Oleh: Choirul Anam
Banyak yang mengatakan bahwa abad 15 H atau abd 21 M adalah abad kebangkitan umat Islam, setelah umat Islam mengalami keterpurukan beberapa abad terakhir ini, apalagi setelah hancurnya pemersatu dan pengayom umat, Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924. Saat ini, hampir dalam semua hal, umat Islam mengalami keterpurukan yang teramat memilukan dan menyayat hati. Umat bukan hanya dikungkung oleh kebodohan, kemiskinan dan keterpecah-belahan, kini umat Islam juga menjadi sasaran perampokan, penistaan, kebrutalan dan pembantaian. Dimana-mana, umat hidup dalam pembantaian, konflik, dan peperangan. Sungguh kondisi umat Islam ini sangat bertolak belakang dengan karakter umat Islam yang sejati, yaitu sebagai umat terbaik (khoiru ummah). Karena itu, kebangkitan umat menjadi tumpuan harapan.
Ada banyak sekali indikasi bahwa umat kini mulai sadar akan keterpurukannya, lalu menginginkan kebangkitan. Kini, umat sedang bergerak menuju kebangkitan dengan akselerasi yang mengagumkan. Memang tidak semua umat Islam menginginkan kebangkitan Islam, realitanya memang banyak yang mengaku Islam tetapi tak setuju dengan kebangkitan Islam. Namun, sesuatu yang amat menggembirakan, di negeri manapun, kini umat Islam merindukan kebangkitan dan persatuan umat, bahkan di negeri-negeri barat sekalipun.
Setelah kebangkitan menjadi harapan, ada beberapa tantangan baru yang harus dihadapi umat, yaitu tentang rumusan kebangkitan dan realisasi atas rumusan tersebut. Sederhananya, umat harus merumuskan tentang: apa yang dimaksud dengan kebangkitan? Bagaimana bentuknya? Bagaimana cara merealisasikan? Dan apa langkah-langkah yang harus dilakukan, terutama langkah awalnya? Bagaimana menyatukan umat yang jumlahnya lebih dari 1,5 milyar, yang tersebar di seluruh dunia dan memiliki banyak perbedaan madzhab? Inilah pemikiran besar umat. Dan tanpa kita sadari, berpikir tentang kondisi global umat, itu merupakan karakter umat Islam pada masa lampau.
Diakui bahwa dalam merumuskan kebangkitan dan tahapannya ini telah terjadi perbedaan pandangan diantara para aktivis dan antar gerakan Islam. Meski perbedaan pandangan ini hal yang wajar, tetapi sikap saling merendahkan antar beberapa aktivis dan gerakan Islam, mestinya merupakan sesuatu yang tak perlu dibesar-besarkan. Jika kita memang ikhlas berjuang li i’laa’i kalimatillah (untuk mempejuangkan agama Allah), mestinya kita tidak perlu bersikap fanatis terhadap kelompok atau gerakan kita. Kita seharusnya membuka diri untuk terus berdiskusi dan mengkaji konsep kebangkitan serta secara konsisten berusaha mengikuti model rumusan perjuangan Rasulullah saw.
Tulisan ini akan berusaha membahas beberapa hal seputar kebangkitan.
*****
Apa itu kebangkitan? Dan apa itu kebangkitan Islam?
Mendefinisikan makna kebangkitan ini sangat penting. Meskipun banyak orang meremehkan arti definisi, tetapi harus diakui bahwa seseorang bertindak dan bersikap, bahkan rela mati, berdasarkan definisi yang mereka pahami. Membuat definisi yang komprehensif (jami’an wa mani’an)atas suatu hal, termasuk tentang kebangkitan, itu tidak mudah. Iya, sungguh tidak mudah. Tetapi ini harus dilakukan, agar kita tidak keliru dalam bertindak dan bersikap. Tidak merumuskan masalah ini dengan baik dan benar, menunjukkan bahwa kita memang tidak terlalu peduli dengan urusan umat.
Saat seseorang mendefinisikan bahwa kebangkitan adalah tingginya akhlak individu masyarakat, maka aktivitas dan sikap seseorang akan tercurah bagaimana memperbaiki akhlak masyarakat. Ia akan fokus pada individu dan akhlaknya, tetapi menjadi kurang peka dan kurang perhatian dengan permasalahan kemiskinan, keterjajahan umat, tidak diterapkannya syariah Islam, terpecah-belahnya umat, bahkan dibantainya umat Islam di negeri lain. Bagi mereka, saat akhlak sudah selesai diperbaiki, insya Allah masalah-masalah lain akan dapat diselesaikan. Benarkah saat akhlak sudah diperbaiki, masalah umat akan selesai? Apa indikasi umat akhlaknya sudah baik? Bagaimana tahapan-tahapannya? Terus terang, hingga saat ini belum ada yang bisa menjelaskan runtutan dan korelasi atas cara berpikir tersebut secara sistematis dan konsisten. Saat disodorkan fakta, bahwa saat ini, usaha untuk memperbaiki akhlak telah dilakukan oleh banyak pihak, misalnya kyai, ustad dan elemen-elemen yang lain, tetapi mengapa akhlak di tengah-tengah umat tidak lebih baik, bahkan semakin buruk? Mereka akan menjawab, bahwa perusak akhlak lebih hebat daripada yang memperbaikinya? Saat ditanyakan siapa perusak akhlak? Mereka menyebutkan, misalnya media, perilaku pejabat, berbagai kebijakan perundangan, budaya asing, gaya hidup yang hedonis, dan lain sebagainya. Kesimpulannya perbaikan akhlak tidak akan pernah terjadi, karena perusaknya selalu lebih besar. Kebangkitan umat dapat diwujudkan jika perusak akhlak dapat dihilangkan. Tetapi, bagaimana cara menghilangkan perusak akhlaq? “Wah, itu butuh political will yang kuat dari pemerintah dan semua elemen masyarakat. Itu diluar wewenang kami”. Berarti, problemnya sebetulnya masalah akhlaq atau political will?
Saat sesorang mendefinisikan bahwa kebangkitan adalah tingginya tingkat ekonomi di suatu masyarakat, maka ia akan sangat concern dengan problem-problem ekonomi. Namun, biasanya ia hanya fokus pada masalah teknis pada masalah ekonomi, misalnya membuat lapangan kerja baru, membuat lembaga yang membantu permodalan, memberikan supervisi terhadap usaha baru dan lain sebagainya. Tetapi, biasanya kurang concern dengan sumber kegoncangan ekonomi di tengah-tengah umat, seperti sistem mata uang yang menyebabkan kacaunya sistem ekonomi, perjarahan sumber daya alam oleh asing yang merupakan kekayaan milik umat, dan lain sebagainya. Mereka juga tidak terlalu concern dengan rendahnya akhlak umat, tidak diterapkannya syariah Islam, terpecah-belahnya umat, bahkan dibantainya umat Islam di negeri lain. Pertanyaan berikutnya, apakah tingginya ekonomi umat itu berarti kebangkitan umat? Kebanyakan menjawab “ya”. Namun saat disampaikan fakta bahwa sebagian negeri-negeri Islam di Arab saat ini kaya raya, tetapi mengapa tetap kita sebut bahwa umat saat ini terpuruk? Mengapa umat islam tetap terjajah? Bahkan di negara kaya raya seperti Saudi dan Uni Emirat? Mereka akan menjawab, bahwa mereka memang kaya raya, tetapi tidak memiliki political will untuk membantu umat Islam lainnya. Berarti, problemnya sebetulnya masalah ekonomi atau political will?
Saat seseorang mendefinisikan bahwa kebangkitan umat adalah tingginya penguasaan sains dan teknologi, maka ia akan sangat concern dengan masalah-masalah ini. Ia akan mencurahkan tenaganya untuk membangun perkembangan sains dan teknologi di tengah-tengah umat. Ia mencotohkan bahwa bangkitnya barat dan dominasinya saat ini, adalah karena mereka menguasai sains dan teknologi. Seperti umumnya, orang-orang yang memahami hal itu, biasanya agak tidak terlalu concern dengan rendahnya akhlak umat, tidak diterapkannya syariah Islam, terpecah-belahnya umat, bahkan dibantainya umat Islam di negeri lain. Kemudian saat ditanyakan kepada mereka, saat Iran dan Pakistan berhasil membuat rudal misalnya, mengapa justru tidak membuat umat bangkit, justru umat semakin terjajah seperti sekarang ini? Bukankah itu merupakan capaian spektakular teknologi yang dibuat oleh umat Islam? Bukankah saat ini, di Indonesia, Malaysia, Mesir dan negeri-negeri muslim lainnya, memiliki ribuan bahkan jutaan ilmuwan yang hebat-hebat, tetapi mengapa mereka justru bekerja di barat? Mereka biasa menjawab: kita memiliki problem politik yang tidak mendukung pengembangan sains dan teknologi. Nah, sebenarnya kita memiliki problem politik atau teknologi?
Semuanya bermuara pada politik. Semua masalah akan dapat diselesaikan jika umat menguasai politik. Akhirnya umat beramai-ramai masuk ke ranah politik praktis dalam sistem demokrasi yang ada, baik kyai, ustadz, teknokrat, ekonom, aktivis gerakan Islam dan komponen lainnnya. Niat mereka insya Allah tulus yaitu ingin membangkitkan dan memperbaiki umat (catatan: kita husnudz dzan bahwa mereka niatnya baik. Meski tidak dipungkiri, banyak yang masuk politik praktis hanya karena interest pribadi). Apakah kondisi umat jadi lebih baik? Realitas yang terjadi bukan perbaikan umat, tetapi semakin rusaknya umat. Tiap hari kita disuguhi berita kyai tersangka korupsi, saling fitnah antar tokoh umat Islam, dan lain sebagainya. Sementara umat, masih hidup dalam kemiskinan, keterpurukan, terjajah, dibantai dan lain sebagaianya.
Sebagian lagi menjawab “Mboh lah, pusing aku!”. Pertanyaannya lagi, apakah pusing menyelesaikan masalah? Apakah umat akan bangkit dengan pusingnya kita semua? Jadi?
Itu semua terjadi karena mereka memposisikan “ciri-ciri” kebangkitan sebagai “landasan” kebangkitan. Landasan kebangkitan dengan ciri-ciri kebangkitan itu dua hal yang berbeda. Tingginya taraf ekonomi, penguasaan saians dan teknologi, akhlaq, sistem politik dan lain sebagainya, itu hanyalah ciri-ciri dari masyarakat yang sudah bangkit. Ia bukan landasan kebangkitan. Ia bukan sesuatu yang membangkitkan. Bahkan ia bukan kebangkitan itu sendiri. Menjadikan ciri-ciri kebangkitan sebagai landasan kebangkitan, bisa jadi menjadikan para aktivis frustasi, karena kebangkitan tidak kunjung terealisasi.
Kita boleh setuju atau tidak, di sinilah kemudian salah satu tokoh Muslim Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani merumuskan, bahwa an-nahdloh huwa irtifa’u darajati al-fikri, kebangkitan adalah tingginya taraf berpikir. Maksudnya, kebangkitan adalah saat masyarakat tahu apa yang sedang terjadi, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa saja yang jadi hambatan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan.
Anda bisa bayangkan, secara obyektif, apa yang akan terjadi jika orang tahu apa yang sedang terjadi, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa saja yang jadi hambatan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan? Apa kira-kira dampaknya? Jika “orang”, kita ganti dengan “masyarakat” atau “umat”, apa yang akan terjadi?
Barat bangkit, bukan karena majunya teknologi dan ekonomi. Tetapi majunya teknologi dan ekonomi terwujud, setelah mereka mendapatkan cara berpikir baru tentang kehidupan. Urutannya bukan revolusi industri, baru renaisan. Tetapi renaisan dulu, baru revolusi indutri, kemudian mereka menguasai sains dan teknologi hingga saat ini.
Awal munculnya gagasan baru itu memang muncul pada benak seseorang, kemudian gagasan yang diyakini itu terus disampaikan kepada masyarakat, sampai akhirnya masyarakat menginternalisasi gagasan tersebut, hingga akhirnya setelah waktu yang lama terjadilah kesadaran umum. Mereka memiliki cara baru dalam berpikir. Mereka jadi tahu apa yang sedang terjadi, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa saja yang jadi hambatan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Hal inilah yang kemudian memunculkan renaisan, disusul dengan revolusi industri, dan terus berlanjut hingga saat ini.
Bagaimana dengan kebangkitan umat pada zaman Rasulullah? Jika kita cermati dengan seksama, itu terjadi dengan pola yang sama. Nabi Muhammad diutus Allah swt, sehingga beliau memiliki pemahaman baru tentang kehidupan. Terjadilah kenaikan taraf berpikir beliau. Beliau jadi tahu apa yang sedang terjadi, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa saja yang jadi hambatan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan, dan konsekuensi dari tindakan dan sikap beliau. Kemudian pemahaman beliau ini beliau sampaikan (dakwahkan) kepada masyarakat, akhirnya terjadilah irtifa’ul fikri di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat menjadi seperti Rasulullah saw. Mereka apa yang sedang terjadi, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa saja yang jadi hambatan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Dan itulah yang akhirnya membawa kebangkitan Islam yang luar biasa.
Jika dilihat dari aspek ekonomi, teknologi atau hal lainnya, masyarakat Islam pada waktu itu tak ada apa-apanya dibanding denga Romawi atau Persia. Tetapi, mereka mengalami sesuatu yang luar biasa, yaitu irtifa’ul fikri, tingginya taraf berpikir tentang kehidupan. Sehingga dalam waktu dekat, mereka berhasil mengungguli Romawi dan Persia dalam segala hal.
Pembahasan di atas adalah tentang kebangkitan. Kita belum membahas kebangkitan yang benar atau salah. Barat mengalami irtifa’ul fikri yang dasarnya adalah sekulerisme, sementara dunia Islam mengalami irtifa’ul fikri yang dasarnya adalah akidah Islam.
Inilah definisi kebangkitan. Memang kelihatan abstrak bagi orang yang belum paham. Tetapi, segala sesuatu memang kelihatan abstrak bagi orang yang belum paham.
Karena itu, bisa kita lihat dalam sejarah, berapa banyak orang yang menertawakan Rasulullah saw dan para sahabatnya, saat beliau berjuang. Hal yang sama juga dialami oleh para filusuf di barat, mereka juga ditertawakan, dihina, dan ditindas oleh kekuasaan yang eksis saat itu. Tetapi, orang yang memiliki irtifa’ul fikri, mereka tahu: apa yang harus dilakukan, apa saja yang jadi tantangan, apa saja yang jadi hambatan, apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan, tidak terpesona dengan berbagai ujian, tidak menyerah dengan berbagai hinaan dan cacian.
Dan akhirnya, terjadilah perubahan yang luar biasa di dunia ini.
Mungkin muncul pertanyaan dalam masalah ini: jika umat Islam menghayati dan benar-benar memahami sekulerisme apakah umat Islam akan bangkit? Bukankah pada saat itu, umat Islam memiliki dua landasan kebangkitan sekaligus, yaitu akidah Islam dan sekulerisme? Apakah kebangkitan umat akan lebih dahsyat, dibanding hanya Islam saja atau sekulerisme saja?
Jawabnya: Ini justru membuat umat tak akan bangkit. Menggabungkan sekulerisme dan Islam, berarti mereka memang tidak paham sekulerisme, sekaligus tak paham akidah Islam.
Akidah Islam menghendaki bahwa segala sesuatu harus didasarkan pada Islam, sementara sekulerisme menghendaki segela sesuatu harus dilepaskan dari agama, termasuk Islam, kecuali urusan pribadi. Jadi, umat Islam pasti akan bingung. Mereka akan selalu berada dipersimpangan jalan: antara milih Islam atau milih sekulerisme. Apakah mengikuti Allah atau meninggalkan Allah. Akhirnya mereka tidfak kaffah dalam keduanya. Kebingungan ini akan berdampak pada: tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan, tidak yakin apa yang harus diperjuangkan, apalagi memperjuangkan sampai titik darah penghabisan.
Di satu sisi mereka ingin mengatur kehidupannya sendiri dengan meninggalkan Allah, seperti masyarakat barat. Tetapi, di sisi lain masih takut dengan Allah. Masih khawatir kalau mati masuk neraka.
Di satu sisi mereka ingin mengikuti Allah, tetapi di sisi lain ingin mengatur kehidupannya sendiri seperti masyarakat barat. Jadi mereka bingung sendiri dengan kehidupannya dan bingung dengan apa yang harus dilakukan.
Inilah mengapa, pasca runtuhnya Khilafah, umat tak pernah bangkit. Sebab mereka selalu berada pada posisi yang membingungkan.
Jadi, kebangkitan adalah irtifa’u darajati al-fikri, tingginya taraf berpikir. Artinya, kebangkitan adalah saat masyarakat tahu apa yang sedang terjadi, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa saja yang jadi hambatan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan.
Kalau kita ingin kebangkitan Islam, maka kita harus mewujudkan pemikiran yang komprehensif dan meyakinkan tentang islam. Sehingga masyarakat tahu apa yang sedang terjadi menurut Islam, tahu apa yang harus dilakukan menurut Islam, tahu apa saja yang jadi tantangan, tahu apa yang harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan menurut Islam.
*****
Bagaimana memulai proses kebangkitan umat dan bagaimana tahapan-tahapannya? Bagaimana mengawalinya? Bagaimana peran masyarakat dan individu dalam kebangkitan?
Insya Allah akan kita bahas pada ulasan berikutnya.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar