GUBENUR AL-HAJJAJ DAN PELAJARAN UNTUK PENGUASA DURJA

KH. Hafidz Abdurrahman, MA.:

Sejarah Khilafah juga sejarah manusia. Meski sistem Islam diturunkan oleh Allah, dan berisi peradaban yang tinggi dan luhur, tetapi manusia tetaplah manusia. Sekalipun dia adalah pemangku kekuasaan yang dibangun di atas peradaban yang tinggi dan luhur. Karena tabiaat dasar manusia tidak ada yang sempurna, apalagi maksum. Itulah mengapa di dalam sejarah Islam, sekalipun faktor human error juga selalu ada. Salah satunya tampak pada kisah al-Hajjaj, Gubenur Irak dan Hijaz, di zaman Khilafah ‘Umayyah.

Al-Hajjaj ibn Yusuf, bukan gubenur biasa. Dia adalah orang yang ‘alim, lagi faqih. Tetapi, sekali lagi, keilmuan dan kefaqihan adalah satu aspek yang terkait dengan akliah, sedangkan cara bertindak dalam membangun kekuasaannya adalah sisi lain, yang terkait dengan masalah nafsiah. Itulah mengapa, hasilnya tidak selalu paralel. Orang yang alim dan faqih belum tentu kealiman dan kefaqihannya diamalkan. Karena mengamalkan keilmuan dan kefaqihan adalah sisi lain, yang berbeda.

Al-Hajjaj dikenal sebagai penguasa yang sangat kuat, kejam dan menindas di Irak dan Hijaz. Bani Umayyah sendiri seolah tak bisa berkutik menghadapi kekejaman dan kejahatannya,  seolah dibiarkan. Ibn al-Atsir dalam kitabnya, al-Kamil fi at-Tarikh menuturkan, bahwa jumlah yang dibunuhnya mencapai 120.000 orang; belum termasuk 80.000 yang mati karena dipenjara olehnya.

Semua karena pemaksaannya agar masyarakat tunduk pada kuasa Daulah ‘Umayyah; tak boleh ada yang bertanya, memberi masukan, nasehat, kritik, apalagi bersikap oposisi. Sudah pasti tidak ada. Di antara korban keganasannya yang paling masyhur, adalah seorang sahabat junior, ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhuma. Akhir hayatnya dibunuh oleh al-Hajjat, setelah Masjidil Haram yang menjadi benteng pertahanan ‘Abdullah bin Zubair dikepung dan di-manjaniq oleh al-Hajjat.

Selain kisah ‘Abdullah bin Zubair, ada kisah yang juga tidak kalah heroiknya. Kisah yang mempertontonkan kekejaman al-Hajjaj terhadap murid sahabat Ibn ‘Abbas, yaitu Sa’id bin Jubair. Sa’id yang mewarisi keilmuan ‘Abdullah bin ‘Abbas, sekaligus murid kesayangannya itu pun akhirnya mati disebelih oleh al-Hajjaj. Tetapi, yang menarik adalah kisah beliau, dan bagaimana pelajaran yang diambil al-Hajjaj setelah wafatnya ulama’ luar biasa ini.

Sa’id bin Jubair, ulama’, murid kesayangan Ibn ‘Abbas boleh dibilang merupakan penutup kejahatan al-Hajjaj. Setelah ditangkap oleh al-Hajjaj, al-Hajjaj bertanya, “Siapa namamu?” Beliau menjawab, “Sa’id ibn Jubair (orang bahagia; putra orang jaya).” Ditimpali oleh al-Hajjaj, “Tidak”. Lanjutnya, “Namamu Saqi ibn Kusair (orang celaka anak orang hancur)!” Jawab Sa’id, “Ibuku lebih tahu siapa namaku!”, timpal Sa’id.

Kemudian al-Hajjaj bertanya tentang Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin. Al-Hajjaj berharap Sa’id menjelekkan ‘Ali Karrama-Llahu wajhah, tapi beliau muliakan semua.

Ditanya tentang siapa Khalifah Bani ‘Umayyah yang terbaik, jawabnya; “Yang paling diridhai Rabbnya!” al-Hajjaj penasaran, “Siapa itu?”, kejar al-Hajjaj. “Ilmu tentang itu di sisi Allah” jawab Sa’id mengutip Quran. “Kalau tentang aku?”, tanya Al Hajjaj. “Kau lebih tahu tentang dirimu.” Lanjut al-Hajjaj,  “Aku ingin tahu pendapatmu!”, sambil mendesak. “Itu akan menyedihkanmu & mengusir kegembiraanmu”, tukas Sa’id. “Katakan saja!”, kata al-Hajjaj dengan geram. “Kau telah menyelisihi Kitabullah. Kau lakukan hal yang kauharap berwibawa karenanya; tapi ia menghinakan dan menjatuhkanmu ke neraka!”
“Demi Allah aku akan membunuhmu!”, kata Al Hajjaj. Jawab Sa’id, “Dengan itu kauhancurkan duniaku dan kuhancurkan akhiratmu,” sahutnya sambil tersenyum. “Dengan cara apa kau mau dibunuh?”, sergah Al Hajjaj. “Pilihlah untukmu; dengan cara yang sama kelak Allah membalasmu!”, jawab Sa’id. Al-Hajjaj kemudian bertanya, “Apa kau mau kuampuni?”. Sa’id pun menjawab dengan tegas, dan tak terpengaruh sedikit pun dengan pancingan al-Hajjaj, “Sesungguhnya ampunan hanya dari Allah; kau tak punya dan tak berhak atasnya!”, jawab Sa’id.
KH. Hafidz Abdurrahman, MA.:
“Prajurit! Siapkan pedang dan alas!”, perintah al-Hajjaj. Sa’id pun tetap tersenyum, tanpa rasa takut sedikitpun. “Apa yang membuatmu tertawa?”, tanya Al Hajjaj. “Aku takjub atas kelancanganmu kepada Allah dan santun-lembutnya Allah padamu”, kata Sa’id. “Prajurit, penggal dia!”, teriak Al Hajjaj. Sa’id menghadap kiblat dan membaca [QS 6: 79]: “Kuhadapkan wajahku pada Yang Mencipta langit dan bumi..” al-Hajjaj pun marah, “Palingkan dia!,” ujar Al Hajjaj.

Sa’id pun lalu membaca [QS 2: 115]: “Ke manapun kamu menghadap; di sanalah wajah Allah.” Terik al-Hajjaj, “Telungkupkan dia ke tanah!”. Maka Sa’id membaca [QS 20: 55]: “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu..” al-Hajjaj berkata, “Sembelih dia”, katanya. “Sungguh tak ada orang yang lebih kuat hafalan Qurannya dari dia!” Maka Sa’id berdoa terakhir kali..

“Ya Allah; jangan kuasakan dia atas seorangpunsesudah diriku!” Lalu beliau dibunuh. Lima belas hari kemudian, al-Hajjaj mulai demam. Sakit itu mengantarnya pada kematian. Dia terlelap sesaat lalu bangun berulang kali dalam ketakutan; “Sa’id ibn Jubair mencekikku!” Punggawanya mengadu pada Hasan al-Bashri, mohon agar beliau berkenan mendoakan sang majikan. Al-Hasan berkata, “Sudah kukatakan padanya, jangan menzhalimi para ‘Ulama!”

Menjelang sakaratul maut, doa-harapnya menakjubkan; “Ya Allah, orang-orang mengira Kau takkan mengampuniku. Sungguh buruk persangkaan mereka padaMu!” al-Hajjaj mati bakda 40 hari. ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz dan Hasan al-Bashri sujud syukur berulang kali. Kelak ‘Umar dan beberapa ‘Alim lain bermimpi, bahwa al-Hajjaj dibunuh Allah sebanyak pembunuhan yang dia lakukan; kecuali atas Sa’id ibn Jubair; Allah membalasnya dengan 70 kali.

Benar. Sungguh benar, “Hari keadilan bagi si zhalim; lebih berat daripada hari kezhaliman bagi mereka yang teraniaya.”  Begitulah, sebagaimana hadits Nabi, “Fakama tadinu tudanu [sebagaimana kamu memberi pinjaman, maka begitulah kamu akan dibayar].” Al-Hajjaj dibayar oleh Allah di dunia, sebelum di akhirat. Itulah nasib para rezim biadab, meski mereka hidup pada zaman Islam. Apalagi, ketika mereka menerapkan sistem Kufur, dan biadab lagi, tentu nasib mereka lebih tragis lagi, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam.

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget