma’û wa athî’û (dengarlah oleh kalian dan taatilah), mendengar itu maka berdirilah Abu Muslim seraya berkata: Lâ sam’a wa lâ thô’ata yâ Mu’âwiyah (tidak (wajib) mendengar dan ta’at hai Mu’awiyah). Muawiyah bertanya: “mengapa wahai Abu Muslim?”, maka Abu Muslim menjawab:
كَيْفَ تَمْنَعُ الْعَطَا وَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ كَدِّكَ وَلا كَدِّ أَبِيكَ وَلا مِنْ كَدِّ أُمِّك؟
“bagaimana engkau bisa menyetop subsidi, padahal dia bukan hasil kerja engkau, bukan hasil kerja bapakmu, bukan pula hasil kerja ibumu?” …. akhirnya Muawiyah sadar dan tidak jadi menghentikan subsidi tersebut. (Mawâridudh Dham’ân Li Durûsiz Zaman, 4/117)[2]

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget