Setelah pidatonya, beberapa media baik TV maupun cetak memuji bahwa Megawati sedang mengingatkan bangsa kita tentang nasionalisme, tentang bagaimana hidup berbangsa, tentang spirit kebhinekaan.
Padahal banyak bagian dari pidatonya yang rancu. Saya kutipkan satu contoh kalimat dari pidatonya:
“Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memposisikan dirinya sebagai self-fulfilling prophecy”, para peramal masa depan”.
Kata “Self-fulfilling prophecy”, oleh Eyang Mega, dimaknai sebagai “para peramal masa depan”.
Mbah uti emang lucu. Kata “prophecy” memang bisa berarti ‘ramalan’. Tapi kata ‘Self-fulfilling prophecy, memiliki makna sendiri.
Istilah ‘self-fulfilling prophecy’ dipopulerkan oleh seorang sosiolog Amerika, Robert K. Merton tahun 1948 yang maknanya: “believing something strongly enough will make it come true because you are consciously and subconsciously acting in ways that will encourage it to happen”.
Intinya, jika Anda yakin bahwa sesuatu akan terjadi, maka sesuatu itu akan benar-benar terjadi. Banyak para pakar pengembangan sumber daya manusia yang kemudian memanfaatkan konsepnya Merton untuk memberi motivasi. Norman Vincent Peale, misalnya, menyodorkan pentingnya memiliki ‘positive thinking’. “Kalau Anda berpikir bisa maka Anda bisa”, katanya.
Konsep ‘self-fulfilling prophecy’ nya Merton sebenarnya dipinjam dari konsep yang sebelumnya dikenalkan oleh William I. Thomas yang mengatakan: “If men define situations as real, they are real in their consequences”.
So, Eyang mega telah salah kaprah. Maunya mungkin mau bilang “orang-orang yang memproklamirkan diri sebaga peramal”. Terus agar tampak keren lalu menggunakan ‘self-fulfilling prophecy”. Jebul salah. Duuuh !
Tapi mungkin tekt pidato itu dibuat oleh orang lain. Berarti pembuat text itu yang ‘error’. Tapi kalau Eyang Mega ngerti makna sebenarnya, ia seharusnya bisa mengoreksi kesalahannya. Jadi?
Ah udahlah!
Ada lagi bagian pidato Eyang Uti yang bikin merongos. Ini dia:
“ Mereka (maksudnya mungkin para ulama) dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya”.
Hehe, ini juga lucu. Kalau penggunaan istilah ‘self-fulfilling prophecy’ tadi kesalahan terminologis, kalau yang ini kesalahan paradigmatis alias gagal paham dalam memahami posisi kemuslimannya.
Dalam agama Islam, dan saya kira juga agama-agama lain, kepercayaan kepada alam ghaib dan nubuat-nubuat (ramalan yang akan terjadi masa depan) memiliki posisi sentral dalam bangunan teologisnya. Kalau orang Islam yang bener pasti percaya alam kubur, akhirat, hari pengadilan, jembatan sirathal mustaqim, surga dan neraka. Tanpa melihat dengan mata kepala terlebih dulu setiap muslim ya wajib percaya pada alam ghaib. “Kalau mau tahu alam kubur ya setelah kelar hidup loe, baru tahu tuh alam kubur!”, kata temen saya.
Cobalah sekali-kali Eyang Uti buka Quran. Lihat surat Al Baqarah (2-3): “Kitab ini tidak ada keraguan padanya: petunjuk bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib….” Nah bahkan dalam ayat ini keimanan kita kepada alam ghaib merupakan indikator yang pertama bagi orang yang bertakwa.
Kalau Eyang Mega menyangsikan alam ghaib karena belum pernah melihat, saya malah jadi deg-degan. Kita tahu, keraguan tentang adanya alam ghaib adalah spirit para ‘agnostik’ dan orang-orang ateis di Barat. Si Richard Dawkins, pentholannya ilmuwan ateis, dalam bukunya “The God Delusion” beranggapan baha Tuhan itu tidak ada dan kepercayaan terhadap Tuhan itu sebuah delusi, kepalsuan.
Jangan-jangan, karena belum pernah melihat Tuhan kita juga akan diajari untuk tidak percaya Tuhan?
Hellooooooo ???!!!
Melbourne, 15/1/2017
[MRA]
Posting Komentar