Dalam sebuah perjalanan seorang wartawan senior dari Jawa Timur menuju Jawa Tengah, mampir di sebuah warung yang hanya diterangi dengan lampu teplok. Pencahayaannya hanya melik-melik (remang-remang). Sang wartawan bertanya ,”Mbok, kok lampunya pake teplok, emang gak ada listrik?” Si Mbok tukang warungnya menjawab ,”Listriknya sudah oglangan (padam) tiga hari Mas.” Wartawan bertanya lagi ,”Lho emang gak lapor ke PLN Mbok?” Si Mbok nya menjawab ,”walah Mas, ini sudah mending, biasanya 7 hari mati listrik.. ini kan baru 3 hari Mas...”
Gubrak..! He.. he.. he.. ternyata mati listrik 3 hari buat Si Mbok tukang warung tidak menjadi masalah. Pastinya Si Mbok nya tak akan protes ke PLN karena tidak merasa ada masalah. Ya memang masing-masing pihak akan memiliki tingkat kepekaan terhadap masalah yang berbeda-beda.
Tingkat kepekaan terhadap masalah dapat ditentukan oleh pengalaman masa lalu, persepsi yang mendominasi sudut pandang maupun prinsip hidup yang diyakini.
Indonesia telah mengalami penjajahan Belanda 350 tahun, penjajahan Jepang 3,5 tahun dan penguasaan kapitalisme global sampai detik ini. Rakyat terbiasa mengurus dirinya sendiri tanpa peran pemerintah yang maksimal. Rakyat sudah terbiasa prihatin dengan kondisi, apatis terhadap perubahan sosial, apolitis terhadap peran negara yang selama ini abai.
Ya mungkin kondisi ini menyebabkan rakyat terbiasa “nrimo” dan tentunya menjadi tantangan pada tingkat kepekaan terhadap masalah bangsa serta arah perubahan.
Tetapi pada perkembangannya di Indonesia muncul generasi milenium. Generasi ini diperkirakan lahir mendekati tahun 1980 sampai dengan 1995. Mereka adalah generasi yang melek dunia digital dan menjadi pemasok bonus demografi yang dimiliki Indonesia pada tahun-tahun ini. Mereka menjadi penguat kelas menengah di Indonesia.
Perkembangan social media menjadi alternatif generasi milenium untuk memperoleh dan saling bertukar informasi. Sebelum era digital, media mainstream menjadi satu-satunya cara memperoleh informasi. Selama ini media mainstream sangat mudah membentuk opini publik sesuai perspektifnya masing-masing. Tetapi setelah perkembangan social media menyebabkan masyarakat terutama generasi milenium tak mudah “dijajah” dan “diintervensi” opini publik yang dibuat media mainstream.
Aksi massa umat Islam dengan nama Aksi Bela Islam I pada tanggal 4 November 2016 dan Aksi Bela Islam II pada tanggal 2 Desember 2016 membuktikan bahwa tingkat kepekaan umat Islam di Indonesia pada masalah mengalami peningkatan. Semangat untuk menghukum penista agama Islam, hastag #TangkapPenjarakanAhok menjadi penyatu dan penggerak semangat umat Islam untuk aksi di jalan. Jutaan massa turun dengan tertib dan aman untuk menyuarakan tuntutan kaum muslimin Indonesia. Semua ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh social media dan generasi milenium.
Ini adalah secercah harapan untuk menghidupkan semangat perubahan yang mungkin selama ini telah mati suri.
HIDUP PERJUANGAN.......!!!
HIDUP IDEOLOGI ISLAM.......!!!
24012017
Fanspage FB : Agung Wisnuwardana
Twitter : @MasAgungWIsnu
Posting Komentar