Oleh : KH.Nasruddin, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mabda’ Al Islamiy, Semarang
Ketika seorang santri mengkaji kitab Kitab Fiqih di Pesantren, biasanya, setelah membuka Kitabnya di awal bab, ia akan di ajak bicara masalah Thaharah (bersuci) yang benar menurut Hukum Syara’.
Namun ketika ia sudah nyampai pertiga akhir dari Kitab yang ia kaji, mau tidak mau, ia secara pasti akan di ajak pengarang kitab untuk membicarakan Hukum Hudud.
Yaitu aturan yg berbicara persanksian yang di panggulkan kepada seluruh warga Negara Khilafah yang Merdeka, Mukallaf dan Berakal sehat.
Santri dari jawa barat sampai jawa timur, dari zaman kiyai Hasyim sampai titik tahun ini pasti juga masih membacanya.
Pertanyaan yang belum terjawab,
”UNTUK APA SEMUA ITU DI BACAKAN, DI PELAJARI DAN DI AJARKAN KEMBALI PADA GENERASI SANTRI BERIKUTNYA?. ATAUKAH ITU SEMUA DI LAKUKAN HANYA SEBAGAI ILMU “PENGETAHUAN”, YANG TIDAK MUNGKIN BISA DI LAKSANAKAN, DAN TIDAK PERLU DI UPAYAKAN PELAKSANAANNYA?”
Kalau benar begitu jawabnya, bukankah dogma “MU’ADDHABUN MIN QABLI UBBADIL WATSAN” (orang Alim yang tidak mengamalkan ilmunya, akan di siksa sebelum para penyembah berhala) masih juga di ajarkan? Itu artinya, di pesantren selalu di ajarkan, untuk getol mencari ilmu, dan untuk di amalkan. BUKAN UNTUK PINTER PINTERAN.
Kalau saja jawaban itu benar, lalu untuk apa Islam di datangkan di atas bumi ini?.
Bukankah Islam datang sebagai manhaj (jalan hidup) bagi seluruh manusia?. Ataukah hukum hudud tidak termasuk bagian dari hukum syara’?.
Kalau iya jawabnya, lalu kenapa ia di jadikan satu kitab dengan hukum thaharah?. Kenapa pula masih di ajarkan para kiyai kepada para santrinya.
Ketahuilah, bahwa Islam adalah sekumpulan konsep tentang keyakinan dan beberapa peraturan Allah untuk manusia dalam menyelesaikan seluruh masalah yang di lalui di sepanjang perjalananya dalam mengarungi samudra kehidupan ini.
Kalau saja konsep yang di tawarkan Allah sudah tidak di terima, lalu kemana lagi manusia akan mencari konsep solusi dari semua masalahnya?.
Perlu juga di ketahui, Islam yang tinggi dan tak ada yang melebihi tingginya ini, jadi tak berarti apa apa tanpa adanya institusi yang mengawalnya. Kalau toh ada institusi, namun tidak sesuai-contohnya Demokrasi- dengan Islam, tentu saja Islam kondisinya tetaplah terbengkelai sebagai mana saat ini.
Islam boleh hidup berkembang, namun hanya di batasi pada tataran mahdhah saja.
Islam hudud, Islam politik, Islam uqubat dan Islam ekonomi, di pangkas paksa oleh sistem pemerintahan kafir yang ada sa’at ini. Sungguh Islam adalah sekumpulan konsep kehidupan.
Tapi, apalah bagusnya konsep tanpa institusi (khilafah) yang menerapkannya. Dia-Islam- hanyalah ajaran khayali yang hanya indah di bicarakan di majlis majlis taklim, di ajarkan di pesantren, dan di pelajari di kampus-kampus Islam.
Kalau saja para santri mau bicara jujur dengan kitab yang selama ini di pelajari, tentu ia adalah manusia garda terdepan yang siap terlibat langsung pada perjuangan tegaknya institusi Islam (khilafah) ini.
Tapi, jika para santri tidak memperjuangkan institusi agung ini, maka ada beberapa kemungkinan.
1. Ia belum tahu bahwa Islam ini sepaket dengan institusinya
2. Ia takut resiko yang mungkin menimpanya; karena memang Islam politik banyak resiko.
3. Ia mulai banyak di tunggangi kepentingan dunia.
Atau alasan alasan lain yang belum ana sebutkan.
Baik, ini saya sertakan bagian kecil dari contoh kitab fikih yang masih di kaji di pesantren namun terbengkalai karena belum adanya khilafah.
Di dalam kitab “Nihaya tuzzain” pada halaman 346, Al syaih Al Allamah Muhammad Ibarahim Abi Khadhir menyampaikan hukum syara’ tentang beberapa Hukum Hudud.
باب الحدود
يجلد اي وجوبا امام او ناءبه حرا مكلفا فعلا كان او مفعولا وان كان الاخر غير مكلف زنى……ماءة ويغرب عاما ان كان الزاني
بكرا….
Artinya: seorang imam/ khalifah atau Na’ibnya wajib menjilid(mendera) seratus kali dan mengasingkan selama setahun kepada orang yang berzina -baik yang melakukan atau yang di kenai perlakuan zina, dan meskipun yang satunya belum mukallaf- mukallaf, merdeka dan masih perjaka atau gadis.
Didalam kitab tersebut, dengan jelas sekali menyebut kata “ *Imam (khalifah)* “ yang berkewajiban menegakkan hukum hudud; utamanya dalam hal ini adalah hukum jilid bagi pezina ghairu muhson. Jadi kalau sampai ada santri yang tiba-tiba menolak atau minimal tidak setuju ditegakkannya khilafah yang didalamnya ada seorang pemimpin yang bernama khalifah/imam, namun disisi lain ia tetap mengkaji kitab tersebut maka sesungguhnya sadar atau tidak sadar ia terjerembab dalam kondisi yang membingungkan di satu sisi mewajibkan tegaknya hukum syariah di sisi lain mengingkari institusinya.
Pelajaran seperti ini sampai saat ini masih selalu di bacakan para Alim kepada para santrinya. Namun, mungkinkah ini dapat di terapkan tanpa adanya Khilafah?.
Jawabnya tentu “TIDAK!!”. Kenapa?,
karena Islam tanpa khilafah ibarat software tanpa hardware. Atau ada hardware, namun tidak cocok untuk software ini.
Karenanya, dengan tulisan ini saya mengajak para kaum santri untuk ikut terlibat langsung perjuangan agung ini. Perjuangan demi tegaknya syariah di bawah naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bisshawab.
Posting Komentar